Kaki Senja melangkah masuk kedalam rumah bak istana didepannya ini, perlahan langkah melamban karena maniknya menelurusi keadaan rumah besar itu dengan tatapan yang penuh kekaguman, di balik cadarnya yang berwarna hitam dia tersenyum dan memuji keindahan rumah yang besar itu.
"Ayo Senja."
Dia tersentak kaget mendengar suara Madi yang menuntunnya sampai kedepan, mungkin pintu yang dia lewati bukanlah pintu utama, tapi keindahan pintu dari belakang rumah ini terlihat memancarkan keindahannya, Senja jadi penasaran seperti apa pintu utama rumah ini, mungkin akan lebih mewah dari ini.
"Ini dapur rumah ini, jadi nanti kamu bakal kerja sama pembantu lain di dapur ini, kerja kamu Cuma di dapur kok, kalau enggak di dapur paling didepan, pokoknya nanti kamu saya arahin yah," ujar Madi.
"Iya Bu," jawab Senja dengan mengangguk patuh.
"Panggil Madi aja, gak masalah kalau kamu lebih muda dari saya, tapi panggil Madi aja yah," ujar Madi.
"Apa tidak akan kenapa kenapa?" tanya Senja ragu.
"Tentu saja tidak, ya sudah kamu langsung kerja gih, tanyakan saja apa yang belum kamu ketahui atau belum paham, orang orang disini pada ramah ramah kok," ujar Madi lembut.
"Iya Madi, terima kasih," jawab Senja dengan mengangguk pelan.
Senja mulai melangkah memasuki dapur yang super besar itu, semua peralatan dan juga keadaannya yang begitu megah sampai membuat Senja hampir tidak berkedip. Dia benar benar heran kok bisa dapur bisa semegah ini, bahkan mungkin dia pikir kalau dapur ini ukurannya sama persis dengan ukuran rumahnya yang tidak besar sama sekali.
"Anaknya Ratna yah?"
Senja sontak menoleh pada ibu ibu paru baya yang kira kira umurnya sama dengan ibunya.
"Iya bu, saya Senja anak keduanya bu Ratna," jawab Senja dengan tersenyum manis di balik cadarnya.
"Masya allah, meski pun pake cadar senyuman kamu manis banget," ujar nya dengan mengusap lembut pipi Senja.
"Alhamdulillah, makasih bu," jawab Senja dengan tersipu malu.
"Ya udah ayo sama ibu, biar di ajarkan dikit dikit," ajaknya.
"Iya Bu, tapi aku harus manggil apa?" tanya Senja ragu.
"Panggil Bu Fatma aja," jawabnya.
"Oh iya, makasih Bu Fatma."
Senja mulai berkerja dengan sedikit bantuan dari para pekerja lain, benar kata Madi kalau semua orang yang berkerja disini pada ramah ramah, dia pikir akan merasa canggung tapi kecanggungannya itu langsung hilang saat dia mendapatkan keramahan dan solidaritas dari yang lain. Senja senang berkerja seperti ini, dia yakin kalau selama Ibunya masih sakit dia akan betah untuk tinggal dan berkerja disini.
"Disini siapa yang di suruh nganterin teh hangat ke ruangan Tuan?" teriak salah satu pembantu dengan nyaring.
"Lastri yang di suruh, tapi apa dia belum ke ruangan tuan?"
"Iya dia belum, gimana dong, saya gak bisa gantiin Lastri, pekerjaan saya masih banyak."
Senja menatap bingung pembantu tersebut, dengan ragu dia melangkah maju.
"Biar aku aja, kebetulan aku lagi gak sibuk karena pekerjaan bentar lagi selesai,"ujar Senja.
"Ah Senja kamu yakin?" tanya nya.
"Iya sini, teh hangatnya, biar aku berikan pada tuan, tapi tuan yang mana? Aku tidak tahu," ujar Senja bingung.
"Ini tehnya, kamu anterin ini ke lantai 3 yah, ada ruang kerja yang catnya berwarna merah maroon, dan tuannya itu anak pertama dari tuan besar, namanya tuan muda Evan, kamu cukup simpan teh ini di meja habis itu udah."
Senja mengangguk paham, lalu dia mengambil nampan yang berisi gelas kosong dan cangkir yang berisi teh hangat, kebetulan di luar sana tengah hujan emang paling enak kalau minum yang hangat hangat pikirnya.
Setelah paham dia pun langsung melangkah maju menuju sebuah lantai 3 yang baru saja di tunjukkan oleh pembantu tadi, setiap dia melangkah dia tak henti hentinya mengucap penuh kagum atas rumah megah ini yang semakin dalam dia melangkah maka keindahannya pun semakin terlihat, Senja benar benar mengaguminya.
Sampainya di lantai 3, Senja mencari pintu yang bercat merah maroon, dan beruntungnya pintu tersebut langsung terlihat tanpa dia kesusahan mencarinya, dengan langkah yang lembut dia melangkah mendekati pintu tersebut.
Perlahan dia mengetuk pelan pintu tersebut beberapa kali karena merasa tidak ada yang membukakn pintunya, dia bisa saja langsung masuk, namun sayang itu bukanlah sebuah adab, dia tidak bisa main masuk tanpa ijin dari pemilik.
Setelah sabar menunggu akhirnya pintu itu pun terbuka dari dalam, dia bernafas lega karena akhirnya pintu itu terbuka, dia tersenyum untuk menyambut ramah tuannya itu, namun senyuman itu langsung memudar saat dia melihat sosok pria dewasa yang kisaran berumur 25 tahun dengan penampilan yang berantakan dan keringat yang membasahi tubuhnya, tepat di belakang pria dewasa itu ada seorang wanita yang tengah mengancingkan baju bajunya.
Tubuh Senja bergetar karena syok, dia tentu tahu apa maksud semua itu, meski pun hanya melihatnya dengan sekilas, Senja mencoba mengingat cerita dari ibunya tentang anak anak majikan ibunya, namun kata ibunya dari semua anak anaknya mereka belum menikah, jadi—
"Siapa kau?"
Tubuh Senja tersentak kaget mendengar nada bas dan berat dari pria dewasa yang bernama Evan itu, semua pembantu selalu memanggilnya Tuan Evan.
"Saya....Saya mau mengantarkan teh tuan," lirih Senja dengan bergetar.
"Oh, masuk dan simpan tehnya di meja," titah Evan dengan mempersilahkan Senja masuk.
"Siapa dia sayang?" tanya wanita yang tengah duduk di sofa mahal itu dengan terus memperhatikan gerak gerik Senja.
"Gak tahu, mungkin dia pembantu baru," jawab Evan dengan mengambil gelas kecil yang baru saja dia simpan oleh Senja.
"oh yah? Sejak kapan orang tuamu memperkerjakan pembantu yang berpenampilan seperti teroris ini?"
Senja meremas ujung hijabnya mendengar ucapan sompral dari wanita seksi didepannya ini.
"Aku gak tahu," jawab Evan dengan kedikan bahunya acuh, namun sepertinya dia ikut penasaran tentang sosok Senja, dia menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala Senja dengan meneliti.
"Angkat kepala mu," perintah Evan.
Spontan Senja mengangkat kepalanya, dia tanpa sengaja bertatapan dengan mata tajam Evan, sebelum akhrinya dia kembali menunduk karena merasa takut dengan tatapan Evan yang jauh dari kata baik.
"Saya... saya pamit tuan," ujar Senja dengan memundurkan diri.
Evan menganggukkan kepalanya pelan, tatapan dia masih tetap pada Senja sampai akhrinya senyuman miring tercipta di bibirnya sampai Senja menghilang dari pandangannya.
"Kenapa sayang?"
"Tidak ada, Aku hanya berpikir kalau aku seperti mengenalnya," jawab Evan dengan meneguk pelan teh hangat itu.
Sementara Senja, semenjak keluar dari ruangan itu, dalam hati dan pikirannya dia terus saja beristgfar mengingat nama tuhan, dia merasa berdosa karena sudah berprasangka buruk tentang tuanya, dia berpikir mungkin tuanya baru saja melakukan hal yang tidak tidak, tapi dia takut kalau prasangkanya salah, itu sebabnya dia terus beristigfar dan di jauhkan dari segala prasangka yang buruk.
"Akhh."
"Sorry."
Senja mendongkak menatap siapa yang menabraknya, matanya langsung melotot kaget melihat sosok yang begitu dia kenali.
"Kak Sam?" gumamnya.
"Loh Gadis sombong malu malu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudra dan Senja
Teen FictionIni tentang Samudra, seorang pangeran yang hidup di sebuah istana yang seperti penjara baginya, seorang Pangeran yang tersiksa dan terkucilkan, dan seorang Pangeran yang selalu di pandang sebelah mata. Dan ini tentang Senja yang datang membawa cahay...