Lalisa pernah bertanya-tanya pada hubungan orang-orang disekitarnya yang bertahun-tahun diperjuangkan, kenapa mereka begitu mudah mengakhirnya. Seolah-olah segala ucapan penuh kedambaan dan segala mimpi yang secara perlahan coba diwujudkan bersama-sama tidak pernah ada.
Lalisa mulai sedikit mengerti karena sedang berdiri disana. Mungkin bukan jawaban yang sama dengan semua orang tetapi jawabannya yang ia temukan bukan karena tidak lagi saling mencintai.
Justru, karena masih mencintai akan menyedihkan untuk bertahan. Lama-lama bisa menakutkan, kalau sampai bertahan dan menghancurkan semua yang sudah dibangun tanpa tersisa.
Lalisa menghela napas, menekan nomor telfon yang sama untuk kesekian kalinya tetapi yang dihubungi seberang sana tidak kunjung menjawab.
Mengetahui akan sia-sia menunggu lebih lama, Lalisa beranjak. Ada pesawat yang harus ia kejar, ia tidak mau perasaannya berantakan sementara ada banyak kegiatan yang akan ia lakukan kedepan.
******
Jiyong tersenyum puas melihat hasil mahakaryanya, mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Puas melihat hasil mahakarya dari hasil potretan, jemarinya dengan hapal berlari diatas layar pipih mencari kontak yang nomornya sudah dihafal.
Menekan tombol facetime, Jiyong menampilkan wajah penuh senyuman. Dering kelima, panggilan dijawab. Namun bukan wajah Lalisa yang dia harapkan muncul, justru wajah manager pribadi gadis itu.
"Ah, Lisa ada kerjaan?" tanya Jiyong, senyumnya tentu menghilang.
Sang manager tersenyum tipis, mengangguk. Tampak kagok karena harus facetiming dengan Jiyong dan perubahan wajah yang begitu cepat tersebut, tentu saja bukan ia diharapkan untuk dilihat.
"Sampai jam berapa?"
"Mungkin sampai tengah malam, ada beberapa kali istirahat. Nanti– "
"Jangan," potong Jiyong. "Tidak perlu, dia pasti butuh tidur."
Wajah penuh sang manager dilayar ponsel Jiyong memperlihatkan ketidakyakinan.
"Aku akan mengirimnya pesan, tidak ada hal penting yang ingin kusampaikan."
"Oh, baiklah. Itu saja?"
"Ya, selamat malam," Jiyong memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari manager Lalisa.
Jiyong tidak bohong, tidak ada hal penting yang ingin disampaikan. Hanya hal menyenangkan untuknya – yang ingin dia bagi dengan Lalisa sekaligus meminta pendapat dan mendengarkan pujian yang sering Jiyong dengar dari Lalisa.
Rasanya sudah agak lama ia tidak mendengar pujian dari Lalisa. Jiyong kembali melihat galeri dari ponselnya, ada beberapa foto lainnya selain hari ini yang ingin ia perlihatkan.
Ternyata ada banyak sekali dan ternyata memang sudah sangat lama.
Jiyong menghela napas, tidak suka dengan perasaan yang tiba-tiba menghampiri.
*****
Perasaan kosong itu milik berdua. Membiarkan dan pelan-pelan menjadi kekecewaan juga ulah keduanya. Satu kabur mencari jawaban dan satu mengejar untuk mencari kejelasan. Komunikasi yang dulunya begitu mudah kini hilang. Berganti jadi penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece Of Your Mind
Fiksi PenggemarMasih tentang Lalisa dan kisahnya yang tak berujung. Hidupnya baru saja dimulai, ada banyak hal yang Lalisa pelajari setiap harinya. Bagi orang lain, Lalisa tidak pernah berubah. Tetap sama. Menjadi seorang bintang yang ingin menjadi contoh yang ba...