12

166 11 0
                                    

Sudah 10 menit lamanya keheningan merengkuh mereka. Suara dedaunan bergesekan satu sama lain disebabkan semilir angin, ditambah suara renyahnya makanan kering yang baru saja digigit oleh sang pemiliknya menjadi penambah suasana di antara mereka.

Mereka tak berniat mengeluarkan suara. Masih ingin tenggelam lebih dalam pada dunianya masing-masing. Hanni dengan sang kucing dewasa di hadapannya, dan Haruto dengan dirinya sendiri di dalam dunianya bersama sang gadis.

Namun nyatanya, si pemilik marga Watanabe itu tidak tahan dengan situasi ini lebih lama. Ia merasa sedikit kesal karena eksistensinya benar-benar dianggap lenyap, atensi si gadis sepenuhnya disita oleh hewan berbulu yang tengah menyantap lahap makanannya. "Kamu gak mau makan juga? Saya beli beberapa snack buat kamu." Strategi si Aries untuk merebut kembali atensi si manis berhasil. Sebab, gadisnya langsung mengalihkan pandang dari objek di depannya jadi pada Haruto.

Garis senyum samar terlukis pada wajah rupawannya, merayakan kemenangan hatinya bersorak sorai telah berhasil mengalahkan si kucing dewasa itu.

Kedua netra bulat Hanni mengerjap dua kali, penasaran dengan apa yang Haruto miliki. Jujur saja, dirinya juga lapar setelah sekian lama mengamati hewan berkaki empat itu menyantap makanannya. Namun, dirinya kepalang dilahap gengsi.

Astaga, Haruto jadi kelimpungan sendiri jika ditatap begini. Sungguh, pemandangan di hadapannya kala ini sangat manis dan menggemaskan. Tapi tak mungkin jika pemuda itu langsung menerjang menghujami wajah manis gadisnya dengan sejuta kecupan, bisa-bisa dirinya yang akan dihujami ribuan pukulan maut dari tangan kecil si manis.

Yah, Watanabe Haruto adalah Watanabe Haruto— seorang laki-laki yang sangat pintar menyembunyikan ekspresi dan segala emosinya. Ia tidak akan meperlihatkan salah tingkahnya di depan orang lain, walaupun rasanya ingin sekali meledak-ledak memperlihatkan emosinya kini di depan sang gadis.

"Kamu mau makan yang manis atau yang gurih dulu?" Tangan Haruto mulai sibuk menggeledah isi dari plastik berwarna putih susu yang ada di pangkuannya sejak tadi.

Sang gadis berdeham panjang dengan satu sudut bibirnya tertarik keatas— membuat pipi gembulnya semakin tertarik keatas. Dirinya tampak menimang-nimang apa yang harus ia makan lebih dulu? Sekarang dirinya ingin memakan kedua rasa cemilan itu secara bersamaan karena saking bingungnya memilih.

"Makan yang gurih dulu, ya? Sini tanganmu, dibersihin dulu." Haruto telah menemukan apa yang ia cari sejak tadi; tisu basah. Yang diberi perintah mematuhi, mengulurkan kedua tangannya ke hadapan sang pemuda. Dengan cekatan dan telaten Haruto membersihkan permukaan telapak tangan Hanni.

Dirasanya sudah bersih, Haruto segera memberikan sebungkus keripik kentang dengan rasa rumput laut yang telah dibuka pada gadisnya. "Kalau mau makan yang lain bilang saya, ya." Telapak tangan besarnya ia bawa untuk membelai surai halus si manis sebelum akhirnya menarik kembali tangannya.


Hanni mulai menikmati cemilannya dengan tenang— menikmati semilir angin malam yang dirasa semakin menusuk ke dalam tulang, pencahayaan remang-remang terpancar dari masing-masing lampu pinggir jalan membuat gadis itu bisa melihat pantulan bulan sabit di atas permukaan air danau yang tenang. Sungguh cantik.

Keputusannya sangat tepat untuk mengajak Haruto mampir ke sini.

Entah siang atau malam, tak ada bedanya— sebab, danau ini selalu bisa menjadi tempat ternyaman untuk sekadar mencari angin atau tempat istirahat melepaskan penat dari dunia yang penuh realita pahit.





"Kamu sering ngelakuin ini, ya?"

Seakan langsung terkoneksi dengan pertanyaan Haruto barusan, Hanni langsung mengangguk ribut dengan mulut penuh keripik kentang di dalamnya. Seakan siap menumpahkan segala celotehannya pada Haruto sekarang juga.

Si pemuda tinggi bak tongkat pramuka itu tak tahan untuk tidak menyemburkan tawanya. Gadisnya memang tak pernah gagal membuat si Aries tertawa. Sangat menggemaskan. "Pelan-pelan aja jawabnya, nanti kamu tersedak." Ibu jarinya ia arahkan pada sudut bibir si manis untuk membersihkan bekas bumbu keripik di sana.

Si manis yang diperlakukan demikian hanya diam, berusaha abai dengan perlakuan apa yang ia terima saat ini— sembari berusaha mengontrol kembali detak jantung normalnya.

"Iya! Aku sering banget ngelakuin ini. Street feeding. Dari kelas 9 SMP." Hanni sangat antusias membahas hal ini rupanya. Tentu si April dengan senang hati akan mendengarkan apa saja yang akan diceritakan si manis saat ini.

Hanni memasukkan satu keripik kentang berukuran kecil ke dalam mulutnya sebelum ia melanjutkan perkataannya, "kalau kamu tanya, kenapa gak melihara satu atau beberapa di rumah, daripada harus repot-repot begini. Jawabannya, Bunda gak ngasih izin." Seakan ditarik kembali ke kisah lama, di mana dirinya yang sedang memohon agar dirinya diberi izin untuk mengadopsi satu anak kucing yang terlantar di pinggir jalan namun langsung ditolak mentah-mentah oleh sang Bunda, membuat perasaan jengkel bercampur sedih kembali dirasa. Mulutnya tak lagi bergerak untuk mengunyah, bibir itu mengerucut beberapa centi. Sungguh kesal jika kembali mengingat hal itu.

Apa coba alasan Bunda menolak memelihara hewan selucu ini di rumah? Pasti akan sangat menggemaskan, kan, jika anak kucing itu nantinya bermanja pada dirinya? Bermain bersama, menghibur di kala Hanni merasa kesepian. Si Libra sangat amat tak habis pikir dengan Bundanya.

Haruto masih menjadi telinga yang baik untuk gadisnya, tak berniat untuk mecela atau membalas satu kata pun.

"Pertama kali aku street feeding di sini!" Si manis terus lah mengoceh dengan pandangan lurus ke depan. Menurutnya, menghindari tatapan Haruto akan membuatnya lebih nyaman untuk saat ini.

"Awalnya aku ngelakuin ini sendirian, aku lupa awalnya gimana, tapi dulu Asahi jadi selalu nemenin aku. Dia sendiri yang mau dan dia juga suka kucing!" Melihat kilat bahagia terpancar di wajah sang gadis selama ia bercerita membuat senyuman Haruto merekah begitu saja.

Entah bagaimana cara memberitahunya, Haruto rasa, sekarang kebahagiaan Hanni adalah alasan Haruto bahagia juga.

Namun, ada hal yang mengganjal dari perkataan Hanni barusan. Haruto sendiri pun tidak mengerti.

Apa yang membuat hati kecil Haruto merasakan hal yang tidak enak dan kesal seperti ini? Apa karena ia ikut merasakan apa yang Hanni rasakan saat dirinya ditolak memelihara hewan peliharaan oleh sang Bunda?

Bukan. Haruto yakin bukanlah soal itu. Tapi apa yang membuatnya sangat gelisah dan kesal seperti ini?














Asahi?

Lelaki berkacamata si pemilik lesung pipi manis yang sore tadi dilihatnya duduk di seberang sang gadis.

Apakah karena pemuda itu? Haruto pun tak yakin. Namun, saat baru pertama kali melihat pemuda tampan itu, Haruto benar-benar merasakan gemuruh yang aneh. Kesal tanpa alasan yang jelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Haruto x Hanni] Status: On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang