- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Setelah shalat maghrib di rumah Maimunah, Arumi pun segera bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Ia sudah memberi tahu pada Irma melalui telepon, bahwa dirinya akan pulang setelah selesai shalat maghrib.
"Kamu yakin mau pulang malam-malam begini? Kamu enggak mau menginap saja di sini, Cah Ayu?" tawar Maimunah, dengan wajah penuh keresahan.
Arumi pun tersenyum lebar seperti biasanya saat mendengar tawaran dari Maimunah.
"Bukannya enggak mau, Bude Unah. Tapi Bude 'kan tahu sendiri, kalau aku ini adalah anak tunggal yang selalu dirindukan oleh Ayah Ibuku. Jadi sebaiknya aku segera pulang, sebelum ponselku tidak berhenti berbunyi sepanjang malam," jawab Arumi.
Apa yang Arumi katakan jelas sesuai dengan kenyataan yang sering terjadi jika dirinya tidak pulang ke rumah. Irma dan Iksan selalu saja menghubunginya tanpa henti hanya untuk mengecek apakah Arumi sudah makan, sudah berganti pakaian sebelum tidur, dan bahkan saat Arumi sudah tidur pun mereka tetap ingin tahu.
"Tapi masalahnya ini sudah malam, Rumi. Bagaimana kalau besok pagi saja kamu pulang ke rumah?" Nuning ikut membujuk Arumi.
"Sebaiknya aku pulang, Ning. Insya Allah aku akan sampai dengan selamat, kok. Lagi pula rumahku 'kan tidak jauh dari sini," Arumi tetap menolak.
Setelah berpamitan, Arumi pun segera mengayuh sepedanya dan menjauh dari rumah Maimunah. Ari sudah hampir menutup pintu depan warung, ketika kedua matanya tidak sengaja melihat Arumi melintas menggunakan sepedanya. Arumi jelas tidak sadar kalau Ari masih berada di warung karena saat itu keadaan sudah gelap. Ia pikir warung milik Kasmiati sudah benar-benar tutup sejak tadi, lalu merasa sebaiknya ia mengayuh sepeda lebih cepat.
Melihat hal itu, Ari pun bergegas lari ke dalam rumahnya untuk menghampiri Kasmiati dan Aryo yang ada di meja makan. Nafas pria itu sangat memburu, sehingga membuat Kasmiati dan Aryo sama-sama kaget ketika menyadari kemunculannya.
"Ari? Kamu kenapa? Kenapa lari-lari begitu, Nak?" tanya Kasmiati, khawatir.
"I-itu ... Ru-Rumi, Bu. Rumi," ujar Ari, terbata-bata.
"Ada apa dengan Rumi, Ri? Bicaralah yang jelas," pinta Aryo, mendadak perasaannya menjadi tidak enak.
"Rumi keluar rumah malam-malam dari rumah Bude Unah. Mungkin dia berniat mau pulang ke rumahnya," jelas Ari, setelah nafasnya benar-benar kembali normal.
"Astaghfirullahal 'azhim!!!" ucap Kasmiati dan Aryo dengan kompak.
Aryo langsung melompat dari kursinya tanpa berpikir panjang. Pria itu secara berlari menuju pintu depan dan membukanya.
"Kamu di sini saja dan jaga Ibu. Aku akan susul Rumi dan mengantarnya pulang," perintah Aryo.
"Iya, Mas. Aku enggak akan keluar sebelum Mas Aryo kembali ke rumah," balas Ari.
Aryo pun segera meraih sepedanya sendiri dari samping rumah dan mengayuhnya dengan cepat untuk menyusul Arumi. Perasaannya semakin tidak enak, terutama karena ia ingat betul jalan-jalan mana saja yang harus dihindari saat malam hari.
Arumi mengayuh sepedanya dengan santai seperti biasa. Keadaan di luar saat itu sudah sangat sepi, sama sekali tidak sama seperti lima tahun lalu. Entah kenapa semua orang tampaknya memilih untuk tidak keluar rumah saat malam. Padahal dulu orang-orang di Desa Grobogan sering sekali berada di luar rumah atau sekedar bersantai di halaman rumah masing-masing, selepas shalat maghrib. Hal itu membuat Arumi teringat dengan pesan yang hampir disampaikan oleh Bi Sumi tadi pagi. Sekarang ia malah menjadi penasaran kembali dengan hal itu.
Ketika Arumi melewati jalan lurus yang memiliki jalan kecil di bagian kiri, ia tidak sengaja melirik ke arah jalan itu dan melihat sesosok anak kecil yang tengah berjalan menuju ke arah kebun kosong. Kebun kosong itu memang selalu gelap saat malam, jadi jelas saja Arumi langsung merasa khawatir terhadap anak kecil itu dan segera menghentikan laju sepedanya.
"Dek! Jangan ke sana malam-malam! Gelap, Dek!" Arumi berusaha memanggilnya.
Anak kecil itu sama sekali tidak berbalik, membuat Arumi merasa kalau dia tidak mendengar panggilannya barusan. Ia segera meninggalkan sepedanya di pinggir jalan, lalu berusaha menyusul langkah anak kecil itu menuju ke arah kebun kosong.
"Dek, ayo ke sini. Biar Kakak antar kamu pulang. Jangan pergi ke kebun kosong malam-malam, nanti kamu kenapa-napa," panggil Arumi sekali lagi.
Arumi terus melangkah maju untuk menyusul anak kecil itu sampai benar-benar masuk ke kebun kosong yang gelap. Tak berapa lama kemudian, anak kecil itu mendadak berhenti dan berbalik ke arah Arumi. Arumi bisa menatapnya dengan jelas meski keadaan saat itu sangat gelap. Ia berjalan mendekat dan menyentuh tubuh anak kecil itu dengan lembut.
"Nama kamu siapa, Dek? Kenapa kamu ke sini malam-malam?" tanya Arumi, jauh lebih lembut daripada saat dirinya berusaha memanggil anak kecil tersebut.
Kulit anak itu terasa sangat dingin bagi Arumi. Warna kulitnya pun sangat pucat, seakan tidak ada darah yang mengalir di bawah kulit anak itu. Kedua kaki anak itu tidak terlihat jelas di mata Arumi, ia hanya bisa melihat bagian lutut sampai betis saja. Namun meski tak terlihat dengan jelas, ia yakin kalau kaki anak itu sangat kotor karena banyak sekali bekas tanah yang mengering dari betis hingga ke lututnya.
"Tolong aku, Kak," lirih anak itu.
"Tolong? Kamu butuh pertolongan apa, Dek?" Arumi kini mulai penasaran.
"Ada yang mencuri aku, Kak. Tolong temukan aku," jawab anak itu.
"Hah? Maksudmu bagaimana, Dek? Coba ulangi," pinta Arumi.
"RUMI!!! RUMI KAMU DI MANA, RUMI???"
Arumi pun seketika berbalik saat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Ia kenal betul suara itu dan tidak merasa asing sama sekali.
"MAS ARYO!!! AKU DI SINI!!!" balas Arumi.
Arumi kembali berbalik untuk menatap anak kecil tadi, namun ternyata anak kecil itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Hanya kegelapan yang kini ada di sekeliling Arumi.
"Dek? Dek, kamu di mana? Dek, sini Kakak antar kamu pulang," panggil Arumi.
Aryo tiba di tempat Arumi berada tak lama kemudian. Nafas pria itu tampak memburu dan wajahnya sangat cemas.
"Mas Aryo? Mas Aryo kenapa? Mas habis lari-lari?" tanya Arumi, benar-benar masih setenang biasanya.
"Ayo pergi dari sini, Rumi. Keadaan di sini tidak aman," ajak Aryo, tanpa menjawab pertanyaan dari Arumi.
Aryo pun segera meraih tangan Arumi dan menggenggamnya dengan erat.
"Tapi, Mas. Tadi ada ...."
"Aku tahu apa yang kamu lihat, Rumi," potong Aryo dengan cepat.
Tatapan mata Aryo bertemu dengan tatap mata Arumi dari jarak yang begitu dekat.
"Aku tahu kalau kamu melihat anak kecil itu dari jalan di depan sana. Dia bukan manusia, Rumi. Jadi sebaiknya ayo kita pergi dari sini sekarang juga," bisik Aryo, seakan tidak ingin ada yang mendengar apa yang baru saja ia ucapkan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Arwah Jenazah Yang Hilang (SUDAH TERBIT)
Horor[COMPLETED] Pulang ke kampung halaman setelah selesai kuliah di kota lain adalah harapan terbesar Arumi Salsabila, setelah hampir lima tahun merantau demi cita-cita menjadi seorang sarjana. Namun setibanya Arumi di kampung halaman dan terus saja dih...