9. Dirga Tirta/sesuatu yang tak perlu dibandingkan.

4 3 0
                                    

"kenali dan sayangi mereka"
happy reading!
.
.

"Semua itu tentang diri kamu, akan ada kalanya orang lain menilai kamu rendah, membandingkan kamu dan bahkan menyalahkan kamu atas apa yang tidak kamu perbuat. Lalu, sekeras apapun kamu ingin menutup mulut mereka, ingin menghentikan tindakan buruk mereka terhadap kamu, kamu nggak akan mampu. Kamu hanya punya dua tangan, gunakanlah kedua tangan itu untuk menutup telinga dan matamu. Semuanya ada di diri kamu, jika kamu ingin hidup tentram kendalikan dirimu, karna kita akan susah mengendalikan sesuatu yang sifatnya eksternal."

***

Malam ini kembar Dirga dan Tirta tengah berada di restaurant untuk jamuan makan malam bersama kolega bisnis sang ayah.

"Ini anak saya Dirga, dia itu kebanggaan kami. Dirga tak pernah mengecewakan saya, iyakan sayang?" Ucap Tiara wanita dengan rambut disanggul sangat cantik, dirinya benar- benar masih terlihat muda.

Alan Shankara tersenyum menanggapi istrinya yang tengah menyanjung putra sulung mereka. "Benar, dan ini anak kedua kami Tirta."

Dirga hanya tersenyum seperlunya saat orang- orang itu menatapnya. Ia beralih pada Tirta yang sudah terlihat jengah dengan tampang lempengnya.

"Putra bapak yang satunya memang tidak akan diseret ke dunia bisnis ya pak Alan? Saya dengar ini pertama kalinya bapak membawa keduanya." Tanya lelaki berjaz maroon dengan beberapa kerutan diwajahnya.

"Ahh bisa dibilang begitu, putra saya ini sedikit saya bebaskan untuk masa depannya." Kata Alan tersenyum simpul.

"Wahh sepertinya mereka benar- benar beruntung punya orang tua seperti bapak dan ibu, yang bisa mengerti dan mengarahkan yang baik pula." Kata wanita yang ada di depan Tiara membuatnya tersenyum.

"Selain dari itu, kami juga sangat yakin jika Dirga yang memegang perusahaan maka Shankara Farma pasti akan terus maju dimasa depan." Tiara menoleh ke Dirga, membuat anak itu tersenyum tipis.

"Saya juga yakin, karena saya sering mendengar bahwa Dirga selalu mendapat yang terbaik dibidang kimia. Memang ya, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya." Sahut pria berjaz maroon tadi. Membuat Alan terkekeh.

"Ayah, Tirta izin kebelakang." Tirta berbisik, kemudian melenggang pergi. Meninggalkan meja yang ditata sedemikian apik untuk acara formal ini.

Dirinya menghela napas kasar saat telah berada di toilet, hati yang sempat terhimpit kini lumayan reda. Bagai cubitan- cubitan kecil yang lama kelamaan menyiksa Tirta sudah tak ingin menahannya lagi. Ia menatap intens bayangannya dicermin, menilisik apa- apa saja yang sebenarnya terlihat hina dimata sang bunda.

Pahatan wajah dan proposi tubuh yang nyaris serupa dengan sosok kembarannya tak menjadi landasan bunda juga menyayanginya, prestasi dan nilai disekolah selalu tak berselisih jauh dengan Dirga, lalu apa yang membuat bunda tak pernah mau menatapnya seperti bunda menatap Dirga?

Apa karna Dirga yang lebih mudah mendapatkan nilai sempurna sementara dirinya harus belajar extra untuk nilai- nilai itu? Tirta jadi tak pernah menghargai dirinya karna ibunya sendiri seakan tak menghargainya.

Tangannya yang terkepal bergerak untuk mengendurkan dasi hitam yang melilit lehernya. Netra yang semula bergetar memandang pantulan elok dari rupanya teralihkan bersamaan dengan daksanya yang bergerak menjauh dari cermin.

Tirta tak kembali lagi, remaja tanggung berbalut jaz abu- abu itu pergi dari tempat yang tak seharusnya ada dirinya disana. Ia membawa motornya dengan kecepatan normal, tentu saja Tirta tak ingin mati dengan cara biasa. Mati karena kecelakaan sudah terlalu biasa bukan?

Rupanya ia membawa dirinya ke taman sepi, Tirta tak akan takut dengan jambret, begal ataupun tindakan jahat lainnya karena disinialah ia selalu merenung hingga pulang larut dan berujung diomeli Dirga.

Ternyata bukan mengapel hingga lupa waktu seperti yang selalu Dirga bilang, Tirta hanya menepikan dirinya pada tempat dimana ia tak menemukan seseorang yang mengenalnya. Ia lebih memilih kesepian dari pada harus tertekan.

"Apa bunda nggak sayang Tirta ya? Bahkan kayanya ayah juga enggan buat kasih perhatian ke Tirta." Dulu, waktu umurnya 10 tahun Tirta pernah mengaku akan perasaannya ke mbok Rumi, dan jawabannya hanya senyuman kecil diikuti kata "Nggak ada ibu yang nggak sayang sama anaknya. Mungkin cara bunda menyayangi mas Tirta agak berbeda, menyayangi dengan cara yang nggak biasa karna mas Tirta adalah sosok yang nggak biasa."

Berbeda apanya? Seiring berjalannya waktu Tirta jadi tau kalau dirinya memang mendapat perlakuan yang tak adil dari seseorang yang harusnya mencintai dan menyayanginya lebih dari apapun. Tirta selalu berharap jika bundanya hanya khilaf atas semua ucapan yang ia lontarkan padanya, Tirta menunggu bunda mengatakan sepatah kata maaf dengan pelukan hangat selama ini.

"Saat- saat kaya gini rasanya gue udah nggak tahan buat nggak benci lo Dirga." Ucapnya waktu itu saat ia melewati Dirga dengan telanjang dada dan punggung memerah.

"Maaf Ta." Tirta hanya melenggang dan mengurung dirinya dikamar.

"Lo sodara gue Ga, nggak mungkin gue bisa benci sama bagian dari diri gue sendiri." Katanya menunduk, mengamati rerumputan hijau tempat ia menapakan kakinya sekarang.

"Hai, lagi banyak pikiran ya?" Tanpa Tirta sadari, ternyata ada manusia selain dirinya disana. gadis itu kemudian duduk di sebelah Tirta.

Tirta tak memperdulikan kehadirannya, ia hanya diam. Apa mungkin gadis kurus itu mendengarnya berbicara sendiri tadi?

"jangan cerita sendiri apa lagi dipendem sendiri, kamu akan susah nemuin titik terangnya nanti."

"Lo siapa? Ngapain disini?" Tirta tak memperindah ucapan gadis itu dan malah balik bertanya.

Gadis dengan jaket biru itu mengedikan bahunya, "mungkin Tuhan mau aku pinjemin telingaku ke kamu."

Tirta menoleh, menelisik sesuatu yang mungkin akan menjadi alasan ia untuk mengatakan kalau cewek ini gila.

Namun, Tirta tak menemukannya, yang ia lihat adalah sorot ketulusan dari mata belo milik gadis itu yang mungkin juga sama- sama memilih kesepian seperti Tirta.

"Kamu nggak pernah didengar ya?" Tanya gadis itu, membuat Tirta kembali tersentak.

"Lo mirip temen gue." Ucap Tirta dan gadis itu tersenyum.

"Mata kamu nggak bisa bohong, itu yang buat orang- orang akan lebih mudah liat kamu." Gadis itu mengatakannya dengan tersenyum.

"Nama lo siapa?"

"Barsha." Tirta memandangi gadis itu dari samping, namun ia tau kalau Tirta tengah terbengong sekarang.

"Jangan takut buat suarakan apa yang kamu rasa, aku akan dengerin kamu kok." Barsha menggerakan tangannya dihadapan Tirta saat ia bicara.

***

aku suka chemistry tirta dan barsha♡

ah iyaaa aku rasa cerita ini mbosenin banget karena beneran nggak ada readersnya hahaa. tapi gapapa la yaa mungkin belum saatnya ajaa
semangat buat aku, buat kalian jugaaaa!! terlebih buat penulis pemula kaya aku. luvvv kaliannn💙💙

Semesta dan RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang