Terdengar hiruk piuk warga dari kejauhan, yang menandakan bahwa adanya sebuah pemukiman di ujung sana.
Melewati semak-semak belukar. Dengan kaki tanpa alasnya yang penuh akan luka.
Seorang gadis berjalan tertatih-tatih menuju sumber suara yang tadi sempat ia dengar.
Entah sudah berapa lama gadis itu terjebak di tempat yang menurutnya asing. Seingatnya, tempat yang ia kunjungi tidak seperti ini.
Degup jantungnya berpacu dengan cepat,ia merasa janggal dengan kejadian yang dialaminya. Firasat buruk sepertinya sedang tidak ingin berdamai dengannya.
Mengabaikan rasa sakit akan kakinya yang terluka. Gadis itu mempercepat langkahnya dengan tergesa-gesa karena panik juga senang, berharap jika ia bisa keluar dari antah berantah yang penuh dengan semak dan pepohonan tinggi ini. Gadis itu takut jika ia akan terjebak sampai malam di tempat antah berantah, begitu asing dan penuh akan ketakutan yang tidak ia diketahui.
Langkah demi langkah kaki memijak, suara hiruk piuk keramaian semakin terdengar jelas di telinga gadis itu.
Dengan sibakan terakhir semak-semak yang menghalangi.
Akhirnya, apa yang ia harapkan tidak pupus sia-sia. Tepat di depan mata ia memandang saat ini. Terlihat sebuah pemukiman yang tidak terlalu padat disertai warga yang berlalu lalang akan kepentingan masing-masing. Walaupun tidak ada banyak bangunan atau rumah, itu tidak menampik bahwa pemukiman yang ia lihat saat ini sangatlah ramai.
Lega, itu yang ia rasakan sekarang. Ketika kaki ingin melangkah kembali, gadis itu baru menyadari bahwa kakinya terluka sedikit parah. Apakah kepanikannya tadi membuat ia tidak marasakan rasa sakit akan luka di kakinya? Ketika gadis itu sadar akan keadaan dirinya sendiri yang terlihat begitu mengenaskan, tiba-tiba rasa lelah menyerbu tubuhnya.
Gadis itu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Berjalan tertatih-tatih sambil mencari tempat yang sedikit sepi untuk ia duduk mengistirahatkan diri.
Walaupun ia lega karena menemukan keramaian, ia tetap harus waspada. Tempat yang ia lihat masihlah asing baginya. Bangunan dan rumah-rumah yang ia lihat terlihat kuno, sama halnya dengan pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang berlalu lalang. Semua itu sungguh asing di mata gadis itu, bukan berarti ia tidak tahu apa nama pakaian yang mereka kenakan.
"Apa nggak risih make pakaian kaya gitu?" Gumamnya pelan.
Gadis itu hanya merasa asing melihat perempuan secara langsung hanya mengenakan kemben dan jarik tanpa terganggu oleh atasan yang terbuka sedikit pun, adapun yang memakai kebaya, lalu pria yang mengenakan jarik atau celana dengan atasan jas dan sebagainya. Seakan-akan pakaian yang mereka pakai adalah pakaian sehari-hari.
Justru dirinya yang merasa aneh sendiri ketika menyadari bahwa dia memakai dress putih selutut dengan lengan pendek yang sudah tidak cantik, juga terdapat sobekan di sana sini.
Ternyata kondisinya lebih memprihatinkan. Tanpa alas kaki, dress compang-camping, rambut kusut yang tidak di ikat, tidak lupa dengan tanah beserta debu yang menempel di kulit kuning langsatnya.
Sudah cocok dianggap gelandangan.
Tidak ada yang melirik atau pun melihat kearahnya sedikit pun ketika gadis itu berjalan melewati mereka. Aura gelandangan dalam diri gadis itu sepertinya sangat kuat, membuat mereka yang dilewatinya lebih memilih menyingkir.
"Gila, udah kaya kriminal aja gue," gumamnya, ketika sadar orang-orang ternyata menghindarinya.
"Malang sekali, dia pasti korban londoe.."
"Itukan akibat dia lebih memilih menjadi gundik,"
"Iya, apa guna wajah eloknya itu jika sudah di buang,"
"Hushh, semua punya takdir dan nasibnya masing-masing, siapa yang tau jika dia ternyata bukan gundik?"
Bisik-bisik terdengar membuat gadis itu geram.
"Apa kalian liat-liat, mau gue colok satu-satu itu mata!?" Balas galak gadis itu kepada segerombolan ibu-ibu yang menggunjingnya di sana.
"Dasar wanita tidak sopan!! Berbicara seperti itu kepada orang yang lebih tua!" Salah satu ibu-ibu disana membalas.
"Disir tidik sipin, ngaca ya bu! Mulut situ yang kagak sopan, ngatain gue seenak jidat! Gini-gini gue masih ting-ting tau!!" Balas gadis itu yang tak terima.
"Pancen wong gendeng!!" Balas ibu itu.
Daripada membuang tenaganya lebih banyak, ia memilih pergi dari sana tanpa mempedulikan ibu-ibu itu yang sedang memakinya. Ia sungguh sudah lelah berjalan, tidak ingin mentalnya juga ikut kelelahan.
Namun tidak dengan mulutnya.
"Anjim bener, bukannya bantuin orang yang lagi kesusahan malah ngebacotin yang engga-engga," gerutunya dengan suara tak santai, sambil melanjutkan tujuannya mencari tempat berteduh.
"Liat aja kalo gue sehat ntar, bergelud kita babik,"
"Heran gue. Bu ibu dimana-mana sama aja, gosip everywhere. Pengen gue benyek-benyek!"
"Hadeh.. sabar dah sabar, kalo sabar di sayang ayang. Wkwkk ngaco banget, gue mana ada ayang tolol," ketawanya gila.
Tak jauh di depannya terdapat pohon besar dan gubuk kecil yang terlihat sepi.
"Akhirnya!!"
Mempercepat langkahnya. Setelah sampai, tanpa ba-bi-bu ia justru merebahkan badannya di rerumputan tepat dibawah pohon besar itu, menikmati semilir angin yang sejuk sambil melepas rasa lelah dan sakitnya sejenak.
"Bodoamat dikira gelandangan, gini kan enak, tapi masih enakan di kasur sih,"
Menatap langit yang sebentar lagi akan gelap, ia teringat akan perkataan ibu-ibu yang menggunjingnya tadi. Kata gundik.
Kata yang masih membekas di ingatannya.
"Gue tau, ini tempat emang aneh banget. Tapi gundik? Sulit daku percaya, gila aja masih ada gundik dijama-..." Gumamnya berhenti tiba-tiba. Ia menyadari sesuatu.
Banyak kejanggalan yang ia baru sadari. Memejamkan mata sambil berpikir dengan keras.
"Pakaian... bangunan.. gundik.. " gumamnya.
"Gue sebenernya ada dimana sih?" Tanyanya bingung kepada dirinya sendiri.
"Di Batavia nona."
"Oh Batavia."
"..."
"..."
Hening.
"HAH!? SUARA SIAPA?! BATAVIA APA?!?" teriaknya kaget ketika suara tak dikenal menginterupsi kata-katanya.
Ia memelototkan matanya, tubuhnya yang berbaring di rerumputan langsung terduduk tegap melihat siapa gerangan yang menjawab pertanyaan randomnya.
"Maaf sudah membuat nona kaget, nama saya Jumi. Panggil saja nenek Jumi."
"B-Batavia..?" Tanyanya shock.
"Iya, ini di Batavia. Nona sendiri siapa namanya?"
Tenggorokannya tercekat, Batavia dia bilang? Tidak masuk akal. Batavia adalah nama Jakarta saat ini. Namun saat dia mengingat kembali kejanggalan-kejanggalan yang sempat ia pikirkan tadi. Pikirannya menjadi semakin buntu nan rumit.
Ia memang tersesat, namun tidak mungkin.. kan? Tidak mungkin jika dia.. tersesat di aliran waktu yang berbeda?
Gadis itu terdiam dengan pikiran yang begitu rumit.
"Saya.. nama saya... A-Atma.." tersadar akan pertanyaan nenek Jumi, ia pun menjawab dengan terbata-bata.
Gadis itu--Atma--masuk atau tidak masuk akal sepertinya mengalami kejadian yang lebih tidak masuk di akal.
Mengalami perjalanan waktu?! Omong kosong macam apa!?
"Nggak mungkin..."
_____to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloemen En Bijen Batavia
Historical FictionTersesat yang berujung membuat Atma mengalami perjalanan waktu ke 110 tahun yang lalu. Ia tak menyangka bahwa perjalanan waktu benar-benar nyata adanya. Seakan-akan takdir sengaja membuatnya lupa, agar Atma tak menyenggol ataupun mengusik jalan takd...