8. Kecemasan Baru

21 2 0
                                    

Tentu saja Adrian tidak setotol itu akan menyebarkan foto yang dia tunjukkan pada Haruna siang tadi. Keintiman dalam foto itu, mana mau Adrian membaginya bersama orang lain. Haruna satu yang berbeda dari gadis-gadis yang pernah dia kencani selama ini, jadi hanya akan menjadi miliknya. Adrian akui apa yang dia lakukan siang tadi, itu hanya gertakan saja. Atau sebut saja sebagai pelampiasan dari rasa kesalnya terhadap gadis itu karena telah sukses mengelabuinya.

Foto itu sampai saat ini masih tersimpan di dalam tas dari terakhir kali dia menunjukkannya kepada Haruna. Di balik rasa puasnya karena berhasil membuat Haruna tak berkutik, memandangi foto itu terlalu lama, sebenarnya juga menambah besar lubang rasa bersalah Adrian pada gadis itu. Andai dia tidak melakukan keisengan itu, kebencian Haruna tidak akan lebih besar dari ini. Sampai hari ini pun raut ketakutan Haruna pada kejadian itu, masih menyisakan tanya yang begitu besar. Dan setiap kali berusaha menggali jawaban, penyesalanlah yang menggerogotinya kian dalam.

Adrian mengerang kesal. Diambilnya kotak rokok di atas meja belajar, lalu dibawanya benda itu menuju teras. Dari kepulan asap yang membumbung di sekitarnya, bersama itu juga dia mengeluarkan segala hal yang mengusik kepalanya. Dia menghabiskan dua batang rokok dalam waktu singkat, ketika hendak mengambil yang ketiga, jarinya tertahan karena suara Ibu berdenging keluar dari kepala menuju gendang telinganya.

"Ibu tahu, kamu pasti akan bilang, 'rokok bukan satu-satunya penyebab kematian, Bu'. Tapi Ibu harap, nggak lantas membuat kamu lupa kalau Bapak kamu meninggal karena penyakit paru-paru. Dan penyakit itu datang karena gaya hidupnya tentang rokok."

Bagi Adrian poinnya bukan soal rokok dan efek sampingnya. Tapi tentang kalimat 'kematian Bapak' yang membuat Adrian selalu merasa tertohok. Seolah Ibu ingin memberi penegasan bahwa Adrian adalah laki-laki satu-satunya di rumah ini, perannya dalam tanggung jawab sudah lebih banyak. Ada dua pasang bahu perempuan yang bersandar padanya.

Adrian memasukkan benda itu ke kantong belakang jinsnya. Bersamaan dengan itu, dering ponsel menginterupsinya. Adrian masuk ke dalam kamar, meraih benda pipih itu dari nakas.

"Ad, di mana lo sekarang?" suara familiar di seberang sana langsung terdengar begitu Adrian menekan tombol berwarna hijau.

"Di rumah."

"Raina juga ada di rumah?"

"Belum balik, ngerjain tugas kelompok di rumah temannya. Kenapa lo?"

"Nyokap lo di mana?"

"Masih di rumah sakit," Adrian menjawab pendek, karena si penelepon tak merespons pertanyaannya.

"Sekarang telepon mereka, cari alasan apa pun, tahan mereka supaya nggak pulang ke rumah dulu sekarang." 

"Ada apa sih, Bid?"

"Denger Ad, lo juga harus cabut dari rumah sekarang. Tadi di kampus ada orang yang cariin lo. Dan sekarang lagi perjalanan ke rumah lo."

"Orang nyariin gue, siapa?"

"Gue udah sempat konfirmasi ke Ridwan karena dia sempat bicara sama orang itu, tapi dia juga nggak tahu. Yang jelas bukan salah satu mahasiswa di kampus kita."

"Lo bisa mengidentifikasi gimana orangnya?"

"Siapa? Orang yang nyari lo? Kalau itu gue nggak bisa melihat jelas karena mukanya tertutup sama topi. Tapi orang-orang yang sekarang lagi menuju ke rumah lo, mereka semua pakai pakaian serba hitam."

"Mereka?" ulang Adrian mengonfirmasi.

"Yang gue lihat ada tiga orang. Kalau ada orang lagi di dalam mobil yang mereka naiki, gue nggak tahu."

Adrian mencoba mengingat-ingat, mungkin ada janji temu dengan seseorang yang terlupakan hari ini.

"Punya bayangan kira-kira mereka siapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang