1. Badai

204 22 2
                                    

Hai kalian....
Finally aku mau mulai nulis storynya Adrian nih.

Berharap banget cerita ini banyak penikmatnya, supaya aku punya semangat dan alasan kuat biar bisa menyelesaikan cerita ini sampai tamat karena beberapa waktu ini aku agak terseok-seok membangun mood nulis. Sampai sini, udah itu aja doanya, yang penting series A Love series bisa komplit ceritanya.

Aku nggak akan memaksa kalian untuk beri vote dan komen di tiap bab, tapi kalau kalian kasih, itu amat sangat berarti banget buat aku. Jejak-jejak kalian terbukti ampuh mempertebal semangatku untuk konsisten mengerjakan cerita ini. Sekali lagi, kalau pun nggak bisa, nggak masalah ya. Yang penting satu, kalian udah baca, enjoy, dan temani aku sampai akhir cerita ini yaaaa

Btw, A Love series itu terdiri dari 3 cerita. Tiga cerita itu masih ada di wattpad. Bisa dibaca tidak berurutan. Berikut judul-judulnya:
1. Back to Love
2. Ignore
3. Hidden Love

Akhir kata, Happy reading kalian....

***

Dutra mendorong dan menyudutkan Rahayu di pojok dinding. Tidak peduli karena tindakannya itu Rahayu meringis tertahan sambil memegangi perut bagian bawahnya.

Sebelah tangannya terangkat lalu mencengkeram rahang Rahayu. Matanya yang menyalang bagai serigala hendak menerkam mangsa menghunus Rahayu hingga membuat tubuh Rahayu mengerut.

Berbanding terbalik dengan tatapan dan perlakuannya, ekspresi wajah laki-laki itu justru melembut. Lalu wajah laki-laki itu maju beberapa senti untuk menyinggahkan kecupan singkat di bibir Rahayu. Rahayu memejam untuk menelan gemetar tubuhnya sendiri. Dia sadar tidak sedang mendapatkan keintiman mesra, seperti malam-malam yang telah mereka habiskan bersama.

Rahayu tahu itu. Ini hanya riak kecil sebelum badai besar itu datang.

"Aku tidak suka mengulang pertanyaan yang sama, kamu tahu itu, kan, hm, Sayang?" Hanya bisikan pelan, tapi Rahayu seperti merasa perutnya seakan diremas-remas.

Rahayu menelan ludah. Tidak ada yang akan menolongnya, jadi dia berusaha menguatkan dirinya lalu mengarahkan bola mata besarnya tepat ke mata menyalang di depannya.

"Dia...." untuk pertama kalinya, Rahayu berhasil mengeluarkan suaranya, tidak peduli suara itu terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan.

"Dia sudah mati."

"Jangan bermain-main, Sayang."

"Kamu tidak ada di sini saat aku melahirkannya. Bayi itu tidak bisa bertahan."

"Bayi itu dalam keadaan sehat selama dalam kandungan. Jangan membodohiku."

"Aku tidak tahu."

Dutra menjauh hanya untuk merogoh bagian depan kemejanya. Dia mengeluarkan selongsong pistol. Dalam hitungan detik moncong benda itu menyentuh kening Rahayu. Rahayu mengeluarkan pekikan, dan tubuhnya bergerak mundur, sehingga tubuhnya semakin rapat di dinding. Akibat gerakan refleks itu perutnya yang nyeri terasa semakin menusuk-nusuk. Rahayu mencengkeram pakaiannya demi meredam rasa sakit itu.

Selama ini Dutra memperlakukannya bagai ratu. Tidak ada satu pun sentuhannya yang pernah menyakiti Rahayu. Namun bukan tidak pernah Rahayu menyaksikan kemurkaan laki-laki itu. Di balik sikap tenang dan senyumnya yang Rahayu kenal, Dutra adalah sosok dengan kekejaman tanpa belas kasih. Dia tidak segan-segan memenggal hidup orang lain yang menghalangi tujuannya dengan cara yang membuat orang itu justru akan mengemis kematian itu sendiri.

"Ada apa denganmu? Apa kamu mau aku merobek isi kepalamu dengan benda ini? Jangan buat aku melakukannya, Sayang," Dutra berbisik lembut sembari menyusurkan ujung pistol ke pelipis hingga rahang Rahayu.

Bibir Rahayu bergetar, ujung pistol itu membuat kakinya kian tidak berdaya.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Bayi itu sudah tidak bernapas saat bersamaku."

"Bukan hal seperti itu yang ingin dengar, Rahayu."

Rahayu sulit bernapas karena telapak tangan Dutra menekan kian kuat tenggorokannya. Rahayu tahu saat ini dirinya tidak sedang berhadapan dengan laki-laki yang selama ini memperlakukannya dengan istimewa, melakukan apa saja untuk menyenangkannya.

Dutra memasukkan wajahnya ke tengkuk Rahayu, menghidu kuat dan mengecup lembut daun telinga Rahayu. Tiba-tiba Rahayu merasakan tusukan kuat di bagian perutnya yang membuatnya seketika menjerit tertahan. Pengaruh obat bius baru saja menghilang dan sekarang dia dihantam rasa sakit luar biasa di luka bekas operasi itu.

Rahayu menunduk dan melihat moncong pistol kini berada di perutnya. Rahayu mengigit bibir, menahan agar suara kesakitannya tidak keluar. Ditatapnya Dutra nanar. Di detik ini laki-laki itu menjadi orang paling kejam yang pernah Rahayu temui setelah kedua orangtuanya. Sekejap kekecewaan besar menyergapnya.

"Apa kamu sedang mencari tahu batas kesabaranku?" bisik Dutra lagi, ekspresi wajahnya sama sekali tidak terpengaruh dengan kesakitan yang Rahayu alami. "Katakan yang sebenarnya terjadi."

"Bayi itu tidak bisa bertahan, aku mengatakan yang sebenarnya."

Sesaat setelah mengatakannya, satu tembakan dilepaskan dan seiring dengan itu Rahayu berteriak. Dia jatuh terduduk dan darah mengucur dari kakinya. Rasa sakit yang hebat ditambah kenyataan kalau Dutra berlaku begitu mengerikan terhadapnya membuat tangis Rahayu pecah.

"Bos, kurasa dia tidak akan bicara," suara berasal dari balik punggung Dutra menegur pelan, ketika Dutra kembali hendak merangsek maju. "Sebaiknya kita panggil dokter untuk mencari tahu."

Saat Dutra menoleh, di pandangan Rahayu yang mengabur Rahayu melihat Bram, salah satu anak buah kepercayaan Dutra, berdiri tidak jauh dari mereka.

"Kalau begitu cepat lakukan," Dutra membalas cepat. Pistol ditangannya langsung berpindah ke laki-laki berkemeja abstrak di belakang Dutra.

Awalnya Bram tampak ragu, tapi kemudian keluar dari kamar perawatan dengan langkah panjang.

Selepas kepergian Bram, di ruang perawatan yang luas itu hanya ada dirinya dan Dutra. Dutra meninggalkannya lalu menuju box bayi di samping tempat tidur. Tangannya mencengkeram kuat sisi box ketika menatap bayi yang terbujur kaku di dalamnya. Menyaksikan Dutra tak lagi memusatkan perhatian padanya, dengan sisa-sisa kekuatan yang dia miliki Rahayu mencoba menggapai tas bayi untuk mencari kain. Saat menemukannya, dia langsung menutup dan menekan luka tembakan.

Di antara rasa sakit yang bertubi-tubi dia terima, Rahayu takjub dirinya sanggup bertahan. Namun semua itu tak berlangsung lama, berangsur-angsur, Rahayu merasakan sekujur tubuhnya kebas. Lalu Rahayu menyandarkan tubuhnya di kaki sofa. Tubuhnya terkulai lemah, pandangannya pun kian lama mengabur dan pening hebat mulai menyerang kepalanya.

"Dutra," panggil Rahayu pelan. Rahayu tidak punya kekuatan lagi untuk menggerakkan tubuhnya. Tangannya yang menekan luka tembakan pun mengendur. "Kamu sudah kehilangan bayi itu, jadi sekarang bunuh saja aku," sambungnya.

Selanjutnya, tidak jelas lagi apa yang Dutra lakukan karena semua hal menjadi buram di matanya. Hanya ada bayangan hitam yang mendekat. Lalu kembali terdengar hantaman benda keras. Saat tubuhnya terkulai jatuh, saat itulah Rahayu baru tahu kalau itu adalah suara pukulan.

Rahayu tak lagi merasa takut. Dia tersenyum. Meskipun Dia harus membayar dengan nyawanya sendiri, setidaknya sekarang bayinya sudah aman.

***

Hidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang