"Kenapa gue harus cerita ke lo?"
"Nggak harus kok, aku nggak memaksa, aku hanya menawarkan apa yang seharusnya, aku juga mau menjalankan misi utama aku saat ini." Terang gadis itu.
"Misi apaan?" Sebenarnya Tirta ini seseorang yang punya jiwa kepo luar dalam, pada dasarnya Tirta bukanlah anak pendiam.
"Misi menjadi baik dan berguna untuk kehidupan."
Tirta meangguk- angguk, "gue bakal bantu lo buat jadi orang baik." Katanya dan terkekeh ringan.
Ia menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Rasanya gue pengin hilang, menurut lo tempat seperti apa yang harus gue jadikan sebagai pelarian?" Pertanyaan Tirta membuat Barsha menggeleng.
"Menghilang nggak akan menyelesaikan masalah, kemanapun kamu lari kalau kamu meninggalkan sesuatu yang belum selesai di dunia kamu nggak akan tenang." Ia mengamati dari sanping Tirta yang hendak bercerita.
"Tapi capek, gue merasa nggak diberi kesempatan buat dapetin apa yang gue harap."
"Untuk apa hidup, jika hanya diabaikan. semua yang gue capai nggak pernah ada harganya, gue merasa dilukai sama orang yang harusnya sayang sama gue lebih dari apapun."
"Gimana gue mau sayang dan menghargai diri gue sendiri kalo lingkungan gue nggak percaya dan nggak menganggap gue ada?" Tirta menghela napas pelan setelah mengatakannya.
"Semua pilihan ada dikamu." Tirta menoleh, membuat mereka saling menatap.
"Memilih untuk tidak mendengarkan, atau memilih untuk dipikirkan dan berujung tertekan."
"Ada kalanya kita harus menempatkan rasa bodo amat, bodo amat terhadap sesuatu yang berpotensi membuat rasa sakit dihati kita semakin besar."
"Dibandingkan, dicela, diragukan. Aku dan kamu merasakannya, tapi kita punya dua tangan, dan itu nggak mungkin bisa untuk menutup mulut semua manus6ia didunia ini, makanya aku selalu berusaha memanfaatkan dua tangan itu untuk menutup mata dan telingaku agar tak mendengar ucapan jahat dari orang lain, aku harap kamu juga."
"Apa dengan itu bakalan cepet sembuh?"
Barsha tersenyum. "Nggak, luka batin itu nggak gampang buat disembuhin tapi setidaknya kamu udah berusaha biar lukanya nggak makin dalam kan?"
"Jangan sungkan untuk menyuarakan hati kamu, kamu harus tau kalo Tuhan nggak akan membiarkan kamu kesepian. Panggil namaNya dan ceritakan semua padaNya kalo kamu terlalu takut pada manusia." Gadis itu beranjak dari duduknya.
"Sejujurnya aku sering liat kamu disini, aku selalu mendengarkan kamu Tirta..."
"Maaf, semua yang aku ucapkan bukan hanya sekedar kebetulan, tapi aku mengenal kamu setiap kamu bermonolog disini. Aku harap kamu akan segera didengarkan dan disayang sama seseorang yang kamu harapkan."
"Temui aku disini kalo kamu capek, aku akan bawa kamu menepi sejenak."
Tirta terkejut sampai tak sadar jika Barsha sudah melenggang pergi dari hadapannya, "Tunggu-" Saat kesadarannya kembali, gadis kurus berjaket biru itu telah hirap dari pandangannya.
Dunia Tirta teralihkan oleh gadis berjaket biru, Tirta berharap bertemu dengannya kembali.
***
Setelah ia berada dirumahnya ia terus berjalan sampai menemukan ayah dan bundanya bersama Dirga tengah berada di ruang keluarga.
"Sana belajar, kata bu Ina besok ada ulangan kan?" Suruh Alan pada Dirga.
"Dirga tidur sebentar ya yah? Dari siang kan Dirga ikut ayah buat ketemu orang- orang, agak capek."
"Belajar dulu." Tegas Alan.
Tiara mengelus lengan Dirga, "Gak papa ya? Nanti bunda bawakan susu coklat buat nemenin Dirga belajar."
"Strawberry aja bun."
"Bukannya kamu nggak suka?"
"Pengin."
"Oke, nanti bunda bawakan."
Anak itu tersenyum tipis dan mengangguk, kemudian melenggang pergi meski setelahnya menghela napas kasar.
"Tunggu Tirta." Suara berat ayahnya mengintrupsi langkah Tirta yang tadinya tak niat untuk berhenti.
"Dari mana kamu?"
"Tirta habis ada urusan yah." Jawabnya.
"Sepenting apa sampai nggak pamit dulu? Kamu tau kalau itu nggak sopan?" Tuding Alan.
"Maaf ayah."
"Menyusahkan saja kamu ya! Seperti tidak di didik." Sela Tiara.
"Diam Tiara, ini urusan aku dan Tirta." Ketus Alan membuat Tiara bungkam dan melenggang pergi untuk membuatkan segelas susu strawberry untuk Dirga.
"Sana belajar sama Dirga, Ayah nggak akan marahin kamu." Katanya dan membiarkan Tirta melenggang pergi dengan kebingungannya.
Beberapa hari ini ayah menjadi baik dan tak sering marah- marah padanya dan Dirga, mereka berdua menyadarinya membuat mereka merasa bersalah telah menistakan nama ayahnya beberapa hari yang lalu.
Tirta tak belajar bersama Dirga, ia memasuki kamarnya dan berganti baju sebelum akhirnya mendudukan diri dimeja belajarnya. Ia membaca bukunya dan mengerjakan latihan soal.
Brak
Dirga menendang pintu kamar Tirta, membuat sang empu yang tengah fokus belajar itu terperanjat. Kemudian menatap bengis pada si pelaku.
"Ta." Dirga masuk dengan tergopoh- gopoh bersama dengan buku dan segelas susu strawberry buatan bunda.
"Lo abis ngapel nih pasti?" Selidik Dirga setelah meletakan susu itu diatas nakas dan hendak membaca sambil tengkurap.
Tirta hanya diam, "ah lo nggak asik!" Katanya dan beranjak, membawa gelas berisi susu strawberry itu mendekat ke Tirta.
"Nih minum." Tirta menoleh ke Dirga.
"Sejak kapan lo suka rasa strawberry?"
"Nggak suka, itu buat lo."
"Kerasukan setan dari mana lo?" Tirta beranjak dan menempelkan punggung tangannya pada dahi Dirga. Ternyata panas.
"Pantes gesrek, lo demam."
"Kurang ajar lo Ta! Dibaikin juga." Sewot Dirga.
"Udah lo mending tidur dari pada makin gesrek entar otak lo. Besok nyontek gue aja gampang." Kata Tirta dengan nada yang cukup menghina.
"Sok iye lu." Kata Dirga dan kembali tengkurap setelah meletakkan susu itu di meja belajar Tirta.
"Thanks Ga." Tirta menenggak susu itu, jika Dirga benci semua yang berbau strowbeery maka Tirta cinta setengah mati pada buah merah itu.
Dirga tak menggubris, ia belajar sambil menidurkan kepalanya, mengabaikan rasa pusing dikepalanya.
"Tidur jir. Gue yang belajar, besok beneran gue ijinin nyontek."
"Sorry, gue anti sama yang begituan."
"Dih, sok kuat tcih."
Sebenarnya mereka saling peduli, kadang terlihat secara terang- terangan. Namun tak ada yang mengakui karna mereka sama- sama berusaha menutupinya dengan alasan gensi.
Seperti yang Tirta bilang, mereka berdua itu satu jadi tak akan bisa saling membenci.
Dan seperti yang Dirga bilang, kalau mereka sama- sama menjadi alasan masing- masing untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan Rahasia
Teen Fiction"Kenali mereka yang terluka." Bukannya bersenang- senang menikmati masa remaja, mereka seakan tak diberi kesempatan. Dipaksa mengerti keadaan dan menerima gebrakan takdir tak mengenakan. Mereka, 6 remaja dengan dekap luka dihati masing- masing. Sali...