17. Stadion Badminton

566 85 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Pertandingan hari ini dijadwalkan akan digelar satu jam setelah waktu proses belajar mengajar usai, yaitu pukul lima sore. Sesuai agenda di rundown, para panitia akan bergerak ke stadion bulutangkis yang berada di belakang kampus satu jam sebelum pertandingan dilaksanakan.

Sejauh-jauhnya gedung jurusan Gyani dari pagar utama kampus, lebih jauh lagi stadion bulutangkis. Untuk menjangkau stadion yang memiliki lima lapangan bulutangkis di dalamnya itu, ia harus menggunakan minimal kendaraan roda dua.

Tidak mungkin Gyani berjalan kaki ke sana. Sebab jalan yang berliku, naik-turun tidak karuan seperti melewati bukit, dan melalui hutan rimbun nan gelap milik Fakultas Kehutanan; membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Gyani berdiri tegap. Suasana mencengkam ini juga didukung oleh jarangnya kendaraan yang lalu-lalang, bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari setiap harinya.

Gadis itu sebelumnya telah membuat janji dengan Hisyam bahwa ia akan berangkat bersama menuju stadion. Siapa yang menyangka jika Hisyam telah berada di parkiran sore ini, sementara Gyani masih sibuk dengan alat tulisnya yang berantakan di atas meja.

"Buru-buru amat ..."acap Nanda ketika melihat gesitnya tangan sahabatnya itu memasukkan seluruh alat tulis. Tidak tanggung-tanggung, Gyani bahkan menggunakan satu lengan untuk menyapu seluruh alat tulis dan memasukkannya dalam tas dengan sekali gerakan.

"Gue harus ke stadion badminton sekarang. Lo tau, kan, stadion itu sejauh apa," jawab Gyani tanpa melihat wajah Nanda.

"Nggak perlu cepet-cepet juga kaliii. Tuh stadion juga nggak bakalan pindah ke Singapura kalo lo telat."

Gyani lantas menghentikan gerakan, lalu berpaling pada Nanda dengan menaikkan satu sudut bibir. "Lebih bagus kalo pindah nggak, sih? Soalnya kita bisa sekalian jalan-jalan."

"Serah lo dah ..." ucap Nanda sambil ikut merapikan buku-buku, "oh iya, lo pergi sama siapa? Kak Marvin?"

"Sama Hisyam."

Nanda berpikir sejenak, terlihat dari kening yang mulai berlapis-lapis. "Hisyam yang maneee? Anak Hukum itu, bukan?"

"Yoi."

Gadis yang semula memperlihatkan raut bodo amat, seketika tersenyum cerah. Nanda langsung meraih lengan Gyani dan menggoyang-goyangkannya antusias. Untung saja kelas sudah kosong, jadi Nanda tidak membuat Gyani malu dengan sikapnya yang seperti bocah.

"Hisyam Makmur Riyadi, anak juragan beras itu? Yang tinggal di Gang Ayam Jago. Adeknya satu, laki-laki. Kalo ke kampus naik motor racing yang jok penumpangnya lebih tinggi, knalpot berisik, sama rantai ketengnya udah kendor. Itu lho yang banyak totol-totol manis di mukanya. Ya kan, Gi?" acap Nanda yang berbicara layaknya sedang nge-rap.

Semua informasi ini berhasil membuat Gyani melongo. Mungkin gadis itu lupa bahwa Nanda pernah memuji-muji kembaran Gyani seperti ini sebelumnya.

"Bener kan, Gi?" panggil Nanda untuk kedua kali dengan nada yang dinaikkan satu oktaf dan mata berbinar.

DIVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang