***
Pagi itu Jo menjemputku di rumah. Aku segera turun dari kamarku untuk menemuinya. Tapi, ternyata Papa sudah lebih dulu menemui Jo.
"Jo, maaf, Rindu tidak bisa berpacaran dengan orang yang berbeda keyakinan dengannya." Ujar Papa.
"Papa. Apa-apaan sih. Gak seharusnya ya Papa ngomong kayak gitu ke Jo. Ini urusan aku sama dia, biar aku yang nyelesain. Tapi, bukan begini caranya." Kala itu aku benar-benar marah atas sikap Papa ke Jo.
"Kamu mau menyelesaikannya? Gimana caranya? Cara yang terbaik adalah kalian berpisah."
Sontak aku dan Jo kaget.
"Gak. Rindu gak mau pisah sama Jo."
Ini adalah kali pertamanya aku menentang perkataan Papa.
"Om, tolong beri saya kesempatan. Meski kami berbeda, kami bisa saling memahami. Saya sayang sama Rindu. Saya akan menjaga Rindu juga dengan keyakinannya." Jo memohon pada Papa dengan mencium tangan Papa.
Tapi, usahanya sia-sia. Papa menarik tanganku.
"Gak bisa, hubungan kalian ditentang agama. Kalian gak bisa bersatu. Sekarang kamu masuk ke kamar, Rindu!" Papa membentakku.
Airmataku bercucuran. Mama hanya dapat terdiam melihat ini semua.
Papa terus berusaha untuk mearik tanganku.
"Kalo kamu sayang sama Rindu, tinggalin Rindu. Biarin dia nemuin orang yang lebih baik."
"Tapi, om. Tolong beri saya kesempatan untuk menunjukkan bahwa saya akan menjaga Rindu."
"Mau kalian bersama seperti apapun, kalian tidak bisa untuk serius. Kalian tidak bisa menikah dengan keyakinan kalian yang berbeda."
"Tolong tinggalkan Rindu."
Aku terus menangis dibawah kaki Papa, aku memohon untuk tidak memisahkan kami.
"Papa, tolong jangan pisahin kita. Cinta yang kita jalin itu ada dijalan yang benar. Tolong, Pa!"
Bak seorang yang sedang mengemis cinta, aku memohon pada Papa.
"Bukan Papa yang memisahkan, tapi keadaan yang memisahkan kalian. Kalian tidak akan pernah bisa bersatu sampai kapanpun. Maaf, Rindu."
Papa menarik tanganku masuk ke kamar. Dan, perlahan bayangan sosok Jo pun menghilang dari pandanganku.
Aku hanya dapat menangis meratapi semua yang menimpaku. Aku tidak pernah siap untuk semua perpisahan ini. Perpisahan yang didasari keyakinan. Apakah itu adil untuk cinta?
***
Keesokkan harinya, aku mencoba untuk menemui Jo. Sejak kejadian itu hp nya sulit untuk dihubungi. Aku menunggunya di bangku taman kampus yang biasanya kami bertemu.
Aku melihatnya gontai berjalan kearahku. Aku menatapnya dengan penuh ketakutan.
"Jo."
Belum sempat aku berucap, ia menempelkan jari telunjuknya dibibirku. Ia memelukku erat. Sangat erat.
Dan, aku merasa bahwa ini adalah pelukkan darinya untukku.
Ia menggenggam tanganku. Menghapus airmataku. Dan, menatapku dengan tatapannya yangg dalam.
"Maaf. Tapi, mungkin ini adalah yang terbaik. Bukan karena aku tidak mau memperjuangkanmu. Tapi, aku tidak ingin menyakitimu jika kamu bersamaku. Aku tidak ingin kamu dimaki oleh Papa mu gara-gara aku. Mungkin ini semua memang salahku. Semua kejadian ini salahku. Seharusnya pertemuan itu tidak membawaku kedalam perasaan yang amat dalam padamu. Seharusnya aku jujur dari awal padamu. Segala perbedaan diantara kita memang kita atasi. Namun, kita tidak bisa menentang perbedaan yang dibentuk takdir. Aku sadar, kamu dan aku memang berbeda. Kamu pergi ke masjid, dan aku ke gereja. Kamu berdo'a untuk Allah, dan aku untuk Tuhan. Kamu mengucap syahadat, dan aku melantunkan nyanyian pujian. Kamu mengharamkan babi, dan aku memakannya. Tuhan memang satu. Namun, kita yang tak sama. Kita gak akan bisa berdo'a atau bahkan beribadah disatu tempat yang sama. Itukan yang selalu kamu impikan? Mungkin hanya dengan ini aku dapat membuatmu bahagia. Meski semua terasa sulit. Tapi, mungkin inilah jalannya. Semoga Tuhan-ku selalu melindungimu. Dan, Allah-mu tidak akan pernah murka atas apa yang kita lakukan."
Airmata ku terus menetes. Aku terdiam terpaku mendengar semua ucapannya.
"In Sya' Allah, Tuhan memberkatimu." Ia melepaskan genggamannya.
"Aku sayang kamu." Ia mencium keningku dan pergi meninggalkanku.
Hatiku ingin berteriak. Namun, hanya airmata yang sanggup berbicara. Ingin ku kejar dirinya yang perlahan menghilang. Namun, kaki ku hanya dapat terpaku terdiam tak dapat berbuat apa-apa.
Inikah jalan takdirku untuknya?
Kami dipersatukan oleh cinta, dan dipisahkan karena cinta.
Adakah yang salah dengan cinta kami?
Hanya karena kami berbeda, apakah kami tidak dapat bersatu?
Aku sangat patuh dengan agamaku, aku pun tidak ingin melanggar semua larangan-Nya. Tapi, haruskah aku merelakan cintaku kandas karena perbedaan ini?
Isak tangisku tak kunjung berhenti. Aku hanya dapat berharap ia akan menoleh ke belakang dan menarik semua ucapannya.
Aku hanya dapat berharap, tidak ada lagi yang mengalami kejadian ini. Seperti aku dan Jo. Cukup rasanya hanya kami berdua yang merasakannya.
Lantas, dimana letak inti bahwa 'cinta dapat menyatukan segala perbedaan'?
Dimana keadilan cinta yang terbentuk diantara 2 insan yang berbeda?
Berbeda bukan berarti tak sama.
Berbeda bukan berarti tak bisa menghadirkan cinta.
Terkadang, yang tidak berbeda malah yang sering menyakiti bahkan mengkhianati cinta.
Inikah cinta?
Hanya menyatukan mereka; yang 'sama'. Bukan, menyatukan mereka; yang 'berbeda'.
Aku hanya ingin menunjukkan bahwa, meski kami berbeda. Kami dapat hidup berdampingan.
Dia dengan agamanya, dan aku dengan agamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku, Kamu, dan Tuhanmu.
Teen FictionWARNING!!! CERITA INI TIDAK BERMAKSUD MENGANDUNG SARA DAN RASIS. DILARANG KERAS MENJUDGE ATAU MENDISKRIMINASI. MOHON MAAF UNTUK PIHAK YANG TERSINGGUNG ATAS CERITA DIBAWAH INI.