Aku masih tertegun. Menatap kebun apel yang buahnya hijau dan terlihat berkilau hampir keputihan. Di sana aku berdiri membatu. Menikmati pemandangan kebun apel yang memikat mataku dari sebuah jembatan kayu yang pinggirnya terdapat pegangan melengkung terbuat dari kayu juga. Takjub. Hanya itu yang aku rasakan. Entah kenapa kebun apel itu terlihat begitu memesona. Ingin rasanya memetik satu buah apel, lalu menggigitnya untuk menghilangkan dahaga yang melilit tenggorokanku. Tapi, entah kenapa, kakiku tak beranjak sedikitpun. Hingga akhirnya sayup kudengar suara Ayah memanggil-manggil Ibu untuk melihat keadaanku.
Aku menoleh, menyapu sekitar dengan tatapanku. Namun bukan Ayah dan Ibu yang kutemukan. Seorang anak lelaki berdiri tidak jauh dari tempatku. Menatapku dengan senyum yang mengembang. Di sudut kedua bibirnya ada lekukan berukuran sedang menambah manis saja senyumannya itu. Di tengah keraguanku untuk mendekatinya, tanpa kusadari dia sudah berada di dekatku. Menggenggam pergelangan tanganku. Menariknya. Dan tubuhku pun hanya bisa mengikuti. Berlari ke tengah kebun apel yang pohonnya berjejer rapi. Kami terus berlari. Menerobos ranting-ranting dan beberapa sarang laba-laba yang melintang menghalangi. Sedang asyik berlarian, mendadak tubuhku berguncang hebat, lalu tumbang ke tanah. Gelap. Sepi. Hingga beberapa saat. Kurasakan seseorang menepuk pipiku perlahan. Mengelus pucuk kepalaku. Perlahan kubuka mataku. Ada Ayah dan Ibu dengan raut wajah cemas, memanggil-manggil namaku.
Dengan tubuh linglung dipenuhi peluh, kucoba mengumpulkan kesadaran. Mencoba duduk dengan napas tersengal. Ayah meraih tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. Dekapan hangat inilah yang selalu menenangkan. Menghapus setiap ketakutan dari mimpi yang telah mengikuti sejak tiga tahun lalu.
Saat itu usiaku sepuluh tahun. Duduk di bangku sekolah dasar. Tepatnya kelas empat. Naik kelas lima. Saat liburan sekolah, Ayah dan Ibu mengajakku dan Kak Teduh tamasya ke sebuah kebun apel. Setelah berkendara kurang lebih satu jam setengah dari rumah. Kami tiba di sebuah tempat yang asri. Hawanya dingin. Pepohonan berjejer rapi menyambut pengunjung yang datang. Pepohonan itu mengarahkan pengunjung pada gerbang besar yang di atasnya terdapat besi melengkung dengan tulisan "Selamat datang di wisata pohon apel." Entah kenapa hari itu tidak terlalu ramai pengunjung. Padahal musim liburan akhir tahun. Tapi bagi kami, itu suatu keberuntungan. Karena tidak perlu berdesakan saat antre tiket masuk. Dan saat di dalam nanti tidak perlu berdesakan dengan pengunjung lainnya. Setidaknya itu yang aku dengar dari percakapan Ibu dan Ayah.
Sebenarnya, aku tidak begitu memperhatikan hal lain. Mataku hanya terpaku pada deretan pohon apel dengan buah yang terlihat memenuhi tiap rantingnya. Karena terlalu fokus, kakiku sampai tersandung kerikil kecil yang usil. Aku mengaduh. Membuat ibu dengan sigap meraih tubuhku."Perhatikan langkahmu, Mei!"
Aku hanya menanggapi ucapan Ibu dengan anggukan. Lalu kembali terpaku pada pohon apel. Setelah beberapa saat berjalan, Ibu menyuruh kami untuk mulai memetik apel.
"Ingat! Pilih yang agak besar dan sudah siap makan. Jangan ambil yang muda. Nanti mubazir." Begitulah. Ibu selalu mengarahkan ini dan itu. Seperti seorang komandan. Di rumah atau di manapun, selalu seperti itu. Lalu ayah hanya akan berkata: "Dengarkan ibu," dengan nada lembut disertai senyuman. Aku mulai melangkah untuk mencari apel yang akan aku petik.
"MEI! Jangan terlalu jauh! Ingat segera kembali ke sini!" teriak Ibu dari kejauhan.
Aku tidak menanggapi. Karena sibuk memeriksa apel mana yang harus kupetik. Dengan kepala yang sedikit mendongak karena tubuhku yang masih kecil. Padahal pohon apel di kebun itu tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tinggi ayah atau Kak Teduh yang saat itu duduk di kelas tujuh. Naik kelas delapan. Keranjang kecil yang diberikan petugas di loket tadi kini sudah terisi setengahnya dengan apel yang kupetik. Aku masih terus berjalan. Terkadang berputar. Kesana kemari. Demi mendapat apel yang diinginkan. Langkahku terhenti. Termangu. Memandangi sebuah pohon apel. Ia menjulang tinggi melebihi tinggi pohon yang lainnya. Daunnya lebat. Hingga ranting-rantingnya tidak terlihat. Namun tidak seperti pohon apel lainnya yang berdaun sedikit, namun berbuah banyak. Pohon itu tidak memiliki buah sama sekali. Meski begitu, pohon itu sangat Rindang. Membuat udara semakin terasa sejuk. Dan akupun betah berlama-lama di bawahnya. Aku memilih duduk bersandar di bawah pohon apel tanpa buah itu. Sekadar melepas lelah sejenak. Agar tenaga terisi kembali untuk melanjutkan perburuan. Asik menikmati sejuknya udara. Aku menoleh ke belakang pohon. Karena merasakan sesuatu. Tepatnya sekelebat bayangan. Atau angin dingin. Entahlah. Namun tidak ada siapa pun di sana. Aneh. Tapi perasaan itu segera menguap mendengar teriakan Ibu yang kembali memanggil-manggil.
Keranjang Ibu, Ayah, dan Kak Teduh terlihat penuh dengan apel hijau yang terlihat sedikit kekuningan karena matang sempurna. Kak Teduh menengok ke arah keranjang ku dengan alis yang terangkat. Perlahan kugeser keranjang itu ke belakang tubuhku. Saat melihat senyuman dan tembakan side eye miliknya yang mencoba mencemooh ku. Dikarenakan warna apelku yang masih terlihat hijau sepat. Bukan apa-apa. Aku hanya tidak mau mendengar komentar Kakakku itu. Malas saja. Namun dia tidak berkomentar apa pun. Sampai akhirnya Ibu mengajak kami pulang. Benar-benar tidak ada yang berkomentar. Kulihat Ayah dan Ibu juga mengulum senyum. Mendorong bahuku perlahan untuk berjalan di depan mereka.
"Mei!" Terdengar suara seorang anak lelaki memanggil dari belakang. Saat menoleh, tidak ada siapapun yang aku temukan.
"Kenapa, Sayang?" Ayah bertanya penuh heran. Melihatku celingukan seolah mencari seseorang. Langkah kami terhenti. Ayah, Ibu, dan Kak Teduh ikut meyapu sekeliling dengan pandangan."Siapa? Kakak enggak denger siapa-siapa." Ayah dan Ibu mengangguk bersamaan mendengar perkataan Kak Teduh. Kutarik napas perlahan. Dalam. Sembari melanjutkan langkahku mengikuti Ayah dan ibu yang menggandeng tanganku. Berlalu. Meninggalkan kebun apel yang meninggalkan kesan yang mendalam, jauh di lubuk hatiku.
Malam harinya. Tidur pulasku karena lelah akibat seharian sibuk mengelilingi kebun apel, mendadak terganggu. Begitu pula dengan tidur-tidurku berikutnya. Selalu dibayangi mimpi yang sama. Seorang Anak-laki-laki yang tersenyum cerah memamerkan lesung pipit yang tidak berada di pipi. Tapi di tiap sudut kedua bibirnya. Tidak setiap malam. Terkadang dua atau tiga kali dalam seminggu. Ketika terbangun karena mimpi itu, aku terkadang menangis keras. Terkadang tersenyum dan tertawa. Terkadang juga kelelahan hingga nafas tersengal seperti malam ini. Yang tidak berubah adalah harus selalu ada apel ketika aku terbangun. Apel yang hanya aku genggam dan tatap. Untuk menenangkan hatiku dari mimpi-mimpi yang mendatangi. Tentu saja di sana harus ada Ayah dan dekapannya yang hangat. Hanya butuh dua hal ini. Tidak butuh lama aku akan segera tenang kembali.
Sayangnya tidak dengan malam ini. Ayah harus meminjamkan dekapannya lebih lama untukku. Akibat apel hijau yang ibu sediakan untukku sisa dibagikan kerabat dan tetangga ludes dibuat camilan. Siapa lagi pelakunya? Kalau bukan, kakak semata wayangku. Teduh Samudera.
![](https://img.wattpad.com/cover/348375548-288-k934431.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ON GOING_GREEN APPLE 🍏
FantasyGenre : Slice Of Life, Fantasi, Remaja Blurb: Pernahkah kalian memiliki hari yang begitu indah? Semua terasa sempurna. Matahari dengan cahayanya yang nyaman dan hangat. Sentuhan angin yang sejuk menggoyang dedaunan. Aroma bunga-bunga yang memberi ke...