Semenjak berpulangnya sang suami, Wulan menjadi wanita yang melankolis. Apalagi kesian yang menimpa Ganiya beberapa waktu lalu. Bagaimana bisa putrinya tidur si tempat seperti itu tanpa ada jejak apapun yang mengarah jika Ganiya berjalan sendiri ke tampat itu. Atau bahkan ini menyangkut hal yang berbau mistis seperti kejadian sewaktu dirinya pulang kerja, serta aroma aneh yang sempat Wiji dan Ujang hirup itu. Padahal di sekitar rumahnya tidak ada malam ataupun tempat sesaji.
Setiap hari pikirannya mulai tidak fokus, pekerjaan banyak yang terbengkalai sampai beberapa orang kepercayaannya kewalahan. Dirinya capek, capek fisik dan juga mentalnya. Menghadapi beberapa teror untuk keluarganya, hal-hal yang kurang wajar dan setumpuk pekerjaannya yang seharusnya dikerjakan oleh mendiang suaminya. Walau ada Pandu yang membantunya, namun Wulan mulai membatasi gerak gerik Pandu agar tidak terlalu leluasa memegang kendali kantor.
***
"Bagaimana, Mbah. Apa bisa kita mulai lagi hal-hal yang menyenangkan seperti kemarin?" Ucap lelaki itu pada lelaki tua di depannya."Semua bisa diatur jika bayaran juga lancar." Sahutnya dengan diakhiri suara tawa yang melengking. Mendapat mainan baru setelah lama vacum dari dunia hitamnya membuatnya bersemangat dan juga senang. "Beres juga jika kerjanya juga beres, Mbah." Jawab lelaki itu sambil memberikan amplop coklat dengan beberapa lembar uang di dalamnya.
"Aku suka yang begini. Kita lihat malam jum'at kliwon nanti." Setelah mengucapkan itu mereka tertawa bersama. Menertawakan apa yang akan terjadi pada targetnya nanti.
***
Wulan membuat janji dengan Sari, adik kandung dari mendiang suaminya. Dia akan menceritakan apa yang sudah dilakukan oleh suaminya itu pada kakaknya dan pada keluarganya akhir-akhir ini. Buah cafe dengan nuansa perdesaan menjadi pilihannya. Wulan memesan ruangan khusus yang biasa untuk pertemuan yang berada di dalam ruangan agar nanti meminimalisir seseorang mendengarkan percakapannya."Sudah lama Mbak?" Sapa Sari pada Wulan. Perempuan ayu itu berdiri untuk menyambut adik iparnya laku mereka berjabat tangan dan menempelkan kedua pipi bergantian. "Belum, dik. Baru sebentar." Wulan memberi senyuman khasnya yang memperlihatkan lesung pipit su kedua pipinya itu.
"Tumben kita janjian di luar, Mbak. Kenapa tidak di rumahmu atau rumahku saja, Mbak?" Pertanyaan Sari yang mulai curiga sesuatu.
"Biar ada suasana lain Dik." Jawabnya masih santai dan menikmati minuman yang sudah disediakan serta beberapa cemilan di meja depan mereka. Mereka menikmati kudapan dan minuman sambil sesekali bersenda gurau. Sari lega melihat kakak iparnya sudah bangkit dan tidak terpuruk lagi seperti seminggu setelah kematian sang Kakak yang secara mendadak. Wulan sudah terlihat lebih segar. Wulan sengaja menikmati masa-masa ini sebelum menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Mungkin akan lain cerita dan kondisi jika Dari tahu akan kelakuan dari suami kebanggaannya itu atau malah akan jauh dan membenci Wulan yang dikira berburuk sangka pada Pandu.
Wulan mulai menceritakan tentang kecelakaan yang menimpa suaminya. Sebenarnya suaminya hanya luka sedikit dan semuanya dinyatakan aman. Namun suatu hal terjadi. Akibat kelengajan petugas rumah sakit, ada seseorang yang sengaja memberikan obat pemacu jantung dan obat lain yang berakibat fatal dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian yang dialami oleh Wiji, ujang dan Ganiya tak lupa diceritakan tanpa mengurangi maupun menambah inya.
"Kamu tau dik, siapa yang melakukan semua itu?" Tanya Wulan mulai pada inti pembicaraannya. "Siapa Mbak orangnya? Biar aku kasih pelajaran deh." Sari mulai berapi-api.
"Suamimu.... Pandu." Wulan menceda ucapannya sebelum menyebut nama adik iparnya itu. Sari yang tadinya semangat untuk membalas perbuatan dari pelaku, hanya bisa terdiam setelah mendengar nama suaminya. Bagaikan tersambar petir di siang yang terik ini.
"Ba... Bagaimana bisa Mas Pamdu melakukan itu semua, Mbak?" Sari tergagap dengan ucapannya.
"Hanya memiliki satu alasan." Wulan menjeda ucapannya." Ingin menguasai seluruh kekayaan peninggalan Ayah dan menguasai kantor yang dimiliki Mas Tama." Wulan menjabarkan semuanya. Sari menggelengkan kepala tidak menyangaka jika suaminya setega dan selicik itu pada saudaranya sendiri.
"Dengan kenyataan ini, apakah kamu membaciku dik?" Wulan memandang Sari dengan tatapan sendu.
"Tidak, Mbak. Aku tidak akan pernah membencimu. Justru aku minta maaf jika ketamakan suamiku membuatmu menderita." Sari membalas pandangan kakak iparnya lalu mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Kehilangan orang yang paling di sayang adalah hal yang menyakitkan.
"Tenang saja Mbak. Aku akan bantu sebisa mungkin. Jika memang Mas Pandu harus dipenjara aku ikhlas. Karena dia harus bertanggungjawab atas semua perbuatannya." Sari menggenggam tangan Wulan untuk saling menguatkan.
***
Sesampainya di rumah, Sari masih bersikap seperti biasa. Seolah-olah dia belum mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh suaminya. Selama ini memang sikap Pandu yang sangat menonjol ketika menerima panggilan dari seseorang akan menjauh dari Sari dan anaknya. Awalnya dia pikir biarlah, itu mungkin urusan pekerjaan yang tidak boleh diketahui oleh orang lain untuk menjaga kerahasiaan.Sari mulai berani mengambil ponsel suaminya dan melamar siapa yang di hubungi dan menghubungi suaminya terakhir kali sebelum mandi tadi. Pasalnya, panggilan itu cukup lama dan Pandu seperti membicarakan hal yang sangat serius. Dia akan membuktikan sendiri apa yang dibilang oleh Kakak iparnya.
"Mbah Landep," Gumamnya sendiri lalu mengawasi arah pintu kamar mandi. Biasanya suaminya akan lama di kamar mandi dan akan membawa serta ponsel ke dalam. Kali ini kenapa Pandu lupa akan kebiasaannya itu. Mungkin dewi fortuna baru berpihak pada Sari. Dengan cekatan perempuan itu mencatat nomer ponsel yang ada di layar dan mencari nomer yang sekiranya mencurigakan lainnya. Lima belas menit waktu yang sudah dihabiskan untuk melacak ponsel suaminya, keringat mengucur deras dari dahinya dan jantungnya berdegup kencang karena ulahnya sendiri. "Cukup untuk hati ini." Ucap lirih Sari sambil meletakkan ponsel pamdu pada tempat semula setelah menghapus riwayat di ponsel itu.
Belum ada tanda-tanda jika suaminya akan keluar kamar mandi. Sari segera keluar dari kamarnya dan menyiapkan keperluan suami serta melihat anaknya sudah mengerjakan pekerjaan rumah atau belum.
Setelah melayani suami dan anaknya sudah lelep semua. Diam-diam Sari mengirim beberapa nomer itu pada Wulan sebagai bentuk komitmen untuk membongkar kecurangan suaminya.
Sebelum tidur pun, Wulan akan memeriksa ponselnya melihat ada pesan penting atau tidak dan melihat jadwal untuk rutinitas esok hari. Sebelum meletakkan ponselnya, sebuah pesan masuk dan verbunyi tiga kali. Ada tiga pesan yang harus dibacanya sebelum tidur. Sambil menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang lalu membuka pesan itu. Dari adik iparnya yang mengirim tiga nomor seluler yang menurutnya mencurigakan bagi Sari.
"Mbah Landep?" Gumamnya lirih. Wulan berfikir sejenak dengan sebuah nama yang barusan dibacanya. Wulan mengirimkan nomer Mbah Landep pada seseorang untuk melacak siapakah pemilik nomer tersebut. Tidak butuh waktu lama, sekitar tiga puluh menit informasi atas Mbah Landep sudah si terimanya.
"Apa?!" Sontak Wulan syok tentang informasi dari orang kepercayaannya itu, jika Mbah Landep adalah seorang dukun yang biasa menyantet korbannya hingga sekarang dan banyak juga yang meninggal.
"Kenapa Pandu menghubungi dukun itu? Dia akan menyantet siapa dan bagaimana cara nyantetnya?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Wulan.
Bersambung....
*******----------********
KAMU SEDANG MEMBACA
Titisan
Mystery / ThrillerGaniya Pratama kembali ke tempat kelahirannya setelah menyelesaikan studinya untuk meneruskan usaha keluarga sekaligus menguak kematian kedua orangtuanya. Dia dan adiknya bekerjasama untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun, perjalanannya tidak mudah...