Sejak seminggu lalu, semuanya memandangku tak seperti biasanya. Apa karena mukaku berubah masam, atau karena berita itu sudah menyebar dengan derasnya? Iya, berita itu dengan mudahnya terdengar oleh ribuan pelajar yang ada di sekolah ini. Entah karena apa.
Farhan Tanpa Abbas: u ok?
Aku meringis membaca LINE dari Farhan. Apakah perlu ku balas pertanyaan itu?
"Al," panggilan itu menghentikan langkahku. Aku menoleh dan mendapati Lista yang diam di ujung koridor. Ku mohon, jangan lagi.
Lista berjalan cepat ke arahku. "Mau sampe kapan lo vakum motret? Mau sampe kapan lo berubah jadi chicken gini?" aku tersenyum dan menggeleng. Ia harus tahu posisiku. "Mau sampe kapan kalian kayak anak-anak? Saling diem, saling ngejauh? Dan mau—"
"Dan mau sampe kapan lo terus tanya gue dengan pertanyaan 'mau sampe kapan', Lis? I've told you, biar gue jalanin masa awkward ini dengan cara gue sendiri. Lo fikir dengan gue kayak gini, gue juga udah fine? Nol besar, Lis. Gue masih tidak baik-baik aja." Potongku dan kembali berjalan. Meninggalkan Lista yang masih diam di tempat.
Alika: kenal gue brp lama sih? Pntgbgt pertanyaannya
Farhan Tanpa Abbas: gua jemput. Tunggu situ
Airmataku kembali menetes. Sudah seminggu aku menghindari mereka. Beruntung kami tidak satu kelas. Membuatku aman berada di kelas tanpa sedikitpun melukai atau di lukai, lagi. Dan sekarang, sama seperti hari-hari sebelumnya. Diam termangu menunggu Farhan datang di halte depan sekolah.
Iya, menunggu.
Pun menunggu airmata ini berhenti. Menunggu mata ini letih dengan sendirinya. Menunggu hujan yang juga jatuh demi hadirnya pelangi. Menunggu luka pengharapan yang masih belum sembuh. Menunggu tersambungnya kembali tali pertemanan yang—eh, jaket siapa ini?
"Mendung, anginnya gak sehat."
Rama?
"Mulai besok biasain bawa jaket, kek. Sok kuat banget jadi cewe. Udah tau Farhan lama jemputnya." Tau darimana dia tentang Farhan? Dan dengan keberanian sedikit, ku tatap mata cokelatnya yang menatapku dalam.
"Kenapa, Al?" tanya Rama. Aku menatapnya tanya. Apa maksud dia?
"Kenapa lo berhenti saat gue pun belum mulai?"
***
Tepat seminggu gue aneh. Dan cukup seminggu gue jadi chicken. Ocehan Lista sudah menjadi makanan sehari-hari sejak hari itu. Hari dimana berita besar berhasil gue dengar secara tidak langsung. Dan lagi-lagi, Lista sudah bertengger manis di depan kelas.
"Ram, lo bisa manly sedikit gak, sih?!" hardiknya.
"Manly dalam artian apa, nih?" Lista mendengus dan berjalan ke arah meja gue dengan kaki yang—pasti sengaja—dihentak-hentakkan. "Lo juga gak ngerti maksud dari manly itu apa? Gila, lo itu cowo apa bukan, sih?!"
Gue mendengus. "Gimana bisa lo menyimpulkan hal tentang manly sih, Lis? Lo perempuan. Tau apa?"
"RAMA!" dan terlihat Bima yang berlari dari pintu karena pujaan hatinya berhasil menjambak rambut gue dengan barbarnya.
"Lis udah kek, astaga. Kamu getol banget urus mereka bertiga, sih." Omel Bima yang berhasil ngebuat Lista ngelepas tangan kecilnya—tapi sumpah, pedes jambakannya—dari rambut gue. "Aku kasian, Bim, liat Alika atau Fia! Mereka temenan! Dan gara-gara dia—Lista menunjuk gue dengan seramnya—mereka ngejauh!"
Gue berdiri dan merapikan rambut yang acak-acakannya gak nahan. "Lo temen yang baik, Lis. Tapi sumpah, gue bisa nyelesain masalah gue sendiri." dan tanpa mendengar ocehan lebih dari Lista, gue pun melangkah menuju parkiran. Kembali ke rutinitas gue, sejak seminggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buat Aku Lupa
Short Story"Kenapa lo berhenti saat gue pun belum mulai?" ×××××× "Rasanya sakit, An." Sakit itu tiba-tiba meluap tanpa permisi. Membuka seluruh luka yang bahkan sembuh pun tidak. "Dan saat tau sama-sama punya rasa, tapi kenyataannya gak bisa bersama. Sakitnya...