Interlude

230 61 4
                                    

"Mama! Papa!"

Asta berlari menuju taman belakang rumah dengan gembira. Ada tablet komputer di tangannya. Kakinya berhenti berlari saat mendengar suara petikan gitar dan suara nyanyian. 

Lelaki itu tersenyum saat tahu lagu apa yang sedang dinyanyikan Ayahnya. Sang Ayah selalu bercerita jika lagu ini memiliki kenangan dan momen penting dalam kehidupannya bersama sang Ibu. Asta merasa senang. Karena disaat ia akan memberitahukan sebuah kabar luar biasa, lagu ini sedang dimainkan dan dinyanyikan oleh sang Ayah. 

"Papa," panggil Asta saat petikan gitar itu sudah berhenti. "Papa pernah bilang kalau lagu Sempurna itu punya kenangan dan momen penting dalam hidup Papa dan Mama, kan?"

Manggala menganggukkan kepalanya. Senja sendiri menatap bingung ke arah anaknya. 

"Aku boleh nambahin momen di dalem lagu kesukaan Mama dan Papa?"

Manggala dan Senja terkekeh mendengar hal tersebut. 

"Sini, duduk di sini." Senja menggeser duduknya agar Asta bisa duduk di antara dirinya dan Manggala. 

Asta duduk dan membuka komputer tabletnya "Aku keterima di kedokteran Oxford!"

Manggala dan Senja menatap tidak percaya ke arah anaknya. 

"Serius?" tanya Manggala dan Senja bersamaan. 

Senja mengambil tablet komputer di tangan anaknya. Membaca tulisan di dalam tablet komputer tersebut dengan serius. 

"Mama!"

Asta segera mengambil tisu di hadapannya saat ada tetesan darah di tablet komputernya. Dengan gesit Asta melakukan tindakan pertama pada mimisan. 

"Mama, ke dokter deh. Mama sering mimisan belakangan ini."

"Udah. Kemaren periksa sama Papa. Kata dokternya Mama cuman kecapean," ujar Manggala. 

Asta menatap skeptis ke arah Ayahnya. "Serius?"

"Itu hasil medisnya di ruang kerja Papa. Dibaca aja sama kamu."

Asta berdecak dan membersihkan hidung sang Ibu dengan telaten. "Mama berhenti aja deh kerjanya. Papa juga kan uangnya udah banyak. Jual aja bisnis katering Mama itu. Biarin aja Papa yang kerja."

Manggala menatap tidak percaya ke arah anaknya. "Papa juga bisa kecapean, lho."

"Ya istirahat kalau capek, jangan berhenti kerja. Aku masuk kedokteran soalnya."

Senja dibuat tertawa mendengar hal tersebut. "Kamu jahat banget sama Papa," timpalnya dengan jenaka.

Asta bergelayut manja kepada Ibunya. "Mama, berhenti kerja aja, ya? Please, I can't stand to see you like this."

"Mama istirahat aja, ya?  Tadi kamu bilang ke Papa kalau Papa capek ya istirahat aja. Mama bakal istirahat kok."

.
.
.

Waktu berlalu begitu cepat. Senja tidak pernah berpikir jika ia akan melihat hari ini. Hari dimana Asta sedang menjadi seorang mahasiswa co-ass

Senja kini berjalan memasuki rumah sakit di mana Asta bekerja. Ia ingin memberikan bekal untuk Asta, mengingat anak itu mengeluh karena tidak memiliki makanan yang benar semenjak memulai praktek di rumah sakit.

"Asta!" panggil Senja saat melihat anaknya sedang bersama lelaki tua yang berpakaian sama dengan Asta. 

"Mama!" Asta melambaikan tangannya untuk menyapa Ibunya. 

"She is my mom," ujar Asta mengenalkan Ibunya kepada dokter di sebelahnya.

"Ma, he is Jeff, an attending doctor. Neurosurgeon."

Sempurna  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang