2

337 28 0
                                    

"Kenapa malah ke sini?" Suara bariton milik Haruto lah yang pertama kali mencairkan suasana di antara mereka.

Sekarang mereka tengah berada di tenda kecil, yang di dalamnya hanya tertata dua meja persegi empat dengan 8 bangku. Tak jauh dari tempat duduk tersebut, terdapat juga gerobak yang didominasi warna hijau dan kuning, dengan bagian kaca depannya tertempel tulisan dari stiker bertuliskan 'Nasi Goreng 88'.

Hanni yang membawa mereka ke sini. Bukan hanya untuk jauh dari jangkauan pendengaran orang tua mereka, namun, gadis itu juga lapar. Mengingat sekarang sudah lewat jam makan malamnya. Jam makan malam gadis itu terlewatkan untuk membicarakan hal yang sia-sia menurutnya.

"Ya, makan, lah? Emangnya mau apa lagi? Kamu mau sirkus lompat di atas api yang nyala dari kompor itu?" Bibir gadis itu mencuat, menggerutu sebal sambil dagunya bergerak mengarah pada kompor gas yang apinya mengobar besar. Oh, jangan lupa delikan mata sebal menatap sang pemuda tampan di sampingnya.

Haruto tidak tersinggung mendengar perkataan tersebut, pemuda itu malah menyemburkan tawanya yang makin ditatap tajam oleh si gadis kecil. "Oke, oke. Duduk aja, saya yang pesan. Kamu mau apa?" Haruto mengangguk mengalah untuk tidak menanggapi ucapan Hanni sebelumnya, mereka bisa berdebat panjang nantinya.

Setelah mendengar ucapan sekaligus pertanyaan Haruto, Hanni tidak lagi mengerutkan dahi dan menatap pemuda itu dengan sebal, netranya kembali cerah. "Mau nasi goreng sosis! Minta tolong abangnya buat ngurangin nasi, tambahin sosisnya yang banyak, ya." Haruto mengangguk paham.

"Nasi gorengnya pedas gak?" Pertanyaan Haruto kali ini sukses membuat kedua alis gadis kecil itu kembali mengkerut, namun, bukan tatapan tajam yang ia berikan untuk menatap Haruto, melainkam tatapan bingung.

"Gak tau? Aku bahkan belum coba?" Jawabnya ragu.

Awalnya Haruto bingung mendengar jawaban gadis itu, namun akhirnya pemuda itu menghela napasnya pelan. Gadis ini tidak mengerti maksudnya.

"Begini, saya tanya, nasi gorengnya mau saya pesenin tingkat kepedasannya gimana? Pedas banget, kah? Atau sedang, atau malah gak pedas sama sekali?" Pemuda bertubuh tinggi tegap, rambut yang mulai panjang dengan menata rambut depannya ia tata ke belakang membuat kesan rapi dan semakin menampilkan wajah tampan itu menjelaskan dengan sabar. Sontak membuat mulut Hanni berbentuk 'O' tanda ia mulai paham.

Hanni jadi malu sendiri...

"Kamu yang gak jelas nanyanya!" Salah lagi.

"Aku mau sedang aja pedasnya." Imbuhnya. Kali ini Haruto benar-benar mengangguk paham, lalu melangkah menuju gerobak untuk memesankan pesenan mereka berdua. Sedangkan Hanni, gadis itu melangkah menuju tempat duduk.









.
.
.









Keduanya tengah duduk berhadapan dengan meja menjadi penghalang mereka. Kedua kaki Hanni tidak mau diam sedari tadi, bergerak-gerak tidak nyaman tanda ia canggung.

Gadis itu bahkan lupa akan niat awalnya mengajak pemuda yang baru saja dijodohkan oleh orang tua mereka.

"Ru..." panggilan lirih dari Hanni membuat Haruto menaruh atensinya penuh pada gadis di hadapannya. Tangannya tak lagi sibuk bergerak ke sana ke mari di atas layar gawainya. Kedua alisnya terangkat, menunggu kelanjutan dari sang gadis.

"Itu—"

"Permisi, Mas, Mba, ini nasi gorengnya." Sebuah suara menginterupsi, disusul dengan uluran kedua tangan sang penjual nasi goreng untuk menaruh dua piring nasi goreng di masing-masing hadapan sepasang anak manusia ini.

"Ah, iya, nasi gorengnya datang." Hanni jadi menelan kembali kata-kata yang baru saja ingin ia katakan. Gadis itu malah mengulang perkataan sang penjual nasi goreng. Mengucapkan kata terima kasih setelah dua piring itu benar-benar berada di hadapannya.

Pun Haruto, fokusnya langsung turun pada nasi goreng, tak lagi menunggu perkataan Hanni sebelumnya. Pemuda itu juga lapar.

Mereka kembali direngkuh dengan keheningan, hanya ada suara sendok piring beradu dan suara renyahnya kerupuk yang baru saja digigit.

Haruto sedikit melirik pada objek di depannya; Hanni yang tengah lahap memasukkan satu sendok penuh nasi goreng miliknya sendiri. Membuat pemuda itu jadi tersenyum tipis.

Gadis itu peka merasa sedang diawasi dengan pemuda di depannya, pun ikut melirik. Manik mereka beradu, Hanni sontak mengangkat sebelah alis.

Haruto tak menjawab apa-apa, tangan panjangnya terulur untuk menarik satu lembar tisu. Hanni pun buru-buru ikut mengambil satu lembar tisu. "Aku tau maksud kamu. Ini kehidupan asli, bukan siaran drama atau cerita romantis di buku novel. Aku bisa ngelap sendiri." Perkataan ketus Hanni membuat Haruto menatap Hanni sepenuhnya, kedua alis tegasnya terangkat.

"Gimana maksudnya?" Pemuda itu benar-benar tidak mengerti maksudnya barusan? Hanni mendengus sebal.

"Kamu tadi ngelirik aku, dan aku tau itu! Habis kamu ngelirik aku, kamu langsung ngambil tisu. Kamu niat mau ngusap ujung bibir aku, kan?" Hanni menjelaskan kesimpulannya sendiri dengan bersungut-sungut, membuat Haruto menyemburkan tawanya. Kali ini lebih keras.

Satu telapak tangan besarnya mengusap perut yang keram, sebab terlalu lama terbahak.

Haruto mencondongkan wajahnya, sedikit mengikis jarak antar wajahnya dan si gadis. Hanni reflek memundurkan kepala, berusaha menutupi keterkejutannya dengan menggunakan tatapan sengit. "Saya ngambil tisu bukan buat bantu kamu ngusap bekas makanan kayak yang ada di drama romantis ataupun novel yang pernah kamu baca. Tisu ini buat ngeberesin bekas sisa nasi goreng saya di meja." Haruto masih mempertahankan posisinya, tangan besar itu bergerak menggeser piringnya lalu menegakkan kembali tubuhnya— bersidekap dada.

Hanni melirik ke arah meja– lebih tepatnya ke arah beberapa butir nasi yang berceceran di sana. Ternyata benar, Haruto mengambil tisu untuk membersihkan bekas makannya, bukan untuk mengelap sudut bibir, menghapus bekas makan yang mungkin sedikit berantakan seperti di adegan romantis yang sering Hanni baca di novel atau tonton di serial drama di TV bersama sang Bunda.

Bilahnya menipis kala melirik nasi yang memang berantakan di sana. Dua kali Hanni mempermalukan dirinya di hadapan pemuda ini.

Hanni meringis malu, wajahnya panas perlahan diserang sang merah. Ia memalingkan pandangan sambil meneguk segelas air teh hangat dengan cepat.

Haruto melihat semuanya, di mana wajah manis si gadis perlahan memerah malu. Haruto yakin itu karena ulahnya barusan. Pemuda itu menyunggingkan senyumannya, ikut meneguk air teh hangat dari gelasnya dengan pelan– mata tajam itu tak melepaskan pandangannya pada presensi di hadapannya yang begitu lucu dan manis menurutnya.

[Haruto x Hanni] Status: On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang