LAHIR KEMBALI

53 15 6
                                    

Aku bisa mencium bau manusia panggang. Itu khas, dan sudah seperti pengetahuan umum bagi penduduk kota Wilhelm. Campuran daging sapi asap, rambut busuk, karat, gumpalan darah menstruasi, dan lelehan ember bekas fermentasi kotoran domba, kurang lebih begitu. "Anak tukang roti, sudah kepala tiga, masih perawan." Madam Pier tahu macam-macam hal dan aku senang bisa mendengar banyak hal darinya. "Dilamar oleh anak pemilik salon minggu lalu, menolak lamaran itu mentah-mentah. Tidak sudi diperistri lelaki lemah, kabarnya ia mengatakan itu sambil menggeram dan mengigit lengan anak pemilik salon, lalu menyalak seperti anjing gila sebelum akhirnya diringkus, bagaimana menurutmu?"

"Menarik." Aku menjawab. "Anak laki-laki memang jadi semakin lemah sejak tidak ada lagi penyerbuan."

"Perang sudah selesai Miriam, sudah selesai, berdamailah!" ia menekankan dan aku mengabaikan. Pada dasarnya bicara dengan Madam Pier mengenai macam-macam hal yang ia ketahui memang menyenangkan, tapi kadang kalimat munafiknya membuatku ingin muntah, lebih dari bau manusia panggang yang memenuhi ruang perenungan.

"Jemaat perenungan yang dikasihi Tuhan." Pastor Paul melanjutkan khotbahnya meski sebagian besar penghuni ruang—termasuk aku dan Madam Pier—berhenti menyimak sejak bau manusia panggang tercium. "Seperti yang kita ketahui, pada hari ini Tuan Taylor tidak lagi berada di antara kita, sebab kasih Tuhan yang damai telah mencapai Tuan Taylor, dan saya berharap Anda sekalian dapat dengan segera menemui kelapangan hati seperti Tuan Taylor." Lantas Pastor Paul menceritakan lika-liku kehidupan Tuan Taylor yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan kemalangan-kemalangan milik para penghuni ruang perenungan.

Kami semua dihancurkan oleh perang yang lama dan dikurung dalam negara yang mengaku paling dikasihi Tuhan. Tidak ada kedamaian dalam ruang perenungan dan seluruhnya memahami bahwa dendam dari sebuah kehilangan adalah kewajaran yang pasti mendatangi manusia. Maka seluruhnya berpura-pura tegar dan kuat selama perenungan, seolah kekosongan yang diakibatkan oleh perang-perang menyedihkan tidak lebih dari sebuah candaan. Bau manusia panggang mulai memudar dan aku mungkin mengetahui penyebabnya.

Angin segar berembus dari sela-sela jendela ruang perenungan dan aktifitas rutin itu resmi dibubarkan setelah Pastor Paul selesai berdoa. Laki-laki berwajah teduh itu membagikan secarik kertas kepada seluruh jemaat sebelum meninggalkan ruang perenungan dan memberikan ucapan yang sejatinya tidak jelas. "Selamat Miriam." Dua kata itu untukku dan aku menerka-nerka keselamatan macam apa yang akan kutemui.

Aku belum ingin menyudahi renunganku yang tidak ada artinya, jadi aku menolak ajakan Madam Pier untuk membeli bedak dan memilih untuk lebih lama meresapi keheningan—yang rasanya mengucur deras dari sela-sela batu bata dan kaca patri Gereja Wilhelm.

Sendiri, hening, diam, damai, meski bau manusia panggang masih belum sepenuhnya hilang. Namun tiba-tiba, suara tuk-tuk-tuk mengusik perenunganku.

Aku mengenal suara itu, asalnya dari hak-hak sepatu perempuan terhormat yang beradu dengan marmer Gereja Wilhelm. Seseorang, kemungkinan besar wanita, yang kemungkinannya terhormat, dan pasti mengenakan sepatu hak, berlari di lorong mendekati ruang perenungan. Lantas pintunya dibuka dengan tergesa-gesa. "Tolong aku!" Perempuan berambut ikal dengan noda merah di sana-sini mendobrak masuk sambil memohon bersama bau yang merekah dengan tidak sedap.

Aku mengamatinya, dari atas ke bawah, bawah ke atas. "Kemari." Jawabku bersama lambaian tangan, mengisyaratkan agar ia mendekat. Sepatunya kembali berderak dan aku menyuruhnya bersembunyi di balik meja mimbar sebab ketukan-ketukan lain mulai terdengar.

Pintu ruang perenungan kembali dibuka paksa dan biarawati-biarawati berpakaian serba putih menatapku dengan panik yang tidak bisa disembunyikan. "Maaf Madam, apakah Madan melihat perempuan setinggi ini dengan rambut panjang ikal?" Aku menggeleng.

"Aku tidak melihat apa-apa, selain kalian, yang berjalan dengan kasar di dalam gereja, aku pikir orang beriman tidak akan mengotori gereja dengan kebisingan, dan aku pikir kalian lebih beriman daripada aku." Aku menggeleng, menyayangkan tingkah para biarawati. "Dimana Pastor Paul, aku akan mengadukan perbuatan kalian."

Biarawati berpakaian putih saling menatap sebelum kembali meminta maaf. Mereka tidak ingin aku mengadukan kegaduhan yang mereka buat kepada Pastor Paul, jadi mereka membungkuk dalam-dalam sebelum membiarkan aku kembali menikmati keheningan ruang perenungan.

"Mengapa mereka mengejarmu?" Aku mengajukan pertanyaan ketika perempuan yang kusembunyikan di balik meja mimbar menyembulkan kepala.

"Mereka ingin membunuhku Madam, mereka jahat." Aku tertawa renyah, membayangkan para biarawati yang tidak tahu apa-apa itu menghabisi nyawa perempuan lusuh. Tidak mungkin. "Aku tidak berbohong Madam, mereka memotong tanganku." Ia mengangkat lengannya dan memamerkan sesuatu yang hilang.

Aku menatap kain dan perban di ujung pergelangan milik perempuan berambut ikal, darah merembes, berwarna merah, lantas aku menyadari baunya. "Tolong aku Madam, aku ingin pulang." Air mata mulai membasahi pipinya dan aku tidak tega melihat perempuan malang tanpa tangan kanan merengek di samping meja mimbar.

"Aku mungkin tidak bisa membantumu, aku tua, tidak bijak, dan tidak lincah, tapi aku yakin Pastor Paul bisa, ia yang paling bisa diandalkan di sini," tawarku. Perempuan berambut ikal itu mengangguk lantas memperkenalkan diri sebagai Maria anak tukang roti.

Aku melepas jubahku dan memberikannya pada Maria, menyuruhnya melepas sepatu, lantas memintanya menunggu aba-aba dariku. Kepalaku menyembul dari balik pintu ruang perenungan dan lorong Gereja Wilhelm nampak hampa. Tidak ada siapa-siapa. "Ikuti aku, berjalan dengan pelan seperti perempuan terhormat."

Perempuan berambut ikal menurutiku, ia berjalan di sampingku dengan tegap dan anggun, meski kekosongan di ujung pergelangannya mengganggu pemandangan. "Bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanyaku.

"Biarawati itu menuduhku sebagai penyihir, hanya karena aku tidak ingin menikah, aku memang belum ingin menikah, tapi itu bukan berarti aku seorang penyihir, aku belum menemukan laki-laki yang tepat, tapi sepertinya sekarang aku tidak akan bisa menemukan laki-laki yang tepat." Ia menjawab dengan tenang, seperti tidak ada ketakutan dalam batinnya. Perempuan ini kuat, seperti aku, dan mungkin perempuan-perempuan lain di luar sana yang membutuhkan perenungan.

"Aku yakin Pastor Paul bisa memperbaiki hidupmu, ia berjanji akan memperbaiki hidupku, jadi ia pasti bisa menyelesaikan hal remeh seperti tuduhan palsu." Kami berpapasan dengan seorang biarawati dan aku bisa melihat bagaimana kepanikan memenuhi wajah Maria. "Mereka tidak akan mengusikmu, selama kamu berjalan dengan tenang dan anggun di sampingku."

"Terima kasih Madam, Anda tidak terlihat seperti butuh diperbaiki."

"Perang mengambil keluargaku, aku kehilangan putriku, para pemimpin itu mungkin bisa saling menyerukan perdamaian antar negara, tapi di pikiranku tidak ada kedamaian bagi mereka yang merenggut putriku." Aku sudah terlalu sering bercerita mengenai dendam yang membuatku harus mengikuti sesi renungan pagi setiap hari. Tidak ada lagi canggung dan sedih setiap kisah itu disampaikan.

"Aku turut simpati."

"Tidak perlu, Pastor Paul akan memperbaiki segalanya, aku akan baik-baik saja." Seorang biarawati mendekatiku dan membungkuk dalam-dalam.

"Madam, perempuan itu." Biarawati yang tidak memahami apa-apa tidak berani melanjutkan kalimatnya.

"Antarkan aku ke Pastor Paul." Ia kembali membungkuk dalam-dalam sebelum menuruti perintahku. "Dengarkan aku nak, angkat wajahmu, tetaplah anggun, kuat, dan terhormat, sebab begitulah seharusnya kamu hidup, sebagai dirimu saat ini maupun dirimu kelak." Biarawati menuntun aku dan Maria menuju ruang berpintu besi di ujung lorong. "Pastor Paul akan menuntunmu, mengembalikan kehidupanmu, seperti ini mengembalikan putriku."

"Aku tidak mengerti."

"Kamu akan mengerti, masuklah, temui Pastor Paul, lalu pulanglah ke rumahku." Pintu besi terbuka lebar dan aku mendorong Maria masuk.

...

Pagi ini aku tidak perlu mengikuti renungan pagi, sebab putriku telah kembali, meski ia kehilangan sesuatu di ujung pergelangannya, tapi ia tetap putriku, yang anggung, tegap, dan terhormat. 

GenFest 2023: Classic x ThrillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang