Prolog

150 6 1
                                    

Di dalam kelas yang sarat ilmu dan wajah-wajah bingung, hidupku seperti mesin waktu di rel kereta eksperimen Einstein

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam kelas yang sarat ilmu dan wajah-wajah bingung, hidupku seperti mesin waktu di rel kereta eksperimen Einstein. Duduk di bangku kayu yang saksi bisu gelisah siswi, pengalaman bagai gelombang cahaya mendatangi, menghantam dengan kejutan. Cahaya riang atau kelam berdansa, menciptakan bayangan emosi di wajah-wajah di meja-meja kayu. Suasana kelas bagai lukisan bergerak yang mencatat jejak waktu dan emosi di setiap serpihan kayu dan tatapan.

Analogi relativitas menciptakan medan emosional. Seperti kecepatan cahaya, pengalaman di kelas ini merata, tapi kebijaksanaan dan pelajaran relatif. Seperti gelombang cahaya, pengalaman yang sama meresap pada siswa dengan intensitas berbeda, menciptakan hasil yang unik dan relatif satu sama lain.

Banyak yang mengarungi panjangnya pengalaman tanpa belajar, namun terkadang pengalaman pendek menerangi sepanjang hidup. Seperti mutiara dalam hidupku, Sakura Haruno, gadis yang mengutuki hidupnya, menjadi keindahan yang penuh kontradiksi, menyimpan kegelapan dan kecerahan dalam setiap detiknya.

Seorang gadis dengan garis keturunan Jepang kontras dari rupaku serta kulit yang seputih salju lembut Hokkaido, emerald teduh bagaikan dua permata yang bercahaya dalam kabut misterius, dan surai senada cotton candy, panjang dan wavy, bagaikan gelombang samudra yang bergerak pelan.

Siswi SMA tingkat akhir ini-Sakura merasa ada lubang besar di hatinya. Dia kerap merindu akan pemuda dari kepingan fragmen dulu yang telah menyerkah dinding afeksi, lalu kembali ke hidupnya. Tapi, kegagalan bertubi-tubi, empat kali, telah merobek angannya. Dia merasa tak mampu lagi, tak tahu bagaimana melanjutkan. Cinta itu, baginya, telah menjadi daratan tandus yang tidak mampu ditanami lagi.

Bunyi notifikasi dari ponselnya, seperti palu yang memecahkan batu hatinya. Dia menatap layar, menemukan nama yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat-pesan dari mantan. Bagai petir di siang bolong, perasaannya berkecamuk, mengobarkan kebimbangan dan rasa takut.

 Bagai petir di siang bolong, perasaannya berkecamuk, mengobarkan kebimbangan dan rasa takut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sasuke
Sakura, ketemu saya di tempat biasa ya,
Tanggal xx-7-xx oke?

Sakura
Ah, apalagi yang perlu dibicarakan?

Sasuke
Saya akan menjelaskan masalah itu. Datanglah; kutunggu di supermarket dekat rumahmu.

Sakura
Baiklah.
(read)


Pemandangan kelas seakan pudar ketika fokus Sakura terpecah. Pelajaran yang seharusnya menarik perhatiannya, kini terkesan samar di tengah kebimbangan yang menghantuinya. Rasa-rasanya seperti pusaran emosi mengulang kembali kenangan, menghantamnya seperti ombak di tepi pantai yang tak pernah reda.

Namun, dari sudut pandang orang ketiga, keputusan mereka yang berkali-kali putus dan berdamai seperti pertarungan tak berkesudahan. Saat putus, cahaya di mata Sakura memudar, mengungkapkan luka yang tak terucapkan. Teman dekatnya, yang juga sahabatnya, tak terelakkan menjadi sumber rasa cemburu. Setiap senyuman yang ia lihat, setiap pelukan yang ia saksikan, semuanya menggoreskan luka yang lebih dalam. Kontak fisik yang dulu begitu hangat kini menyisakan luka dan ketidakpastian.

Sakura merasakan perlahan, seperti duri merayap di hatinya, saat kenangan antara Karin dan Sasuke terungkap. Seakan-akan semuanya mengaburkan pikirannya, seperti kabut tipis yang menutupi pagi yang seharusnya cerah. Ia tak pernah menyangka bahwa hubungan yang pernah mereka jalin mampu memicu rasa kesal dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya, terhadap mereka berdua, dan bahkan pada dirinya sendiri. Kecewa melukai, seperti serpihan kaca merusak kerapuhan hatinya.

Sesekali, Sasuke berusaha meyakinkannya untuk kembali, menganyunkan kata-kata manis yang seperti mantra mempengaruhi hatinya yang rapuh. Ratusan kalimat lembut terdengar dalam ingatannya, tapi di balik itu, Sakura melihat bayangan keraguan yang tak terelakkan.

Tisu-tisu tercecer di sekitarnya, basah oleh air mata dan ingusnya yang tak terkendali. Setiap lembar tisu adalah jejak tangisnya yang tak mampu dihentikan. Kesedihan, keputusasaan, dan kebingungannya meresap, menciptakan kolase emosi yang tak terurai.

Dulu, di bawah rembulan yang pucat, aku merasakan hati ini diremukkan, tangisan yang membuat dada ini sesak.

Ketika Sakura tengah tenggelam dalam lamunan, seruan mendadak dari sang guru membuyarkannya. "Sakura!"

Dengan mata yang terkejut dan wajah pucat, ia balas, "M-maaf Pak, saya tadi terlarut dalam pikiran saya."

Guru itu menatapnya dengan tajam, "Jangan sampai berulang lagi."

Kelas kembali hening, namun denyut jantung Sakura masih bergemuruh di telinganya. Setiap mata di kelas seakan menatapnya, membuat pipinya memerah bagai bunga sakura di musim semi. Dia menundukkan kepalanya, merasakan rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya, berharap bisa menyembunyikan rasa malu dan kebingungannya.

Di luar jendela, angin berhembus perlahan, membawa bau tanah basah dan aroma bunga yang sedang mekar. Sakura menghirup udara segar, mencoba menenangkan dirinya, mengingatkan dirinya untuk selalu fokus dan tidak terlarut dalam kenangan lalu yang kerap mempengaruhi perasaannya.

Dalam sekejap, Sakura merasa seperti dia berada di dua dunia berbeda; satu dimana dia berada di kelas, dikelilingi oleh teman-temannya, dan dunia lainnya yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang belum terselesaikan.

***

RepeatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang