***
Hari itu aku berniat untuk mengajaknya bertemu orang tuaku. Bukan hanya perasaan takut, juga gusar untuk menghadapi semua ini.
Berat langkahku untuk masuk ke dalam rumah.
"Eh, anak mama udah pulang. Sama siapa itu?"
Aku terdiam terpaku.
"M-m-ma, kenalin ini Jo."
Mama menjabat tangan Jo, begitupun sebaliknya.
"Silahkan duduk." Ujar Mama.
Tak lama kemudian, Papa pun keluar.
"Oh, ini orangnya yang selama ini kamu omongin sama Papa."
Papa duduk menghampiri kami berdua.
"Rindu sering cerita tentang kamu. Katanya kamu itu baik. Semoga aja kamu bisa menjaga Rindu, ya." Ujar Mama.
"Kita gak pernah memandang laki-laki pilihan Rindu dari kalangan atas atau pun bawah. Karena buat kita semua manusia itu sama saja. Yang membedakan adalah derajatnya. Om setuju setuju aja kamu sama Rindu. Yang penting kamu bisa jadi imam yang baik untuk Rindu." Papa menyeruput kopi yang dibawakan Mama.
Aku hanya dapat terdiam terpaku. Sedangkan, Jo selalu membalas semua petuah-petuah Papa dengan senyumannya.
Ia tidak banyak bicara saat itu.
"Ya kita mah gak mandang orang kayak gimana. Yang penting mah seiman sama Rindu." Lanjut Papa.
Hatiku semakin gusar bahkan gelisah. Jo hanya melirikku dengan lirikannya dibarengi dengan senyuman.
"Ma, Pa. Udah sore, Jo mau pulang kayaknya."
Jo berpamitan dengan kedua orang tuaku, dan aku menghantarnya keluar. Aku terus terdiam sejak kejadian di rumah makan tadi. Entahlah, aku hanya merasakan tidak siap menghadapi semua ini.
Sepulangnya Jo dari rumah, aku langsung duduk di ruang tamu bersama Mama dan Papa.
"Ma, mau tanya deh." Tanyaku untuk mencari tau segala jawaban gundah dihatiku.
"Emangnya kenapa sih kalo kita pacaran sama orang yang beda agama?" lanjutku.
Mama duduk disampingku.
"Sayang, di Islam sudah dijelaskan bahwa kita memang tidak bisa pacaran atau bahkan menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita." Jelasnya.
"Tapi, kenapa? Bukannya cinta itu menyatukan segala perbedaan?"
"Iya, memang. Tapi, bukan untuk perbedaan yang itu. Soal keyakinan itu adalah hal paling sensitif. Jangan kamu gabungkan antara cinta dengan keyakinan."
"Kenapa harus kayak gitu? Kenapa harus mengkotak-kotakkan manusia kalo setiap manusia bisa hidup akur meski dengan orang yang berbeda keyakinan? Dimana letak keadilan cinta? Bukannya Allah menciptakan cinta, berarti segala cinta itu suci, kan? Terus kenapa harus ada larangan pacaran dengan orang berbeda agama?"
"Cukup!" Papa pun angkat bicara melihat perdebatan antara aku dengan Mama.
"Jangan membantah apa yang sudah dilarang agama."
Aku terdiam.
"Nama panjangnya Jo, siapa?" tanya Mama.
"J-j-Jonathan." Jawabku gugup.
"Oh, Jonathan. Dia muslim, kan?"
Aku langsung tersedak mendengar pertanyaan Mama.
Aku menghela nafas panjang. Dan, menggelengkan kepala.
"B-bukan. Dia nasrani."
Mama dan papa terkejut mendengar jawabanku.
"Apa? Kamu tau kan kita gak boleh pacaran sama orang yang gak seiman." Papa menatapku dengan amarah.
"Tapi, pah. Rindu cinta dan sayang sama dia." Airmataku terus mengalir membasahi pipiku.
"Rindu. Cukup. Cinta aja gak cukup untuk membimbing kamu menuju jalan yang benar dan diridhoi Allah. Kamu gak boleh pacaran sama Jo! Apapun alasannya. Papa gak mau dengar lagi soal ini." Papa bergegas pergi meninggalkanku.
Pembicaraan pun ditutup dengan amarah Papa dan kebisuan Mama. Aku hanya dapat pasrah dengan hubunganku dan Jo. Namun, apakah harus berakhir dengan perpisahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku, Kamu, dan Tuhanmu.
Teen FictionWARNING!!! CERITA INI TIDAK BERMAKSUD MENGANDUNG SARA DAN RASIS. DILARANG KERAS MENJUDGE ATAU MENDISKRIMINASI. MOHON MAAF UNTUK PIHAK YANG TERSINGGUNG ATAS CERITA DIBAWAH INI.