22. Tidak Satupun

83 14 2
                                    

Suara serangga yang saling bersahutan seolah ikut merayakan suasana hati Prima yang sedang tidak baik. Duduk memeluk kaki di pinggir kolam menikmati suasana malam sambil menatap hamparan laut yang terbentang luas jauh disana. Malam ini ombaknya tampak tenang, angin pun rasanya masih bisa Prima nikmati dengan baju tidur tanpa lengannya.

Suara langkah kaki yang terdengar terburu membuatnya menengok ke belakang. Prima lupa kunci pintu lagi. Prima tetap bergeming setelah tahu siapa pemilik suara itu, Prima kembali pada fokusnya.
"Lo hobi banget kayaknya kabur-kaburan gini ya Prim?" Aroma Diptyque Orpheon menguar begitu saja memenuhi Indera penciuman Prima ketika laki-laki itu ikut bergabung duduk disampingnya setelah melampirkan jasnya pada tubuh Prima.

Gurat lelah tergambar jelas setiap kali mata itu berkedip, lingkaran hitam yang berbayang di matanya, garis rahang juga pipinya terlihat lebih tajam hari ini. Dua minggu mereka tidak bertemu, terakhir kali bertemu saat Aron pamit untuk dinas luar kota. Aron tak pernah absen mengirim pesan untuk sekedar bertanya menu makan siang apa yang Prima santap atau hal konyol apa yang gadis itu alami hari itu.

"Tuhan itu selalu punya kejutan ya Ron." Ucap Prima setelah saling diam beberapa menit. Kali ini Aron hanya akan menjadi pendengar, tidak akan membuka suaranya selain menjawab apa yang membuat gadis disebelahnya penasaran. Rasanya sekarang Aron akan menyanggupi apapun kalimat yang akan dilontarkan gadis itu.

Telunjuknya terangkat menujuk ke arah laut, "bahkan kita gak tau apa yang ada di ujung sana."

Aron hanya memandang gadis itu yang mulai berbaring menatap langit malam, Tangannya menyingkap setiap helai rambutnya yang mulai memanjang itu tertiup angin. Bintang yang hadir malam ini tak terlalu banyak tapi mampu membuat mata Prima ikut berbinar.
Aron ikut berbaring dengan tangannya sebagai bantalan.

"tuhan ciptain begitu banyak bintang tapi kenapa gue gak bisa milikin salah satu dari mereka?" Katanya bertanya setelah menghembuskan nafas berkali-kali.

"Karena itu buka punya lo, bukan kemampuan lo untuk milikin salah satu dari mereka."

"Lalu hal apa yang tuhan janjikan sampai gue setuju lahir ke dunia? Sebesar apa itu? kalau bukan memiliki salah satu dari bintangnya, lalu kenapa sampai sesulit ini?"

"Mungkin tuhan mau lo yang jadi bintang Prim."

Prima menengok ke arah aron yang sudah lebih dulu menatapnya, Aron tersenyum sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya, "tuhan mau ada manusia lain yang mengagumi lo, tuhan mau setiap orang yang natap lo ingat betapa besarnya dia sampai bisa menciptakan manusia sebaik lo. kaya bintang, tuhan mau jaga dia biar gak sembarang orang bisa milikin, begitu pula dengan lo. Gue gak tau apa yang tuhan siapkan di depan, tapi gue yakin itu lebih indah dari rasa kagum lo ke bintang malam ini."

"Gue gak mau nanya kenapa kali ini, tapi lo tau Prim telinga gue siap setiap saat buat nampung semua isi hati lo. Apa yang lo gak bisa keluarin di depan abang-abang lo, gue siap dengar tanpa protes."

"Kalo lo gue memilih berhenti dan gak melanjutkan apa yang kita rencanakan, lo bakal kecewa?"

Aron menggeleng lalu bangkit dari baringnya, "enggak. Gue gak akan kecewa, gue akan selalu menghargai setiap keputusan lo-"

Aron membuka sekaleng cola yang dia beli sebelum sampai lalu menyodorkan lebih dekat ke arah Prima. Kemudian meneguk miliknya sendiri, Aron melanjutkan, "-Kalau pada akhirnya gue lanjutkan sendiri atau bahkan menyerah nantinya, gue gapapa. Mungkin ikhlas yang orang-orang bicarakan itu akan jadi pilihan akhirnya."

Prima memejamkan matanya, merasakan angin malam yang semakin kesini semakin kencang. Bulan juga sudah dalam tahta tertingginya, cahayanya seakan ikut menari bersama pantulan air dalam kolam. Beberapa saat memperhatikan lelaki itu dari belakang. Rambut lebatnya berkali-kali tersapu angin, entah apa yang Aron kerjakan sampai tak sempat mampir ke tempat potong rambut. Prima juga tidak pernah tau kalau Aron dan kemeja putih itu kombinasi yang baik.

"Manusia itu kecil sekali Prim, tapi gayanya luar biasa angkuh. Mereka sering kali lupa tuhan lebih besar dari pada sekedar mengikuti egonya yang kelewat besar."

Aron diam sebentar lalu meneruskan bicaranya, "Medan perang sebenernya itu ada di kepala kita sendiri Prim. Kita ini tidak sedang memerangi siapa-siapa, justru kita sedang melawan diri kita sendiri. Selama ini kepala gue gak berhenti berisik. Kenapa gue gak cukup untuk berdamai? kenapa gue terus jalananin padahal gue gak tau akhirnya gue akan puas atau enggak, kalau misal nantinya gak sesuai dengan apa yang gue mau, gue harus apa? Apa harus terus gue kejar? Terus sampai kapan? Atau misal tuhan kasih apa yang gue mau, lalu setelahnya apa? Manusia itu sebenernya makhluk bingung Prim."

Prima kira dia yang butuh teman, tapi sepertinya Aron malam ini lebih butuh dia. Pendengar biasanya lebih butuh di dengar.

"Tahun depan kita masih bisa liat bintang bareng gak ya Ron?"

"Kenapa harus tahun depan? Kenapa gak besok? Kapan pun lo mau liat bintang, bilang gue Prim, gue bawa lo ke tempat dimana bintang terlihat lebih indah. Kapan pun."

Prima melepas jas Aron yang terlampir di punggungnya, menemukan bekas bungkusan roti dengan remahan didalamnya di saku kanan Aron. Laki-laki itu pasti melewatkan makannya lagi untuk mengejar penerbangan. Lagi-lagi Prima merasa bersalah, gadis itu selalu merasa kalau dirinya menarik orang-orang sekitarnya masuk kedalam jurang yang dia buat.

Sepertinya kepergian diam-diam Prima yang ini buat panik si kembar lagi, lalu mengutus Aron untuk kedua kalinya menyusulinya. Silahkan salahkan Prima lagi menambah beban orang-orang disekitarnya, ditambah lagi sekarang Aron yang malah jadi punya tanggung jawab atasnya. Sebelumnya sudah Prima sampaikan kalau jangan pernah melibatkan Aron atau orang lain lagi kalau dia sedang kacau, tapi kedua abangnya itu tidak pernah dengar.

"Kali ini di chat Sana atau Sara?" Tangannya sibuk memotong paprika merah tapi matanya menatap Aron yang duduk di meja makan. Prima putuskan untuk menuruti keinginan yang tidak terucap oleh seorang Aron. Aron ini pandai sekali meng-kode, sepertinya sebelum datang dia mampir ke supermarket dan beli bahan makanan, Prima yang masuk ke dalam setelah menghabiskan waktu tiga jam di luar menemukan daging sapi, paprika dan lada hitam dalam kresek yang disimpan begitu saja disamping kompor. Laki-laki itu minta dibuatkan menu favoritnya tanpa berbicara, untungnya Prima mengerti bahasa kalbu Aron.

Salah satu halisnya terangkat, Prima balas dengan mengangkat halisnya juga, dan memperjelas nya, "selain suruh nyusulin gue ke sini, bicara apalagi mereka."

Aron hanya menggeleng. Memang benar, Aksana sama sekali tidak bicara apapun selain kata 'prima', 'bali' dan sebuah panduan peta yang membantunya menemukan alamat villa. Hanya tiga pesan itu, tidak lebih.

"Gak ada."

"Kalo gak ada, lo gak mungkin ambil penerbangan paling cepet Jakarta-Bali."

"Maksud gue, mereka gak bilang alasan lo kesini- Beneran deh." Dua jarinya terangkat bibirnya ikut tersenyum canggung.

"Lain kali kalo di chat begitu lagi lo tolak aja. ngerepotin."

"Lah, biarin aja suka-suka dong."

Ron & Prim | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang