TIGA

852 115 12
                                    

Rajendra itu mengagumkan. Bukan hanya dalam hal akademis yang memang terkenal cemerlang, tapi saat menangani pasien Jendra begitu cekatan. Aku heran bagaimana dia masih nampak ganteng, rapi, juga penuh konsentrasi disaat rasanya aku sudah lusuh dan kehabisan tenaga.

Memasuki semester kedua, kami sedang berada di stase obgyn. Salah satu stase mayor yang begitu menguras tenaga juga waktu. Jika orang bilang kita akan menjadi zombie di sana, aku bisa paham. Manajemen waktuku berantakan. Aku bahkan beberapa kali melewatkan perawatan wajah yang selalu dibekalkan Mami. Fyi, Mami adalah seorang dermatolog. Bukan hanya merasa begitu kusam, akupun merasa berdosa karena belakangan ini jarang memasak sehingga otomatis sering melakukan pesan-antar makanan yang tentunya tidak memungkinkan aku untuk menolak sampah bungkusannya. Aku termakan kesombonganku pada Vania ketika itu.

Namun satu hari, ketika aku sedang menunggu makanan yang aku dan beberapa teman pesan di ruangan koas, aku melihat Jendra membuka kotak makanan. Aku langsung teringat kebiasaanku membawa bekal. Sepertinya bekal miliknya membuatku rindu bekalku hingga berani mendekatinya yang sedang duduk sendiri. Btw, ruangan koas ini cukup luas karena tidak hanya diisi koas angkatanku. Tapi memang kalau malam hanya beberapa orang yang mendapat jadwal jaga malam saja yang masih berkeliaran di sana.

"Bekal dari rumah ya, Chief? Apa catering? Aku mau lho kalo ada catering pake kotak makan gitu." Aku menunjuk kotak makan yang baru saja disendok isinya.

"Bisa kalo mau pesan." balasnya yang membuat mataku membola.

"Serius? Bisa pake kotak makan?" Jendra mengangguk santai sembari menyuapkan makanan. "Beneran catering apa ibu kamu yang punya catering? Kotaknya kita bawa sendiri apa dari sana?" Kali ini Jendra menatapku malas, mungkin karena aku terlalu banyak bertanya. "Jadi sistemnya gimana? Bisa pilih menu?"

"Nggak bisa, menu ditentukan."

Aku menimbang-nimbang. Belakangan ini selain aku tidak bisa minim sampah, makananku pun itu-itu saja. Kadang benar-benar seadanya mengikuti teman-temanku agar bisa sekalian diantar. Aku mengintip menu makanan Jendra yang terlihat lengkap - karbo, protein nabati dan hewani, sayur yang melimpah - sebelum akhirnya memutuskan.

"Ya udah nggak apa-apa deh. Aku nggak ada alergi juga. Aku pesan siang-malam ya, kalo pagi punya overnight oat." jelasku meski mungkin Jendra tidak peduli. Tapi tanpa diduga, dia justru bertanya balik.

"Emang kenyang?"

"Apanya? Overnight oat?" Jendra mengangguk. "Kenyang dong, banyakin aja isinya. Aku paling suka nambahin almond sama kismis. Itu udah bikin kenyang banget. Kalo lagi capek terus laper banget, nambah pisang udah paling oke. Simple juga buatnya, sekali bikin pas libur bisa buat seminggu." cerocosku tanpa sadar, yang kemudian dipotong Jendra.

"Mau dong."

"Eh? Serius?" Aku tidak menduga dengan jawaban Jendra, entah iseng atau apa. "Mau coba rasanya?" tebakku.

"Aku bawain makan siang sama malam, kamu siapin aku sarapan."

Aku tidak ingin ge-er, tapi ini penawaran macam apa sih? Kok terdengar seperti.. Aku segera berdehem agar kehaluanku buyar. Jendra hanya ingin mencoba sarapan menu lain. Tapi hal itu memunculkan keberanian lain dalam dadaku hingga mencetuskan ide konyol yang terasa sekali maksudnya.

"Kalo gitu jadwal kita harus sering bareng nggak sih?" Aku memberanikan diri menatap matanya yang seketika memperhatikanku. Selagi keberanian sedang menemaniku, aku harus menggunakannya untuk makin mendekat pada Jendra. Sudah kubilang bukan, kali ini aku ingin jujur pada perasaanku yang semakin lama makin tertuju pada Jendra. Atau mungkin karena memang sejak awal aku hanya melihat padanya.

"Bisa diatur." balasnya santai, setelah beberapa saat kami hanya bertatapan.

"Btw, aku bisa bawain botol minum lho daripada kamu pake gelas sekali pakai gitu." Aku menunjuk gelas yang memang tersedia di ruang koas. Yang mana sejak awal membuatku gatal karena membuat banyak sampah.

"Boleh."

Bisa tebak seberapa cepat detak jantungku kali ini? Jika tidak ingat malu, mungkin bibirku sudah menyeringai selebar mungkin karena senang. Apalagi setelahnya Jendra benar-benar mengatur jadwal kami agar bisa selalu pas.

Di stase ini, kami akan mendapat jadwal jaga malam setiap dua hari sekali. Partner jaga biasanya bergantung pada bagiannya, apakah IGD, kamar bersalin, atau ruang observasi. Sebagai chief, Jendra lah yang mengatur semua itu. Meski kami tidak selalu bersama dalam setiap bagian - karena itu akan sangat mencurigakan - tapi Jendra mengatur jadwal jaga malam kami selalu bersamaan. Sehingga seperti yang dia bilang, aku akan menyiapkan sarapannya sedang dia memastikan terjaminnya makan siang dan malamku.

Agar tidak membuat yang lain curiga, aku membuat overnight oat dari rumah dengan wadah yang berbeda untukku dan Jendra. Setelahnya aku akan menyimpannya terpisah di lemari pendingin ruang koas sehingga kapanpun Jendra bisa mengambilnya. Sedangkan Jendra akan menyimpan makan siang dan malamku di lokerku. Meski menu kami sama, untungnya teman-temanku yang memang begitu kelelahan di stase obgyn ini tidak sempat memperhatikan.

Botol minum yang aku janjikan pun setiap pulang kubawa dan kuganti. Aku tidak membiarkan Jendra membawa pulang botol minum atau kotak makan dalam keadaan kotor. Setiap dua hari, aku akan mengembalikan kotak makan, yang ternyata disediakan oleh pihak catering, dalam keadaan bersih.

Semua berjalan lancar sampai satu hari Jendra sakit. Hanya tiga hari, tapi karena makananku tetap diantar, sudah ada delapan kotak makan yang belum aku kembalikan. Ditambah lagi aku juga belum membayarnya. Ketika aku mengirim pesan pada Jendra, dia memberi sebuah alamat padaku. Sepertinya sebuah rumah jika aku melihat city view-nya dalam peta. Mungkin itu alamat catering yang selama ini membuatkan makananku.

Jadi keesokan harinya disaat aku mendapat libur, aku mampir ke sana setelah lari pagi di jogging track tidak jauh dari alamat yang Jendra berikan. Aku mendapati sebuah komplek hunian yang nyaman. Namun aku sedikit bingung ketika tidak ada petunjuk apapun tentang catering. Karena alamatnya sudah benar, aku mencoba melongok ke dalam pagarnya. Betapa kagetnya saat aku melihat ibunya Jendra yang waktu itu aku temui saat wisuda ada di sana.

Ibu Jendra yang ternyata masih mengenaliku menyambut dengan sangat ramah. Dia kembali mencium pipiku seperti terakhir kali kami bertemu. Membuatku benar-benar salah tingkah karena aku sangat berkeringat setelah lari pagi. Pakaianku pun nampak kurang pantas untuk menengok orang sakit, karena begitulah yang Ibu Jendra kira. Aku diajak masuk ke ruang tamu kemudian disuruh menunggu karena Jendra sedang membersihkan diri.

"Tante, maaf ya, aku sebenernya nggak tahu kalau ini rumah Jendra. Aku tuh cuma mau ngembaliin kotak makan punya catering yang tiap hari aku pesan." jelasku tidak enak hati sembari menyodorkan delapan kotak makan dalam tas. "Jendra ngasihnya alamat ini. Dia pesan catering dimana ya, Tan, kalo boleh tahu?" Wajah Ibu Jendra berubah-ubah, dari mulai bingung hingga nampak geli.

"Jendra bilang ini pesan di catering?" Aku tertegun sesaat, Jendra memang tidak pernah mengiyakan soal catering, tapi tidak mengelak juga.

"Iya, Tan. Ini aku juga belum bayar tiga hari ini." Kali ini wajah ibunya kaget kemudian terkekeh geli lalu menggelengkan kepala, membuatku bingung.

"Ini Tante yang masak. Request khusus dari Jendra buat Adya. Katanya kasian Adya kangen masakan rumah. Kok malah dijual ya?" Ibu Jendra tertawa renyah, lebih ke meledek. Membangunkan satu harapan di kepalaku.

Apa aku benar-benar boleh besar kepala sekarang?

***

Satu kata untuk Jendra 😁

CERPEN: Man of ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang