ENAM

1.2K 113 20
                                    

Mataku mengedar ke sekeliling ruang operasi yang suhu dinginnya terasa sangat familiar. Meskipun sudah cukup lama tidak menginjakkan kaki di sini, aku tidak mungkin lupa rasanya karena cukup banyak waktu yang sudah kuhabiskan di sini. Beberapa stase koas yang aku lewati hampir tujuh tahun lalu, memiliki jadwal jaga di ruang operasi. Terutama saat stase bedah, obgyn, dan anestesi.

Jika dulu aku aku masuk ke sini dengan status sebagai koas, maka kali ini aku sedang menjalankan pendidikan dokter spesialis dermatologi dan venereologi atau lebih dikenal sebagai spesialis kulit dan kelamin. Ya, aku akhirnya mengikuti jejak Mami sebagai dokter kulit. Pendidikanku sudah menginjak semester lima, dimana aku sedang mendalami materi tentang tumor dan bedah kulit.

Kami baru saja selesai menangani kasus salah satu pasien dan sedang melakukan observasi di ruang pemulihan ketika salah satu konsulen bedah yang tadi terlibat saat operasi mempersilahkan untuk berdiskusi santai. Kesempatan langka yang tidak kami sia-siakan. Jadi kami bergegas menuju ruangan yang ditunjuk sang konsulen sekaligus dosen tadi.

Ternyata ruangan yang dipakai adalah ruangan khusus residen bedah. Dadaku tiba-tiba berdebar karena sebuah dugaan yang tidak butuh waktu lama, memang terbukti. Ya, dia ada di sana. Duduk sendirian dengan berbagai berkas di hadapannya. Aku kembali melihatnya meski dengan tampilan yang berbeda. Scrub khusus residen bedah yang dipakainya, ternyata mampu meningkatkan tingkat ketampanannya.

Rajendra.

Sepertinya ini kali pertama kami bertemu lagi di rumah sakit selama kami menjalani pendidikan spesialis. Kami memang mengambil bidang yang jarang bersinggungan. Setahuku, Jendra sudah berada di semester terakhir pendidikannya. Berbeda denganku yang menikmati beberapa tahun untuk bekerja, Jendra memilih tidak berlama-lama menjadi praktisi dan segera berkuliah kembali.

Jendra sempat melirikku, atau mungkin melirik kami semua yang masuk ke ruangan, sebelum kembali sibuk dengan berkasnya. Khas Jendra saat sedang fokus. Akupun tidak berharap dia akan beramah-tamah atau sejenisnya, karena itu sangat bukan dirinya. Apalagi kami sedang dalam mode profesional dengan bagian masing-masing. Jadi mendapati Jendra tetap menunduk di tempatnya ketika kami selesai berdiskusi, aku tidak lagi peduli.

Seperti biasanya, aku akan pulang ke apartemen kemudian berkutat dengan laporan kasus yang akan aku presentasikan besok. Rutinitas yang masih akan aku jalani selama beberapa semester lagi. Tapi aku menikmatinya, karena ini memang pilihanku. Dan aku selalu berusaha menikmati apapun keputusan yang sudah aku ambil, termasuk resikonya.

***

Aku bisa mendengar alarm yang berbunyi nyaring, tapi mataku sangat berat untuk terbuka. Hingga entah bagaimana caranya alarm itu mati sendiri dan aku kembali bergelung dalam selimut karena udara yang masih terasa dingin. Namun tidak lama, karena setelahnya aku mendengar suara-suara berisik di sekitarku, kasurku yang terasa bergerak, AC yang dimatikan, hingga aku mengerang malas ketika selimutku ditarik paksa dan aku merasa begitu kedinginan.

Aku sudah bisa menduga siapa pelakunya, tapi tetap menyipitkan mata untuk mengintip karena setahuku tadi malam seharusnya dia pulang ke rumahnya. Ternyata dia benar-benar menginap di sini.

"Kok kamu masih di sini sih? Ganggu tahu nggak!" kesalku. Aku menarik bantal di sebelahku untuk menutupi bahu yang terasa dingin.

"Kamu ada jadwal responsi jam 7, Sleepyhead. Laporan kamu belum di-print, kamu harus baca lagi, dan aku nggak mau kamu skip sarapan." ucapnya sembari menarik bantal di tanganku hingga terlepas.

Tahu tidak bisa lagi melanjutkan tidur, aku mengintip jam di nakas yang menunjukkan pukul 5.30. Ini gara-gara mengerjakan laporan kasus hingga larut, mataku jadi berat sekali untuk dibuka. Padahal aku biasanya menerapkan jam malam untuk kesehatanku, terutama kesehatan kulitku.

CERPEN: Man of ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang