Langit sore menjingga, menyerupai lukisan yang penuh dengan goresan warna lembut, memeluk cakrawala. Sakura duduk di bangku taman, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Kenangan itu datang tanpa diminta, mengisi hatinya dengan perasaan hangat sekaligus pahit.
Dia teringat hari di mana Sasuke pertama kali mengajaknya ke lapangan terbuka di pinggir kota. Matahari hampir terbenam, dan angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut mereka dengan lembut. Sasuke, dengan kemeja putih longgar yang selalu menjadi ciri khasnya, membawa sebuah kamera tua di tangannya. Sakura, mengenakan kaus longgar berwarna pastel, mencoba menahan tawa saat melihat Sasuke yang sibuk mengatur lensa kameranya.
“Kenapa sih kamu selalu membawa kamera itu?” Sakura bertanya dengan senyum kecil, mencoba mengalihkan rasa canggung yang kadang muncul di antara mereka.
Sasuke menoleh, matanya yang gelap memancarkan kehangatan yang jarang terlihat. “Aku suka mengabadikan momen, terutama momen-momen yang tidak akan bisa kembali lagi,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Sakura terdiam sejenak. Jawaban itu terasa sederhana, namun entah mengapa, ada sesuatu yang dalam di balik kata-kata Sasuke. “Jadi, aku ini momen yang penting buat kamu?” goda Sakura, setengah bercanda, setengah berharap mendengar sesuatu yang istimewa.
Sasuke menatapnya lama, terlalu lama hingga membuat Sakura merasa salah tingkah. Kemudian, dengan suara rendah yang nyaris berbisik, dia menjawab, “Iya, kamu penting.”
Kata-kata itu, meskipun singkat, mampu membuat Sakura merasa seperti dunia berhenti berputar sejenak. Pipinya memerah, dan dia segera memalingkan wajah, berharap Sasuke tidak menyadari betapa gugupnya dia.
“Berhenti menatapku seperti itu, Sasuke!” protesnya, mencoba mengusir rasa canggung.
“Aku hanya memastikan, momen ini terpatri dengan jelas di ingatanku,” balas Sasuke sambil mengarahkan kamera ke arah Sakura. Dia mengangkat kamera, membidik, dan dengan satu klik, suara rana mengisi keheningan di antara mereka.
“Hey!” Sakura memprotes, tapi Sasuke hanya tertawa kecil, suara tawanya seperti melodi yang jarang didengar, namun selalu dirindukan.
Mereka menghabiskan sore itu dengan percakapan ringan dan tawa kecil, sesuatu yang terasa begitu sederhana namun penuh makna. Sakura teringat betapa bebasnya dia merasa saat itu, seperti tidak ada beban yang menghantui mereka. Mata Sasuke, yang biasanya terlihat dingin dan sulit dibaca, tampak lebih hangat di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam.
Namun, kenangan itu kini terasa seperti duri dalam hatinya. Sakura menggenggam erat tepi bangku kayu di taman itu, mencoba menahan perasaan yang terus bergejolak. Bagaimana mungkin seseorang yang memberinya begitu banyak kebahagiaan juga menjadi sumber luka terdalamnya?
Dia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, pikirannya kembali mengembara, kembali ke kenangan-kenangan lain yang mereka bagikan bersama.
Flashback
Sakura ingat malam di mana Sasuke menemaninya di atap rumah, hanya untuk melihat bintang. Saat itu, angin dingin meniup lembut, dan mereka hanya duduk berdua, berbagi selimut kecil yang nyaris tidak cukup untuk menutupi mereka.
“Sasuke, apa kamu pernah berpikir tentang masa depan?” tanya Sakura tiba-tiba, suaranya hampir tenggelam oleh angin malam.
Sasuke menatap langit, matanya memantulkan cahaya bintang yang redup. “Tentu saja,” jawabnya singkat.
“Lalu, seperti apa masa depanmu?” desak Sakura, penasaran.
Sasuke terdiam lama, seolah-olah sedang memilih kata-kata yang tepat. Kemudian, dia menoleh ke arah Sakura dan berkata, “Aku tidak tahu banyak tentang masa depan, tapi aku ingin memastikan satu hal...”
“Apa itu?” tanya Sakura, suaranya penuh antusias.
“Aku ingin kamu ada di dalamnya,” jawab Sasuke dengan tegas, tanpa sedikitpun keraguan.
Kalimat itu membuat jantung Sakura berdetak lebih cepat. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons, jadi dia hanya tersenyum kecil dan memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
Kenangan-kenangan manis itu terus mengalir, seperti sungai yang tak terbendung. Sakura merasa sesak, seolah-olah dirinya tenggelam dalam lautan emosi yang tak berujung. Bagaimana bisa seseorang yang dulu begitu mencintainya juga menjadi orang yang paling melukainya?
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan ketenangan di tengah badai perasaannya. Tangan kecilnya menggenggam erat pinggir bangku kayu, sementara air mata mulai menggenang di sudut matanya.
***
“Sasuke...” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. Nama itu terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya setiap kali disebutkan.
Sakura tahu dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus bangkit, harus menemukan cara untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang Sasuke yang selalu menghantuinya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana mungkin dia bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi seluruh dunianya?
Fin
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeated
Romance[on-going] Sakura Haruno, bagaikan putaran gramofon rusak, selalu kembali pada lirik lama; Sasuke Uchiha. Dalam irama kesalahan yang sama, hatinya berdendang kesedihan, menari dalam hujan penyesalan yang tak berkesudahan.