7. Salah Sasaran

1.6K 200 3
                                    

Frissika (IA 3):
Ramuannya berhasil!!!!
Gue gak sabar ngasih ke nico!!!! Sukses dhiranya ya! Love you!!!!


AKU SENYUM-SENYUM kecil waktu baca chat dari Sisi di suatu pagi, di sela-sela ulangan Fisika. Aku bisa bayangin gimana bersinar-sinarnya wajah Sisi sekarang ini. Chat-nya aja sampai kebanyakan tanda seru gini. Pasti Sisi lagi melonjak-lonjak di lab. Duh, aku jadi nggak sabar nyusul ke sana.

Hampir seminggu kami berusaha. Berkutat sama takaran-takaran bahan dan angka-angka timbangan. Aku sebal banget, karena resep ini walau sudah kuno hingga kain tempat dia tertulis seperti gombal, rumitnya minta ampun!

Percobaan pertama kami gagal total. Ramuan itu malah berbau busuk kayak sayur basi. Alhasil kami harus mengulang dari awal. Percobaan kedua nggak berbau sayuran busuk, tapi warnanya jadi cokelat keruh kayak minuman boba yang kebanyakan es, padahal harusnya berwarna keperakan. Baru pada percobaan ketiga, nggak kelihatan ada tanda-tanda kegagalan fatal dan akhirnya berhasil.

Itu belum seberapa. Aku juga masih harus berkutat dengan rasa raguku. Apa tepat ngasih ramuan cinta ke orang yang kusuka supaya dia balas suka aku? Apa kata guru PKN soal ini? Apa kata Mamah Dedeh soal ini?

Namun, setelah kupikir-pikir, benar juga kata Sisi. Cinta itu memang perlu diperjuangkan, kan? Apa yang kami akan lakukan ini juga salah satu bentuk perjuangan cinta, kan? Kalau toh ramuan itu nggak ngefek, ya, nggak apa-apa. Kami bakal cari cara lain. Sesederhana itu. Lagian, aku sudah telanjur menaruh dua helai rambutku ke ramuan itu. Apa salahnya sekalian kuberikan kepada Dhira, agar bisa dilihat juga apakah ramuan itu bereaksi atau nggak.

Benar kata Sisi, kami bukan penjahat kriminal. Kami cuma dua orang pelajar SMA yang jatuh cinta, tetapi terlalu takut buat menyatakannya secara langsung.

Mendadak barisan rumus fisika yang sedang kutulis di lembar jawab ulangan bermutasi jadi nama Dhira. Dhira Dhira Dhira, mulai dari nama sampai akhir jawaban.

Kurasa, hari ini adalah hari yang luar biasa indah.

***

Setelah bersusah payah merampok kartu lab yang sekaligus berfungsi sebagai kunci milik Asty, akhirnya aku bisa masuk ke laboratorium dan menjumpai rahasia besarku yang tersimpan di kolong rak tua.

Cairan dalam gelas kimia itu berwarna putih keperakan, persis seperti ketentuan yang tertera di resep. Di sekitar dindingnya terbentuk gelembung-gelembung gas. Aromanya legit, membuat perasaanku tiba-tiba saja jadi berbunga-bunga. Melihat ramuan ini aku jadi pengin minum Sprite.

Semua keberhasilan eksperimen ini membuatku luar biasa senang karena dua hal. Pertama, ini berarti skill analisis dalam penelitianku makin matang. Kedua, aku selangkah lebih dekat dengan Dhira.

Semuanya terasa sempurna siang ini, sebelum akhirnya aku sadar ada sesuatu yang salah dengan dua gelas kimia berisi rahasiaku dan Sisi itu. Sangat-sangat salah.

Gelas kimia yang terletak di sebelah kanan kotak kuno, yang tadinya setinggi sepuluh sentimeter, kini tinggal sembilan koma sekian sentimeter. Seketika perasaan khawatir mulai merayapi hatiku. Ramuanku berkurang sebelum aku mengambilnya, dan itu cuma berarti satu hal: ada yang mengambilnya sebelum aku!

Napasku terasa aneh ketika sadar gelas kimia yang terletak di kiri kotak masih utuh. Tepat sepuluh sentimeter. Gelas kimia yang sedang kita bicarakan ini adalah milik Sisi. Padahal aturannya jelas. Target akan jatuh cinta kepada pemberi ramuan cinta.

Ya, Tuhan! Kok, bisa kemarin aku nggak berpikir buat memberi nama di tabung-tabung ini? Kok, bisa aku lupa kalau ingatan manusia itu cetek banget, secetek selokan depan sekolah?

Dadaku terasa sesak. Apa jantungku juga berhenti memompa darah? Sontak percakapan imajiner terjadi dalam kepalaku.

Tuhan?

Ya?

Apa yang sedang terjadi?

Seperti yang kau lihat, Manusia.

Kau sedang bercanda, kan, Tuhan?

Tuhan tidak pernah bercanda.

***

Wajahku pias. Jantungku yang tadi serasa berhenti sekarang malah berdetak lebih kencang daripada semestinya.

Bagai kesetanan, aku berlari keluar dari lab, menuruni tangga, dan menyusuri koridor yang rasanya hari ini bertambah panjang, menuju kelas Sisi yang terletak paling ujung. Beruntung, orang yang kucari memang ada di sana. Sedang duduk bersama gerombolan cewek-cewek kelas itu yang terkenal doyan bergosip.

"Sisi!" teriakku terengah-engah. Tanpa berpikir lama, aku menyeret Sisi keluar dari lingkaran gosip yang sedang seru ngobrolin kasus artis Korea dan membawanya keluar kelas.

"Apaan, sih? Lo kenapa keluyuran pakai jas lab gitu?" protes Sisi. Barulah aku sadar kalau aku masih memakai jas lab yang panjangnya mencapai lututku. Mungkin tadi aku juga lupa mengunci pintu. Mungkin juga aku lupa mengembalikan ramuan itu ke tempatnya. Ah, sudahlah. Itu penting, tapi masalah ini jauuuh lebih penting.

"Lo udah kasih ramuannya ke Nicolas?" tanyaku dengan suara tertahan.

Dengar kata ramuan, wajah Sisi langsung cerah. "Udah. Ya ampuuun! Gue nggak nyangka, ya, kalau kita berhasil! Kebayang nggak sih lo, bentar lagi Nico bakal—"

"Lo salah ambil, Si!"

"... suka sama ... apa?" Mata Sisi melebar. "APA?" Kecerahan di wajahnya mendadak lenyap. "Lo bilang apa?" Kini ekspresi ketakutan tercetak jelas di wajahnya.

Aku menghela napas. "Punya lo, yang kiri. Punya gue, yang kanan. Yang lo ambil, yang kanan."

Sekarang Sisi benar-benar terbelalak. Mulutnya terbuka lebar.

"Lo yakin?" desaknya.

Aku mengangguk pasrah.

"Astaga ...." Sisi meremas rambutnya sendiri dengan frustrasi. Kemudian dia mencengkeram lenganku. "Itu artinya ... Nico bakal jatuh cinta sama lo?" tanyanya ketakutan.

Aku menjawab dengan tatapan ngeri.

"Ya Tuhaaan! Gue nggak rela kalau sampai Nico jatuh cintanya ke elo! Nggak relaaa!"

Dia pikir aku rela? Dia pikir aku senang? Targetku, kan, Dhira! Aku nggak punya urusan sama Nico. Justru akan menjadi masalah besar kalau ramuan cintaku buat Dhira jadi nyasar ke Nico! 

Dengan putus asa, aku mencopot jas lab yang masih kupakai. "Berdoa aja lo, semoga eksperimen kita gagal," kataku.

Tepat saat itu, Nicolas muncul dari ujung koridor yang berlawanan. Di tangannya ada bola. Seragamnya penuh bercak-bercak tanah. Aku dan Sisi, seperti sepakat, menahan napas panjang, menunggu kejadian hebat yang mungkin bakal terjadi. Apa dia bakal segera menghampiriku, dan berlutut di hadapanku sambil membawa bunga? Atau dia akan berteriak mengundang semua orang dan nyatain cinta di hadapan semua orang tadi? Apa dia akan menari dan menyanyi dengan lebay seperti di film-film Bollywood? Atau dia akan mendatangiku dengan gaya gangster dan memaksaku menerima cintanya jika aku masih ingin hidup sampai besok pagi?

Demi apa pun, hal-hal buruk mulai berkelebatan nggak terkendali di pikiranku. Bulu kudukku mendadak meremang. Nico semakin dekat dan hatiku semakin berdebar-debar nggak karuan. Sementara mulutku sudah gatal pengin menyanyikan seribu makian. Kalau bisa, pengin rasanya tanah di bawahku terbelah sehingga aku bisa ngumpet di sana sampai waktu yang nggak ditentukan.

Nico masih berjalan dengan tenang, menatap ke arahku sekilas—atau kupikir begitu!—lalu menghilang masuk ke kelas. Aku dan Sisi berpandangan. Lalu, lagi-lagi seperti sepakat, kami mengelus dada, lega.

"Nggak ada efeknya, Si!" kataku heboh, nyaris berteriak.

"Belum," jawab Sisi. "Peraturannya, ramuan itu menimbulkan efek berbeda-beda pada setiap orang, tergantung sama karakter orang itu. Walau Nico minum ramuan itu, belum tentu juga dia bakal langsung ngejar-ngejar lo kayak di drakor gitu. Bisa jadi dia cuma mendam perasaannya ke elo."

Kelegaan yang baru saja aku rasakan langsung memudar seiring dengan peringatan Sisi.

Sudah diputuskan. Hari ini kunobatkan sebagai hari kekacauan internasional.

***

Under Your Spell - TEASER ONLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang