F O U R : Bukan Boneka, Kami Perempuan.

909 58 21
                                    

Sejak hari itu, usahaku menjaga jarak dengan Rama sedikit-banyak telah berhasil. Kehadiranku yang baru di hidupnya, tak membuat ia merasakan jarak kami yang akhirnya kembali jauh. Seakan saling tak mengenal.

"Al, masa Rama hobi banget ngomongin lo, dah." Ceplos Naufal saat kami sedang berada di lokasi pemotretan yang sama.

"Ngomongin gimana?"

"Iya, ngeledekin lo mulu. Bilang kalo lo itu pendek banget, sering ngedumel sendiri kalo lagi gagal motret, ambekan. Banyak, deh. Bahagia banget dia, kalo ngomongin elo." Tanpa sadar, pipiku menghangat. Sial, susahnya bekerja sama antara otak dan hati.

"Eh? Blushing lu," Naufal tergelak yang membuatku langsung membuang muka. Malu, serta kesal. Kesal karena perasaan itu bukannya menghilang, malah menggunung. "Dia kayaknya suka sama elo, deh, Al. Kocak banget abisnya."

"Lah, bukannya dia punya cewe?" mendengar kecepatan nada tanyaku, membuat alis Naufal terangkat sebelah.

"Fania? Itu mah mereka emang deket. Tapi Fania udah punya cowo." Jelas Naufal yang... entah kenapa membuat bebanku hilang seketika. Naufal membuatku ingin lompat saking... senangnya?

"Lah? Jadi gosip yang beredar itu becanda?"

Naufal mengangkat bahunya, "Jarang ada yang bisa tau isi fikirannya Rama. Gue aja yang dari SD udah deket sama dia, masih suka bingung. Tapi menurut gue sih, sukanya sama elo. Tapi deketinnya Fania. Aneh, kan?"

HA-HA. Manusia memang kadang selucu itu.

"Noh, noh. Rama dateng." Aku mengikuti arah pandang Naufal. Rama, dengan tampannya menghampiri kami. Eh, tampan?!

"Berdua aja. *PHO-in, ah." Celetuk Rama yang membuatku mendelik. "Jangan ganggu hubungan kita, ya. Aku sudah bahagia bersama Alika." Jawab Naufal sambil merangkulku.

"DIH. Jijik banget, lu deket-deket Alika. Mending sama gue sini, Al. Naufal mah, player." aku memutar bola mataku. Tak tertarik menjadi bahan candaan mereka. "Fal, gue duluan ya. Makin sore," pamitku pada Naufal. Tanpa pamit pada Rama yang jelas-jelas masih harus berjaga jarak denganku.

Dari jauh, aku masih mendengar omelan Rama yang tidak ku ajak bicara. Sorry to sorry, bruh.

***

"AN! Lo jadi jemput gak, sih? Gila, gue nunggu dari jam 5 sampe isya. Banyak nyamuk, woi!" omelku karena sudah nyaris berlumut menunggu datangnya Farhan.

"Sori, Al. Sumpah, lo cantik banget, deh." Aku memutar bola mataku.

"Bisa jemput gak?" Farhan cukup terdiam lama. "Hm..., enggak. Sori, Al. Adek gue daritadi siang gue suruh bangunin pas jam 5, tapi—"

"Yaudah, selamat tidur ya, Pangeran Tidur. Assalamualaikum." Aku mematikan telpon tanpa mendengar jawaban Farhan. Ia terlalu sering memberi harapan palsu seperti ini. Dengan kepala yang berdenyut kencang, ku paksakan kaki melangkah keluar dari gerbang. Beruntung, ruangan Klub Fotografi tidak jauh dari gerbang sekolahku.

"Sendiri?" pertanyaan itu berhasil membuatku hampir melompat.

"RAMA!" jeritku tanpa berusaha ku tahan. Rama tergelak. "Katanya mau pulang dari sore. Nah ini, isya aja masih disini. Ngapain?"

Aku masih berusaha menetralkan detak jantungku. Karena terkejut, dan karena... hadirnya.

"Nyari harta karun," jawabku asal yang membuat Rama tanpa berfikir dua kali untuk menjitakku. "Ish, lo itu beneran nyebelin, Ram!" Rama tertawa yang terdengar sangat menjengkelkan. Sungguh.

"Godain lo merupakan hobi baru gue kayaknya." Perkataan itu membuatku langsung mencubit lengannya. "Lo rese banget sumpah, ih."

"Cubitan anak kecil mana kerasa."

Buat Aku LupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang