SATU

2.1K 110 3
                                    

Rajendra itu ganteng. Hampir semua orang punya kesan begitu waktu pertama kali bertemu dengannya, termasuk aku. Tidak heran kalau banyak yang langsung menjadi penggemarnya, ehm, termasuk aku. Tapi kesan selanjutnya setelah berinteraksi dengannya, membuat setengah dari penggemarnya kabur. Tidak termasuk aku.

Aku mengenalnya tiga tahun lalu di hari pertama orientasi mahasiswa baru. Ada yang bilang kalau aku dan beberapa perempuan di kelasku beruntung karena bisa satu kelompok dengannya ketika itu. Tidak salah, tapi tidak seberuntung itu juga. Karena selain ganteng, Jendra itu.. katakanlah perfeksionis, ambisius, disiplin, dan dingin. Yang belakangan aku tau, khas sekali dari klan Aries di muka bumi ini. Terbayang, kan, bagaimana kami menghadapinya? Apalagi sebagai ketua kelompok, dia banyak mengatur kami.

Vania, salah satu teman sekelompok ku waktu itu yang akhirnya jadi sahabatku sekarang, sampai menobatkan Rajendra sebagai lelaki paling menyebalkan satu angkatan. Gara-garanya, Jendra benar-benar mengabaikannya ketika Vania datang terlambat saat kami berencana mengerjakan tugas kelompok. Parahnya lagi, nama Vania nyaris dicoret dari makalah yang akan kami buat kalau saja dia tidak berjanji untuk bekerja dobel di tugas selanjutnya. Padahal, dia hanya terlambat 15 menit.

Tara, teman kami lainnya yang terkenal mudah panik, sampai menangis ketika melihat bagaimana sempurnanya Jendra di setiap tugas yang diberikan secara individual. Bukan membuatnya semakin kagum, tapi justru menjulukinya 'freak' saking dia ngeri melihatnya. Menambah daftar penggemar yang mundur di awal.

Sedang denganku, Jendra tidak banyak bermasalah. Lebih tepatnya dia tidak terlalu peduli sepertinya, meski di antara teman kami, aku sering dinilai sebagai si paling ribet. Ribet karena kemana-mana selalu membawa tas yang penuh dengan botol minum, kotak makan, sapu tangan, juga segala kebutuhan yang aku perlukan agar aku tidak menghasilkan sampah. Ya, ya, Mamiku penganut hidup zero waste. Jadi sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan semua hal yang orang bilang ribet itu. Tapi anyway, semua itu tidak menjadikanku membuat masalah dengan Jendra.

Itu cerita tiga tahun lalu. Selama tiga tahun ini, aku menjalin persahabatan dengan Vania dan Bagas. Sedang dengan teman-teman yang lain, kami berada dalam kelas yang sama. Dengan aku yang masih menjadi penggemar Jendra tentunya.

Dan ajaibnya, setelah tiga tahun berlalu, di pendidikan profesi dokter umum kali ini kami semua kembali satu kelompok. Aku, Jendra, Vania, dan Bagas, bersama beberapa teman dari kelas lain.

Ah, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Adyarani, teman-teman biasa memanggilku Ad-Ya-Adya-Aya. Khusus Aya, ini panggilanku di rumah. Jadi teman yang memanggilku Aya pastilah sudah mengenalku sejak kecil.

Ngomong-ngomong, aku sedang menempuh pendidikan dokter umum di salah satu universitas di Bandung. Belum lama ini aku memutuskan pindah ke Bandung setelah tiga tahun melewati pendidikan di Jatinangor. Program perkuliahan kami memang dijalani di dua tempat. Karena orang tuaku tinggal di Jakarta, aku harus menyewa tempat tinggal tidak jauh dari rumah sakit yang akan menjadi tempat aku menempuh program profesi dokterku nanti. Meski sempat ditawarkan untuk tinggal bersama Tante Ayu, sahabat Mami yang tinggal di Bandung, aku memilih menyewa sebuah apartemen studio agar lebih dekat ke rumah sakit.

Dan di sinilah aku sekarang, sedang membongkar kardus berisi barang-barangku yang dipindahkan dari Jatinangor. Aku tidak sendiri, karena dengan baik hatinya, Vania dan Bagas mau membantuku pindahan di tengah kelelahan kami setelah melewati masa transisi dari pra-klinik di Jatinangor menuju pra-koas, dalam satu bulan ini. Vania dan Bagas sendiri memang penduduk asli Bandung sehingga tidak perlu repot lagi pindahan sepertiku, malah tempat koass kami sekarang menjadi lebih dekat jika dibandingkan dengan Jatinangor dulu.

"Ad, yakin kamu teh masih punya waktu nyuci-nyuci ginian kalo kita koas? Kalo pas kebagian jamal tidurpun sulit, ceunah!" komentar Vania sembari membantuku menyusun tumbler, botol, dan kotak makan koleksiku. Dia pun ikut menunjuk lap kain yang aku gunakan sebagai pengganti tissue.

"Time management, dong, Van." balasku percaya diri, padahal baru pra-koass kemarin saja, aku sudah kelimpungan dengan rutinitas cuci-mencuci ini. Tidak apa, kata Mami, zero waste itu bukan tidak mungkin. Tapi kita juga tidak perlu memaksakan diri.

"Terus itu tong sampah kamu boleh dibawa naik?"

"Komposter, Van." koreksiku membuat Vania berdehem malas. "Aku simpan di bawah kok, biar gampang nyari unsur cokelatnya."

Berbeda dengan di kosanku sebelumnya yang berada di lantai dasar, karena unit apartemenku berada di lantai tiga, aku tidak mungkin membawa naik komposter yang aku gunakan untuk mengolah sampah organik.

"Tapi kamu juga pasti jarang masak deh, Ad. Kebayang nggak sih sibuknya kita nanti." Vania kembali bicara setelah isi kardusku kosong. Barangku memang tidak terlalu banyak sebenarnya.

"Nggak usah overthinking dulu. Jalanin aja." Bagas yang baru selesai memasang lemari menimpali. Dia merebahkan tubuhnya di karpet yang sudah terpasang, sepertinya cukup melelahkan berurusan dengan lemari knock down milikku. Sepertinya aku harus mentraktirnya kapan-kapan.

"Iyaaa, maneh mah semua juga jalanin aja."

"Ya emang gitu kan? Iya kan, Ad?" Aku baru sempat menyengir sebelum ingin menimpali, namun Bagas lebih dulu menyela. "Eh, kamu nyuruh Jendra ke sini juga, Ad?"

"Hah? Nggak lah! Ngapain?" ujarku kaget. Senaksir-naksirnya aku pada Jendra, aku tidak akan mempermalukan diri sendiri dengan menunjukkannya dengan jelas. Termasuk sengaja mengundangnya ke apartemenku.

"Tapi dia bilang udah di lobi. Kok dia tau kita di sini?" Bagas mengangsurkan ponselnya yang berisi pesan dari Jendra di sana. Aku menggigit bibir mengingat-ingat, tentunya dengan jantung yang jelas berdetak cepat.

"Kemarin kayaknya dia denger waktu aku bilang mau pindahan pas Zafran ngajakin pergi. Sumpah, nggak ada ngajak sama sekali!" Bagaimanapun, Vania dan Bagas adalah dua orang yang tahu pasti kalau aku adalah penggemar setia Jendra sejak dulu. Jadi aku harus pastikan mereka tidak berpikir macam-macam.

"Ya udah, kamu turun sana temuin. Katanya dia cuma mau anter makanan. " perintah Vania.

Aku mematut diri di cermin sebelum kemudian memakai cardigan selutut karena merasa T-shirt dan celana rumahan setengah pahaku sedikit kurang sopan tapi terlalu malas untuk mengganti baju. Aku rasa Jendra tidak akan sampai mampir ke unitku kan?

Namun dugaanku salah. Jendra memang membawakan makan siang untuk kami, katanya masakan ibunya, karena tahu aku sedang pindahan. Tapi ketika aku tawarkan untuk mampir, demi kesopanan, tanpa diduga dia tidak langsung menolak.

"Di sana cuma ada Bagas?" tanyanya yang entah kenapa matanya memindai penampilanku.

"Sama Vania." balasku.

"Nggak ada yang lain?"

Aku menggeleng. Kupikir dia tidak akan nyaman saat tahu kalau yang ada di atas hanya kedua sahabatku, tapi ternyata jawabannya justru di luar dugaan.

"Boleh, deh."

Sekarang justru aku yang tertegun. Rajendra, si aries ambisius dan dingin yang hampir tidak pernah berinteraksi santai denganku, yang juga merupakan crush abadi ku, mau mampir ke apartemenku? Gosh, mimpi apa aku semalam?

***

Satu kata dong buat Jeje, adeknya Mbak J dan Jani 😁

CERPEN: Man of ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang