4. Its You

0 0 0
                                    

Luka Aneska telah di obati dan di balut perban. Untung nyawanya bisa di selamatlan. Kini ia duduk sendirian di ruang rawat. Tatapan matanya kosong. Buliran bening berjatuhan di pipinya.

Raiden masuk, karna dari tadi ia mengetuk pintu tapi tidak ada yang nyaut. Wajahnya penuh lebam. Tangannya menjinjing kresek putih. "Nes--"

"Jangan mendekat. Diem disitu." Aneska tidak melihatnya sama sekali. Wajahnya berpaling. Sorot matanya juga tidak melirik. "Ngapain lo ke sini?"

"Mau jengguk calon istrilah. Ngapain lagi." Raiden mengulurkan buah tangan. "Nih buat lo. Gue beliin obat, vitamin, cemilan sama baju ganti. Biar bisa nemenin lo gabut."

"Gue gamau sama lo. Tolong lepasin gue." Suara Aneska mulai serak. Bibirnya mengerucut. Mata memanas. Menelan ludah susah payah. "Gue mohon." Kini menangisi nasibnya. "Gue udah ga punya tenaga buat jelasin lagi." Tubuhnya merosot. "Tolong jelasin sama merek.. Gue bisa gak di anggep anak lagi sama orang tua gue ntar."

"Oke iya." Raiden menatapnya sedih. "Kenapa sih lo gamau sama gue?" Padahal jika Aneska bersedia pacaran dengannya. Ia tak perlu memaksakan kehendak seperti ini.

"Simple. Gue ga pernah tertarik sama lo. Aoalagi suka sama lo. Gue ga cinta sama lo. Gue ga suka cara lo...."

"Cinta bisa datang karna terbiasa. Emang siapa cowo yang lo cinta?" Raiden tersenyum tipis. "Bilang sama gue. Biar gue suruh dia lenyal dari hati lo."

Aneska terkekeh. Ia beralih memandang Raiden. "Dia? Dia sosok yang belim pernah gue temuin di dunia nyata. Kita cuman sebatas virtual."

"Hahaha anjir cinta sama orang virtual. Nanti yang nanya pacarnya mana?" Raiden mengejek. "Di HP. Anjir kocak."

"Diem lo!" Aneska melempar bantal ke muka Raiden. "Lo sama dia itu beda jauh."

"Gini...." Raiden melempar kembali bantal itu. "Nikah sama gue." Ia berusaha meyakinkan. "Aku bakalan biayain semua kebutuhan keluarga kamu  Termasuk sekolah ade kamu sampe selesai. Kamu ga perlu bayar pake uang. Tapi bayarnya dengan cara menua sama aku. Gimana?"

Aneska tertawa. "Hhh gue lebih baik hidup miskin tapi halal. Bahagia sama kesederhanaan itu. Dari pada hidup bergelimang harta sama lo tapi sengsara ga pernah bahagia."

"Emang ini ga halal?"

Dengan yakin Aneska mengangguk. "Iu bukan hasil dari keringet lo. Itu dari lidah lo."

"Tapi kita udah mau nikah besok. Semuanya udah gue atur."

Aneska membulatkan mata. "Gue tetep gamau. Mana bisa secepat ini. Semua butuh proses."

"Dengan uang bisa kok, semuanya beres. Tinggal nunggu." Raiden menatapnya intens. ""Uang emang bukan segalanya. Tapi semua butuh uang."

"Gue tetep gamau. Ga sudi nerima lo. Lo ga akan pernah gue anggep." Tangis Aneska kembali pecah. "Tong bersihin nama baik gue."

"Oke silahkan. Gapapa ya maaf aku maksa." Suara Raiden memelan. "Iya bakal gue bersihin. Tapi nanti setelah lo resmi jadi istri gue!" Suaranga kian meninggi.

Tubuh Aneska semakin lemas. Ingin mati. "Gue harus g-gimana lagi biar lo turutin aoa yang gue mau. Gue gamau sama lo."

Raiden perlahan melangkah mendekat. Menaruh kresek itu di atas meja. Dan menatap wajah Aneska. "Cukup lo serumah sama gue."

Sakit. "Kenapa lo mau nikah sama gue di umur semuda ini? Bahkan jauh dari kata matang."

"Tapi lo udah mens kan?" Raiden duduk, menumpukan kaki, melioat tangan, bersandar dan menatapnya tajam. "Itu tandanya lo udah bisa di buahi."

Twice LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang