"LO PERNAH penasaran nggak, sih, Dhir, kenapa kita cuma boleh ikut satu ekskul?" tanyaku.
"Hm?"
"Maksudnya, apa salahnya suka sama dua atau tiga hal sekaligus? Ibaratnya, apa salahnya kalau gue suka Orlando Bloom sama Leonardo DiCaprio? Kenapa harus milih salah satu? Kita, kan, masih muda. Harusnya dikasih kesempatan buat belajar banyak hal biar tahu potensinya di mana."
"Harusnya."
"Kenapa, ya, sekolah ngebatasin kita banget? Kayak yakin banget kalau kebanyakan ekskul bikin nilai anjlok. Kan, banyak tuh yang sibuk di organisasi, tapi nilainya bagus-bagus."
"Lagi ngomongin diri sendiri?"
Aku tertawa kecil.
"Santai. Selama gue jadi ketua KIR, lo selalu bisa masuk," kata Dhira.
Aku nyengir lebar. See? Hatiku menghangat tanpa bisa dikendalikan.
Terkadang, aku heran dengan kemampuanku mencintai sesuatu. Aku begitu mencintai jurnalistik dan riset sampai berani mengambil risiko bermasalah dengan pihak sekolah. Dan aku begitu menyukai Dhira, hingga mengabaikan seluruh cowok keren di sekolah ini, karena bagiku hanya Dhira seorang yang keren. Karena kemampuanku inilah, aku bisa menjalani hidup membosankan selama lima tahun terakhir, yang hampir 70 persennya kuhabiskan untuk menebak-nebak apa yang sedang Dhira pikirkan, apa yang sedang Dhira lakukan, apa dia merasakan perasaan yang sama, dan kapan kira-kira Dhira menyatakan cintanya kepadaku-kalau dia punya perasaan itu, tentu saja.
Dhira adalah orang pertama yang membuatku mencari tahu tentang cara berdandan. Dia adalah sosok yang membangkitkan jiwa puitisku, membuatku menciptakan puisi-puisi picisan yang mungkin jika dikumpulkan sudah membentuk sebuah novel. Dia adalah objek imajinasi dari setiap kisah romantis yang pernah kubayangkan.
Aku dan Dhira sudah berteman sejak aku bisa mengingat. Rumahnya cuma beda tiga blok dari rumahku, dan kebetulan kami selalu satu sekolah. Sebenarnya, di bangku SD dulu kami saling bersaing menjadi yang terpintar. Persaingan ini terbawa jadi saling benci. Plus, sejak dulu Dhira adalah tipe cowok penyendiri dan nggak banyak bicara, yang sekalinya bicara bisa sangat menyebal- kan. Aku ingat sekali, dulu aku memprovokasi teman-teman dekatku untuk ikut-ikutan membenci Dhira.
Hingga suatu hari yang sial di kelas VI SD, buku PR Matematikaku ketinggalan. Bagi anak SD di zamanku dulu, ketinggalan buku adalah nasib sial yang mengerikan. Aku dianggap cuma beralasan dan belum mengerjakan PR. Akibatnya, aku dihukum berdiri di luar kelas dengan satu kaki dan tangan menjewer telinga sendiri. Pasrah, aku pun menjalani hukumanku dengan menahan malu. Nggak lama berselang aku keluar kelas, Dhira juga keluar. Kukira dia hendak mentertawaiku, tetapi dia malah berdiri di sebelahku dengan pose yang sama. Mustahil dia nggak bawa buku PR juga karena tadi kulihat teman sebangkunya meminjam buku itu untuk disontek.
Saat kutanya dia sedang apa, seperti biasa, Dhira nggak menjawab apa-apa. Namun, sejak hari itu, perasaanku kepadanya berubah drastis. Aku jadi sering salah tingkah saat ada Dhira. Mataku nggak bisa berhenti mencari-cari Dhira di setiap kesempatan. Aku semakin semangat belajar untuk mengunggulinya, semata-mata agar dia memperhatikanku. Agar dia kagum kepadaku. Kecuali bagian persaingan nilai, perasaan-perasaan itu terus bercokol sampai sekarang.
Di bangku SMP, kami menjadi akrab karena sama-sama ikut ekstrakurikuler KIR. Dhira masih cowok cool dan irit kata yang sama, tetapi aku selalu merasa di balik sikap cuek dan diamnya itu, Dhira perhatian kepadaku. Itulah awal dari baper berkepanjangan ini, meski di awal kelas VIII hatiku patah sepatah-patahnya. Dhira membuat sekolah geger karena pacaran dengan Mytha, cewek paling cantik, gaul, dan ramah satu sekolah.
"Lo pasti nggak sempet ke kantin, kan?" tanya Dhira, memutus lamunan nostalgiaku. Lalu dengan tangan kanannya, dia menge- luarkan sebatang cokelat dari saku celana dan memberikannya kepadaku. "Nih, buat ganjal perut. Jangan sampai mag lo kambuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Your Spell - TEASER ONLY
Teen FictionCERITA INI HANYA DIUNGGAH 7 BAB PERTAMA SEBAGAI TEASER "Lo pengen nggak Cit, kalau cowok yang lo taksir balas naksir sama lo? Gue punya sesuatu yang bisa membuat mimpi kita jadi kenyataan." Citra Anggita, seorang siswi teladan, jurnalis andalan maja...