1. Warta Ganesha

2.1K 320 9
                                    

MATAKU TERBELALAK. Kaget. Takjub. Terpesona. Hasil wawancaraku dengan artis sekolah a.k.a Nicolas Panji terpajang tepat di halaman tengah-tengah majalah Wartaga. Penuh, dua halaman sekaligus. Tanya jawab yang berhasil kurangkum jadi artikel keren memenuhi halaman pertama. Sedangkan halaman kedua dipenuhi foto si artis yang diolah sedemikian rupa, sehingga kesannya Nico jauh lebih ganteng daripada waktu aku wawancara kemarin.

Judul artikel "CARPE DIEM!", yang kemarin kubuat sedikit gila-gilaan pake font Broadway ukuran 48-di-bold pula-untuk menarik perhatian pembaca, sekarang mengerut jadi ukuran 26 dan nyempil di pojok kanan atas, menimpa sedikit bagian foto Nico, nyaris kehilangan eksistensinya.

"Setiap karya memiliki unsur kreativitas. Untuk itu dibuat hak cipta, supaya nggak ada orang yang sesuka hati mengubah karya orang lain," kataku setengah nyindir kepada Maria, ketua klub jurnalistik sekaligus editor in chief alias pemred majalah sekolah yang sedang kupegang ini.

"Dengan cara eksploitasi foto orang begini?" tanyaku. "Oh, ya. Itu salah satu trik marketing."

Aku sudah bilang soal ini berkali-kali kepada siapa pun yang kukenal atau siapa aja yang mau dengar, kalau nggak kenal Maria secara pribadi atau bukan tipe orang ndablek nggak sensitif, jangan pernah ngobrol dengan Maria. Berharap Maria bicara manis sama sulitnya dengan mengharapkan kebanyakan warganet +62 mau baca dulu sebelum ngetik komentar.

Banyak orang yang bilang aku ini sinis dan nggak ramah. Faktanya, aku cuma amatir kalau dibandingkan sama Maria. Bosku itu jauh lebih sinis dan nggak ramah. Oh, ya, satu lagi kelebihan Maria, dia bisa mengintimidasi orang cuma dengan tatapan mata yang tajam dan ditunjang kecerdasannya. Teramu-padu dalam kalimat-kalimat pedas dan nusuk, tapi sering bikin lawan bicaranya mikir "Iya juga, sih", persis kayak yang kulakukan sekarang.

"Nih, ya, lo tunggu aja. Dengan adanya Nico seganteng ini, minat temen-temen kita meningkat drastis buat baca majalah ini. Paling nggak, majalah kita ini bakal disimpan baik-baik sama cecewek groupies-nya si Nico, bukannya jadi sampah laci meja. Ya, nggak?"

"Pemborosan. Majalah kita jadi majalah Playboy sekarang?" Maria mencibir. "Lo pernah buka majalah Playboy nggak? Mending lo lihat dulu sebelum komentar. Mana ada foto beginian di majalah Playboy?"

Aku meringis. Sekali lagi kutatap foto candid-nggak-sengaja-aku telanjur menekan tombol capture waktu Nico masih menunduk membenahi dasinya. Mendadak rasa sebalku muncul lagi. Rasanya aku nggak rela. Foto ini membuat Nicolas Panji jadi ratusan kali lebih baik daripada sosok aslinya. Hei, apa aku berbakat jadi fotografer juga seperti dia? Buktinya, aku bisa mengambil foto sebagus ini. Terlepas dari skill editing Maria, foto mentahnya, kan, dari aku!

"Coba orangnya sebagus foto ini, ya ...," gumamku. "Gue, kan, jadi berdosa."

"Maksudnya?" tanya Maria.

Kualihkan mata dari foto di majalah itu kepada Maria. "Nicolas yang asli sombongnya selangit. Ngeselin. Foto ini kayak penipuan publik."

"Sombong?" Maria mengerutkan dahi. Dia bahkan melepaskan tangannya dari mouse komputer. "Nicolas Panji?"

Aku mengangguk. "Emosi banget gue pas interviu dia. Padahal cuma setengah jam."

"Masa, sih, Cit?" Maria malah balas bertanya. "Padahal Nico yang gue tahu supel banget. Ramah dan nggak pernah jaim. Koplak lagi, menjurus ke malu-maluin temen."

Kali ini giliranku yang mengerutkan dahi. "Nicolas Panji yang itu?"

Maria mengangguk. "Banyak yang bilang si Nico itu tampang kayak tokoh teenlit, tapi kelakuannya receh abis."

Under Your Spell - TEASER ONLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang