Aku mencoba tidak peduli lagi dengan Rajendra. Semalaman memikirkan kejadian memalukan yang baru saja aku alami, membuatku mengambil keputusan. Aku sudah melewati rollercoaster perasaanku, dari mulai menyukainya, mendekatinya, hingga menjauhinya. Jadi seharusnya waktuku untuk memikirkan Jendra sudah lewat.
Sekeluarnya Jendra dari apartemenku, mau tidak mau aku menceritakan apa yang sudah aku lewati pada Vania. Tentang pendekatan, harapan, hingga kekecewaanku pada Jendra. Meskipun banyak bicara, Vania adalah pendengar yang baik. Salah satu alasan kenapa aku betah bersahabat dengannya. Vania mendukung apapun keputusanku, termasuk jika akhirnya aku menerima Jendra.
"Jendra tuh irresistible nggak sih, Ad? Lihat kalian semalam berasa kayak lagi nonton romantic scenenya drakor. Kalo nggak inget lagi pake baju gila, udah aku biarin deh. " kata Vania semalam yang membuatku memutar bola mata malas.
Tapi karena obrolan dengan Vania juga, aku benar-benar bersiap untuk bicara dengan Jendra. Aku harus bangun pagi, sarapan, kemudian memastikan penampilanku akan menambah rasa percaya diriku. Sudah kubilang bukan kalau Jendra itu mengagumkan? Jadi aku harus menyiapkan diri agar tidak merasa terintimidasi dengan segala hal yang sempat aku kagumi.
"Ad, aku cuma mau pesan, walopun Jendra itu banyak fansnya, kamu nggak perlu insecure. Kamu tuh cantik, fans kamu juga nggak kalah banyak, cuma dasar kamu aja yang rempong jadi nggak sempet lirik sana sini." Aku berdecak mendengar ucapan Vania ketika dia akan pulang. "Eh, bukan ketang, kamu fokusnya sama si Jendra terus sih. Padahal si Rifan, Ibra, Asta, itu kurang apa deketin kamu."
Aku hanya menggelengkan kepala. Nama-nama yang Vania sebutkan itu memang mendekatiku, tapi mundur dengan sendirinya setelah makin mengenal diriku. Its okay, setiap orang berhak memilih bukan?
Aku mematut diriku di cermin, T-shirt dan celana pendek di atas lutut ini cukup membuatku terlihat rapi tanpa berlebihan. Wajahku hanya kupoles skincare tanpa make up apapun. Sedang rambut pendekku hanya disisir seperti biasa. Aku tidak ingin Jendra mengira aku berdandan hanya untuk bertemu dengannya.
Karena permintaannya untuk mengabari jika Vania sudah pulang, aku pun melakukannya. Dan seperti yang sudah aku duga, tidak lama setelah Vania keluar dari apartemenku, Jendra sudah kembali mengetuk pintu.
Aku menahan diri untuk mengaguminya, meski pagi ini Jendra nampak segar sekali dengan T-shirt dan celana pendeknya. Gosh, kenapa pakaian kami jadi seperti couple begini?!
Aku menyilahkan Jendra masuk dan duduk di karpet. Kamarku hanya tipe studio, tidak ada ruang untuk menaruh sofa atau apapun yang layak untuk menerima tamu. Mengobrol di lobi pun tidak mungkin karena sepertinya yang akan kami bahas ini cukup privasi.
"Aku minta maaf." ucap Jendra tiba-tiba setelah aku menyimpan satu mug berisi jus alpukat di hadapannya. "Semalam aku lepas kendali."
Oh, jadi dia menyesal? Aku mengangguk-angguk.
"Tapi aku nggak menyesal. Semalam kamu cantik, aku suka." lanjutnya.
Rajendra menyebalkan! Pipiku terasa panas ketika kejadian semalam dibahas lagi. Bagaimana tidak, aku memakai lingerie! Meskipun tidak seterbuka itu, tapi bahannya yang jatuh membuat lekuk tubuhku tercetak sempurna.
"Adya, aku serius sama permintaanku semalam. Jangan menjauh, tetap sama aku."
Kalau tidak ingat sedang dalam mode tidak peduli, aku pasti terpesona dengan Jendra yang banyak bicara seperti ini. Suaranya begitu maskulin. Apalagi dia sedang memohon padaku. Tunggu, sebenarnya lebih terdengar memerintah kan? Aku pun meloloskan dengusan, memang ya, orang yang dingin seperti dirinya kadang jadi bodoh sekali saat harus bicara.
Rajendra memang tidak sebodoh itu, aku sudah membuktikan sendiri saat melihatnya melakukan presentasi kasus, menjawab pertanyaan para dosen, atau memberi penjelasan pada keluarga pasien. Dia memiliki kemampuan bicara yang sesempurna fisiknya. Gosh, aku jadi memujinya lagi.
Tapi urusan perasaan, dia tidak sepintar itu ternyata.
"Kamu lupa kalo udah punya pacar?" Aku memejamkan mata sesaat karena baru ingat dengan kenyataan satu itu.
"Aku nggak punya pacar! Kalo yang kamu maksud perempuan di parkiran, itu kakakku." Jendra meyakinkan dengan menunjukkan foto keluarganya di ponsel. Bukannya lega, aku jadi kesal karena dia membiarkan aku berprasangka macam-macam waktu itu. Tapi itu sudah lama lewat dan aku tidak akan lagi kembali ke masa itu. Aku sudah berhasil melaluinya dengan baik.
"Dan kenapa aku harus nurutin permintaan kamu?" jawabku santai sembari mengangkat gelas untuk mencicipi jus yang kubuat.
Jendra menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab, "kamu suka aku kan?". Jawabannya menerbitkan senyumku.
"Iya." Aku bisa melihat senyum singkat Jendra yang pudar ketika aku melanjutkan. "Tapi itu dulu. Aku suka kamu dari awal kita kenal, ternyata kamu sadar ya aku deketin kamu belakangan ini?" Jendra mengangguk yakin. "And you take it for granted. Padahal kamu tahu aku punya harapan di sana." kataku tajam.
"Adya, aku minta maaf. Aku nggak maksud gitu. Aku punya janji sama diriku sendiri buat nggak mikirin cewek sebelum bisa mandiri, nggak tergantung lagi secara finansial sama orang tua."
Ah, itu alasannya.
"Bagus kok itu. Lanjutin aja, Jendra." Aku mengangguk. "Artinya rasa sukaku kemarin nggak tepat waktu. Nggak apa-apa, nggak semua keinginan kita bisa terwujud kan?" Apapun alasannya, perasaanku tidak layak diabaikan. Apalagi kalau aku mengingat betapa dingin dan datarnya Jendra selama ini padahal dia tahu perasaanku.
"Adya, please.. Kasih aku kesempatan."
"Jendra, aku udah ngasih diriku kesempatan buat deketin kamu. Aku juga udah ngasih kesempatan diriku buat sedih waktu aku merasa harus jauhin kamu. Karena menurutku kesempatan itu kita yang mengusahakan, bukan orang lain yang ngasih."
Jendra nampak terpaku sebelum akhirnya mengusap wajah dengan tangannya. Sepertinya balasanku tadi cukup memukulnya. Maafkan karena saat ini aku mengulum senyum dibalik cangkir jus alpukatku. Bukan menertawakan ekspresi frustasi Jendra. Tapi entah kenapa aku bangga pada diriku.
Jendra itu ganteng, baik hati, dan mengagumkan, hingga membuatku jatuh suka padanya selama bertahun-tahun. Aku pernah menginginkannya sekuat itu sampai berani mendekatinya. Dia satu-satunya lelaki yang aku dekati. Namun aku juga sudah memutuskan untuk berhenti, setelah perasaanku tidak mendapat respon sesuai harapan.
Kemudian hari ini, ketika Jendra berbalik meminta aku untuk menerimanya, aku justru bisa mempertahankan prinsipku.
Jangan salah paham.
Aku bukan balas dendam atau sekedar memberi makan egoku. Tapi aku hanya ingin menghargai usahaku selama ini. Usahaku mendekati kemudian menjauhi Jendra.
Saat ini aku sudah berada di posisi mencintai diriku sendiri, dengan atau tanpa Jendra. Jadi, kalau Jendra benar-benar menginginkanku...
"Aku yang akan mengejar kamu. Sejauh apapun kamu menjauh."
***
Cuma satu part lagi setelah ini karna hanya cerita pendek.
Maunya gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN: Man of Choice
ChickLit"Setiap penyakit ada obat pilihannya (drug of choice) Kalo aku, cuma pilih kamu"