chapter 4

34 3 0
                                    

Flashback

Matahari siang memancarkan sinarnya dengan hangat, menembus sela-sela dedaunan di sebuah taman kota yang tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari siang memancarkan sinarnya dengan hangat, menembus sela-sela dedaunan di sebuah taman kota yang tenang. Sakura duduk di bangku kayu dekat kolam kecil, memandang riak air yang bergerak perlahan. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang memantulkan cahaya lembut, kontras dengan rona merah muda di pipinya. Di tangannya terdapat buku kecil, tetapi perhatiannya tidak benar-benar tertuju pada halaman-halamannya. Pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi, ketika ia tanpa sengaja bertemu Naruto di kafe.

Sasuke muncul dari kejauhan, berjalan dengan langkah yang tenang namun terlihat tegang. Wajahnya tetap datar, tetapi matanya menyiratkan ketidaksenangan yang jelas. Begitu ia mendekati Sakura, udara di sekitar mereka seolah berubah menjadi lebih berat.

“Kau sudah menungguku?” tanya Sasuke tanpa basa-basi, suaranya dingin.

Sakura menutup bukunya, mengangguk kecil. “Aku pikir kita bisa bicara di sini. Lebih tenang.”

Namun Sasuke tidak menjawab. Ia hanya berdiri di depan Sakura, menyilangkan tangan di dadanya. “Aku melihatmu tadi pagi,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun penuh penekanan.

Sakura mengangkat alisnya, bingung. “Melihatku?”

“Di kafe,” lanjut Sasuke. “Bersama Naruto.”

Sakura tersentak mendengar nada dingin dalam suaranya. “Naruto hanya kebetulan ada di sana,” jelasnya, mencoba terdengar tenang. “Kami berbicara sebentar. Itu saja.”

“Sebentar?” Sasuke tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. “Aku melihat bagaimana kalian tertawa. Kelihatannya lebih dari sekadar ‘sebentar’.”

Kata-kata itu menghantam Sakura dengan keras. Ia memandang Sasuke, matanya memantulkan campuran antara keterkejutan dan kemarahan. “Jadi kau memata-matai aku?” tanyanya tajam.

“Aku tidak memata-matai,” balas Sasuke cepat, meskipun nada defensifnya jelas terdengar. “Tapi aku tahu apa yang kulihat. Dan kau terlihat terlalu nyaman bersamanya.”

“Kau bercanda, kan?” Sakura berdiri, menatap Sasuke dengan tatapan tidak percaya. “Naruto adalah temanmu! Bagaimana bisa kau berpikir aku—”

“Karena aku tahu bagaimana pria seperti dia berpikir!” potong Sasuke, suaranya naik untuk pertama kalinya.

Sakura terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Sasuke. Dadanya terasa sesak, campuran antara marah dan terluka. “Apa kau dengar dirimu sendiri, Sasuke?” suaranya gemetar, nyaris berbisik. “Kau benar-benar tidak percaya padaku?”

Sasuke membuka mulut untuk menjawab, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia tahu ia telah melewati batas, tetapi amarah dan gengsinya menahannya untuk mengakuinya.

“Kalau begitu, mungkin kau tidak perlu berada di sini,” kata Sakura akhirnya, matanya mulai memerah. “Kalau kau tidak percaya padaku, kenapa kita harus terus seperti ini?”

Sasuke terdiam, menatap Sakura dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tetapi alih-alih menjawab, ia hanya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Sakura sendirian di taman.

***


Waktu berlalu, dan matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi oranye keemasan, kemudian kelam. Sakura duduk di lantai ruang tamunya, punggungnya bersandar pada pilar kayu besar. Cahaya lampu yang redup memantulkan bayangannya di dinding, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan.

Sasuke berada di sisi lain pilar, juga duduk bersandar dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia telah kembali, tetapi tidak memiliki keberanian untuk menghadapi Sakura secara langsung. Keduanya terpisah hanya oleh kayu dingin yang menjadi batas fisik, tetapi hati mereka terasa lebih jauh daripada sebelumnya.

Sakura memeluk lututnya, mencoba menahan air mata yang terus mengalir. Mengapa semua harus seperti ini? pikirnya, mengingat momen-momen manis bersama Sasuke yang kini terasa seperti kenangan yang sangat jauh. Ia tidak pernah menyangka Sasuke akan meragukannya. Luka itu terlalu dalam, dan ia tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.

Di sisi lain, Sasuke menundukkan kepalanya, gengsi dan rasa bersalah bercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu ia telah salah, tetapi kata-kata untuk meminta maaf terasa terlalu sulit untuk diucapkan. Mengapa aku selalu bodoh dalam hal ini? pikirnya, tinjunya mengepal di atas pahanya.

Keheningan malam menemani mereka, hanya suara detik jam yang terdengar samar di antara kesunyian. Sakura memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di tengah badai emosinya. Sementara itu, Sasuke hanya bisa memandang ke depan, matanya kosong, pikirannya penuh dengan penyesalan yang tertahan.

Malam itu berlalu dengan hati yang penuh luka dan harapan kecil yang hampir padam. Tetapi di balik rasa sakit, ada sesuatu yang masih mengikat mereka—rasa yang terlalu kuat untuk diabaikan, meskipun kini tertutup oleh keheningan dan jarak.

***

Fin

RepeatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang