3

256 24 0
                                    

Keduanya berjalan di jalan komplek yang lenggang setelah kegiatan makan dan bayar terlaksana. Hanni berjalan lunglai bersama ribuan pikirannya, Haruto berjalan santai sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana bahan yang ia kenakan sekarang.

Sesekali iris mata tajamnya melirik pada Hanni yang sedang memajukan bibir tebalnya beberapa centi. Seperti anak bebek, jika Haruto memperhatikan lebih lagi. Dan itu membuatnya terkekeh secara tak sadar.

Suara kekehan Haruto barusan berhasil mencuri atensi Hanni. Gadis itu mendelik menatap Haruto. "Kamu tuh nyebelin banget, ya?" Kedua langkah mereka terhenti- Hanni lah yang memulai memberhentikan langkahnya sembari menodong pertanyaan.

Pun Haruto membalikkan badannya untuk menatap Hanni seutuhnya dengan kedua tangan yang masih tersembunyi di dalam saku. "Tergantung penilaian orang, sih? Saya gak bisa nilai diri saya sendiri." Pemuda aries itu mengangkat kedua bahunya acuh, membuat Hanni semakin geram.

Dengan gerakan tergesa, gadis kecil itu menarik kasar pergelangan tangan Haruto- ia menariknya sampai sebuah bangunan panggung kayu dengan beralaskan tikar di dalamnya; pos ronda.

Hanni melepaskan genggaman pada pergelangan pemuda itu setelah ia mendaratkan bokongnya sendiri pada alas kayu yang berlapis tikar- disusul dengan Haruto. Sang pemuda ikut duduk tenang di samping sang gadis.

"Kamu kenapa bisa diem aja sih sewaktu orang tua kita ngebahas perjodohan konyol?" Akhirnya. Akhirnya Hanni bisa mengutarakan perasaannya sejak sejam yang lalu ia pendam.

Kesal, terkejut, bingung menjadi satu. Dengan rasa bingung yang menjadi dominasinya.

Haruto menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya. Melirik gadisnya lewat ekor mata sebelum akhirnya menghembuskan napas pelan.

Memang, bagi sebagian perjodohan akan dianggap konyol, dan bagi sebagian perjodohan akan dianggap anugerah yang diberikan Tuhan untuk mereka yang menerima perjodohan itu dengan lapang dada.

Rupanya, ada perbedaan hal tersebut di keduanya sekarang. Yang satunya menerima dengan senang hati tanpa protes apapun, dan yang satunya menganggap semuanya ini konyol.

Haruto jadi tidak tau, akan kah perjodohan ini berjalan lancar sampai seterusnya atau tidak? Ia jadi berdoa dalam diam, agar perjodohannya akan terus berjalan lancar sampai ia benar-benar membangun keluarga baru dengan gadis yang berada di sampingnya. Haruto benar-benar berharap seperti itu.

"Kamu berharap saya gimana memangnya?" Bukannya menjawab, Haruto malah berbalik tanya pada sang gadis– jadi membuat gadisnya mendengus kesal, kedua kakinya yang sedikit menggantung ia paksakan untuk dihentak-hentakkan ke tanah.

"Kamu serius sama perjodohan ini? Kamu mau dijodohin sama aku?" Hanni semakin meninggikan suaranya.

Haruto mengubah posisi duduknya– punggung lebar dan tegapnya ia sandarkan pada dinding kayu, kaki kirinya ia bawa untuk dilipat di atas papan kayu beralas tikar, dan kedua tangannya ia lipat di depan dadanya, manik tajamnya menatap lurus pada Hanni yang kakinya masih terus mencoba menapak pada tanah.

"Kenapa enggak?" Keheningan beberapa detik diisi dengan suara bariton Haruto untuk menjawab pertanyaan barusan dengan santai.

Hanni melengos mendengar jawaban yang Haruto ucapkan.

Rasanya ia akan benar-benar menangis keras di hadapan pemuda menyebalkan ini sekarang. Hanni meremat kedua tangannya— ibu jadinya ia bawa untuk menekan-nekan pelan telapak tangannya sendiri.

Ia kesal. Kesal sehingga tidak bisa membalas satu kata pun untuk si pemuda bermarga Watanabe di sampingnya. Kepalanya semakin tertunduk, seperti beban pikirannya yang terus mendorong kepalanya untuk tertunduk dalam.

Haruto menggigit pipi dalamnya sekilas sebelum ia mengubah duduknya seperti sediakala— menghadap depan seperti sang gadis. Bahu yang tadi tegap kini merosot lesu berbarengan dengan helaan napas panjang. Kedua tangannya meremat pelan ujung dari bangunan panggung tersebut.

"Kamu tau, pernikahan itu bukan hal yang bisa dipermainkan. Kita harus terikat satu sama lain sampai nanti. Mungkin sampai maut memisahkan? Saya terima semuanya dengan lapang dada karena saya anggap ini semua garis hidup saya yang memang udah ditentuin sama Tuhan." Jelas Haruto dengan suara berat dengan nada yang lebih serius. Iris tajamnya menatap lurus ke depan seakan dirinya bisa menerawang jauh kisah hidupnya di masa depan nanti.

"Dan lagi, saya bukan tipe anak yang suka membangkang. Kalau menurut orang tua saya menjodohkan saya dengan kamu itu keputusan dan pilihan yang baik, saya juga yakin, itu pasti baik buat saya. Dan mungkin buat kita nantinya." Imbuhnya.

Gadis berponi rata semakin dibuat bungkam oleh perkataan Haruto barusan. Hatinya sedikit menghangat mendengar penuturan demi penuturan Haruto yang terkesan santai namun bagi Hanni yang gengsinya selangit itu masih dianggap menyebalkan. Menyebalkan karena dirinya tidak bisa lagi menyahut.

Ia tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, tenaganya habis untuk dipaksa berpikir keras selama beberapa jam belakangan.

"Nanti kita omongin lagi sama kedua orang tua kita. Yuk, sekarang pulang, orang tua kamu pasti nyariin. Udah mulai larut juga, saya gak enak sama orang tua kamu dan kamu, pasti kalian butuh istirahat." Haruto bangkit terlebih dahulu, melangkahkan kakinya dengan santai meninggalkan Hanni yang masih setia menunduk. Namun, pergerakan Haruto membuat Hanni cepat-cepat mengangkat kepalanya, lalu melompat turun dari pos ronda yang mereka tempati tadi.

Kaki pendeknya terus ia bawa melangkah cepat guna menyusul Haruto yang memang jaraknya sudah sedikit jauh darinya. Jangan lupakan bilah bibir si gadis yang terus aktif mengucapkan sumpah serapah untuk si pemuda tiang yang tega meninggalkan dirinya.

Sang pemuda hanya bisa terkekeh kala mendengar gerutuan tidak jelas dari gadis yang berada di belakangnya tanpa ada niat untuk memberhentikan langkah atau sekedar melambatkan langkahnya.

[Haruto x Hanni] Status: On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang