Part 1: Verse 1

874 111 34
                                    

Manggala Nusantara namanya. Ia adalah lelaki yang kini berada di semester akhir perkuliahan. Hanya perlu menyusun skripsi dan lulus kuliah hukum. 

Sedikit tentang Manggala Nusantara, lelaki itu merupakan anak rantau yang menguji peruntungan di Pulau Jawa. Namanya itu diberikan sebagai harapan kepada si anak lelaki bisa menjadi seorang pemimpin yang gagah, berani, dan bertanggung jawab. 

Memenuhi harapan orangtua dan juga kesukaannya, Manggala mengambil jurusan hukum. Sebenarnya, Manggala lebih suka musik daripada hukum. Ia ingin menekuni tentang musik. Namun, realita memaksa Manggala untuk mengambil hukum dan memilih prospek yang lebih jelas untuk masa depan dirinya dan keluarga di kampung sana.

Sebagai gantinya, Manggala bekerja di sebuah toko musik. Ia menjelaskan tentang alat musik yang akan dibeli oleh pelanggan atau menjelaskan tentang DvD, kaset, piringan hitam, dan lain sebagainya. 

itu sebelum Manggala ditarik oleh dosennya untuk bekerja bersama. Walaupun hanya sebagai asisten dosen dan membantu beberapa penelitian milik dosennya, gaji yang didapatkan Manggala lebih besar dari toko musik. 

"Oi," sapa Manggala saat memasuki toko musik di mana ia bekerja dulu. Ia bersiul menyapa temannya yang sedang berjaga di kasir. 

Lelaki yang disapa itu segera menghampiri Manggala. Kedua lelaki itu kemudian saling berjabat tangan dan membenturkan bahu mereka. Si lelaki yang berjaga di kasir tersenyum cerah menyambut Manggala. 

"Sombong, lu, Ga," ujar Cecep dengan jenaka. 

Manggala berdecak. Ia kemudian meletakkan bungkusan plastik ke atas etalase kaca yang memisahkan pembeli dengan penjaga kasir. 

"Sibuk gua. Biasa, ikut Pak Junaedi penelitian," ujarnya membalas candaan Cecep. 

Cecep membuka bungkusan plastik tersebut dan mengambil salah satu tempelan kulkas dari sana. Tangannya kemudian meninju kecil bahu temannya. "Widih, mainnya udah ke Jepang aja."

Manggala terkekeh. "Keren gak?"

"Iya dah, keren parah temen gua."

"Ngomong-ngomong, gua numpang nelpon Ibu, dong."

"Itu WarTel di depan. Masih aja nelpon Ibu di sini."

Manggala terkekeh dan berjalan menuju kasir untuk menelpon Ibunya. "Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar?"

Cecep berdecak, membiarkan Manggala menggunakan telepon kabel di dekat kasir untuk menelpon Ibunya. 

"Lu udah punya uang banyak kenapa gak beli handphone aja sih?" Cecep bertanya saat Manggala sudah menempelkan gagang telpon di telinganya. 

Manggala berdecak saat panggilannya tidak dijawab. "Si Ibu ke mana, ya? Mau gak mau kirim surat ini. Pastiin mereka gak kurang duit."

Cecep berdecak. "Santai aja sih, gak usah khawatir gitu. Paling Ibu sama Bapak masih di dermaga, lagi lelang ikan."

"Iya kali, ya," balasnya tanpa minat dan mendudukkan diri di kursi tinggi. 

"Pertanyaan gua gak ada niatan buat dijawab?"

Manggala menyatukan alisnya. "Pertanyaan yang mana?"

Cecep berdecak. "Kenapa lu kagak beli handphone aja. Duit lu kan banyak."

"Banyak sih banyak. Tapi adek gua dua, bos. Si Rina bentar lagi mau masuk kuliah, dia harus ke Jawa, biar dapet pendidikan lebih bagus. Jadi sekarang gua nabung buat Rina."

Manggala turun dari kursi. "Gua mau liat lagu-lagu dulu. Udah lama kayanya gak denger lagu," ujarnya yang kemudian menuju rak khusus lagu dari luar negeri. 

Sempurna  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang