"EHEM! COKELAT nih? Bagi, dong!"
Aku mendongak dan menemukan seraut wajah oriental Vina, sahabat baikku sejak SMP dan teman sekelasku juga di XI IPA 1.
"Daripada cuma lo pelototin kayak gitu, mendingan buat gue aja. Mubazir, Cit!" lanjut Vina yang sudah duduk di sebelahku.
Aku mencibir sambil mengibaskan sebatang Silver Queen pemberian Dhira itu di depan wajah Vina untuk pamer sebelum akhirnya memasukkannya ke bagian paling aman dalam tasku. Aku tahu Vina penggila cokelat.
"Kayaknya gue perlu kasih tahu Dhira kalau ngasih lo cokelat itu sia-sia. Malah buang-buang duit aja. Mending dana cokelatnya dialokasikan buat gue, gitu."
Aku meringis kecut. "Kok, lo tahu ini dari Dhira?"
Vina mengedikkan bahu. "Kalau bukan Dhira yang ngasih, nggak mungkin lo mau nerima."
Aku tertawa lebar. Benar juga. Satu-satunya orang di dunia ini yang tahu soal ngenesnya kisah cintaku hanyalah Vina. Dia tahu pasti bagaimana jatuh bangunnya aku naksir Dhira. Vina juga tahu kalau nasib dari cokelat pemberian Dhira ini—sama kayak cokelat-cokelat sebelumnya—hanya akan kuletakkan di dalam lemari es dengan catatan Jangan dimakan, dan kubiarkan membeku, sampai abangku nekat mencurinya dari sana.
"Tangan lo kenapa?" tanya Vina, menunjuk tanganku yang diperban.
"Kecelakaan," jawabku singkat.
Aku jadi ingat kejadian di laboratorium tadi. Setelah melepas jas labnya, Dhira buru-buru keluar. Kupikir, dia ada urusan penting lain, ternyata nggak sampai sepuluh menit, dia datang lagi membawa segepok perban yang baru dibelinya di koperasi siswa. Dengan muka datarnya, Dhira bertanya apakah aku bisa mengobati tanganku sendiri atau dia harus membantuku. Takut jantungku akan aritmia, kuputuskan untuk minta tolong Sisi saja.
"Gue tuh capek mikirin kalian," gerutu Vina sambil membuka majalah sekolah miliknya yang tadi kuletakkan di meja.
"Nggak ada yang nyuruh lo mikirin gue dan Dhira. Mendingan lo pikirin apa yang bisa lo lakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin besar."
"Serius gue, Cit!" sahut Vina. "Lo suka, kan, sama Dhira?"
"Itu nggak perlu dijawab."
Selalu. Sejak SMP, kalau Vina masih perlu diingatkan.
"Gue yakin Dhira juga suka sama lo."
"Gue juga kasih dia sinyal hijau yang luar biasa, by the way. Kalau dia memang suka sama gue, seharusnya kami udah jadian dari dulu."
"Nah, itu dia! Itu yang perlu kita cari tahu."
Aku menatap Vina dengan pandangan heran, lalu menghela napas panjang. "Lo aja deh sana, gue males."
Vina nggak menjawab. Sepertinya dia malah nggak mendengarkan kalimatku tadi. Dia sudah sibuk membaca sebuah puisi yang tercetak di halaman paling belakang majalah sekolah. Nggak lama kemudian, dia berdecak takjub.
"Yang nulis puisi ini siapa, sih, Cit?" tanyanya sambil menunjukkan puisi itu kepadaku.
Aku menggeleng cepat. "Nggak tahu."
"Bagus bangeeet! Gue rasa ini puisi bersambung."
Aku mengerutkan dahi. "Sekarang nggak cuma sinetron aja yang bersambung?"
Kuraih majalah sekolah itu dari tangan Vina. Puisi berjudul "Yang Terakhir Tentang Cuaca" itu nggak terlalu panjang. Kalimatnya juga nggak terlalu susah untuk dipahami. Sepertinya juga nggak peduli aturan sajak. Malah kalau menurutku, ini bukan puisi, tapi prosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Your Spell - TEASER ONLY
Teen FictionCERITA INI HANYA DIUNGGAH 7 BAB PERTAMA SEBAGAI TEASER "Lo pengen nggak Cit, kalau cowok yang lo taksir balas naksir sama lo? Gue punya sesuatu yang bisa membuat mimpi kita jadi kenyataan." Citra Anggita, seorang siswi teladan, jurnalis andalan maja...