The Blood Stained Antoinette

54 12 2
                                    

"Jangan lari kau, Laina!" Seorang wanita dengan gaun berwarna hitam di belakang Laina terus berteriak dan mengejarnya bersama putrinya. Sementara itu, Laina yang pakaiannya sudah tak karuan lagi bentuknya hanya bisa berlari dengan segenap kekuatannya yang tersisa. Ditambah lagi kakinya yang berlari tanpa alas harus bersentuhan dengan tumpukan salju yang dingin. Bahkan darah yang sedari tadi mengalir di pelipis wajahnya sudah membeku. Turut membercak merah pada rambut peraknya yang biasanya tergerai begitu indah.

Tampaknya, aku akan berakhir di sini, batin Laina yang masih berlari sambil memejamkan matanya. Degup jantungnya tak bisa lebih tenang dari biasanya, bukti kalau ia benar-benar ketakutan. Kematian mengejarnya. Dendam sosok-sosok di belakanganya bisa membunuhnya saat ini juga. Membuatnya enggan menoleh ke belakang sedikitpun, bahkan untuk memastikan jarak aman dirinya dari dua orang itu. Ia hanya ingin berlari sejauh mungkin dari kejaran wanita tua yang merupakan istri kedua ayahnya dan saudari tirinya sejak 5 tahun lalu. Ia sudah tak kuat. Semuanya terlalu menyakitkan, semuanya ... gelap.

Aku akan berakhir di sini, batin Laina sebelum tubuhnya tak mampu lagi menopang lantas jatuh.

"Aku harus membunuhnya." Bahkan di tengah mimpi kata-kata yang diucapkan oleh Brielle masih menghantuinya. Adik tiri dari pihak Runette—ibu tirinya—itu tak sengaja terdengar oleh Laina ketika sedang menyalakan perapian seminggu lalu.

Lantas, sebagai orang yang punya kesehatan tak terlalu baik. Laina hanya bisa berharap kalau apa yang ia dengar pagi itu hanyalah kesalahannya saja. Bahkan meski ia tahu kalau Brielle memang tak menyukainya. Ia masih berharap kalau semuanya kebohongan belaka.

Meski di akhir, ia tak bisa menyangkal kenyataan bahwa kebencian Brielle terhadapnya semakin memanas sejak Aubert—pujaan hati Brielle menyukainya. Padahal, tak pernah ada yang tahu kalau Laina masih berhubungan dengan teman masa kecilnya itu. Mereka hanya sesekali bicara dan itupun saat Laina sedang berada di kebun paman Aubert untuk bekerja.

Namun, entah bagaimana sampai Brielle tahu kalau Aubert mengatakan sesuatu padanya.

"Jangan menghindar lagi dariku," ucap Aubert saat itu. "Setidaknya, kalau kau bersamaku. Nyonya Runette dan Brielle tak akan menyakitimu. Aku akan melindungimu, Antoinetteku se—"

"Aubert, cukup!" pekikan Laina kini cukup untuk membuatnya terbangun dari mimpinya.

Laina benar-benar benci dengan nama itu. Antoinette, bahkan lebih tragis dari Cinderella. Kini, ia harus memiliki garis yang sama dengan mereka? Ia benar-benar benci itu.

"Dimana aku sekarang?" Laina bergumam sambil melirik ke sekelilingnya. Pandangannya masih buram. Namun, ia bisa menangkap kalau dirinya ada di sebuah kastel kosong. Sofa tempatnya terlelap saat ini mungkin satu-satunya benda selain perapian yang menyala tak jauh darinya.

Klang. Suara benda jatuh kini terdengar, disusul dengan suara langkah kaki yang mengarah ke tempatnya. Dan kini, sesosok laki-laki yang tak asing baginya hadir di sana. Tepat, itu Aubert Carpenter, laki-laki yang tak ingin Laina lihat saat ini. Laki-laki itu memandang khawatir ke arah tubuhnya—yang kini sudah terbebat perban. Sontak, gadis itu bangun dari tempatnya terduduk dan memejamkan mata tadi, memandang Aubert dengan pedih.

"Terima kasih sudah merawat lukaku," gumam Laina sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke arah pintu yang ia yakin pintu keluar. "Aku benar-benar harus pergi, Aubert."

Laki-laki itu dengan cepat berlari ke arah Lain, lantas menahan pergelangan tangannya. "Kau benar-benar mau berakhir di tangan mereka?" tanya Aubert membuat Laina mengeraskan tangannya.

Siapa pula yang ingin berakhir? Masih banyak hal-hal yang ingin kulakukan, Laina membatin—lantas mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia selemah ini? Kenapa semua berakhir seperti ini? Kenapa ibu dan ayahnya harus meninggalkannya sorang diri dan kenapa ... ia punya paras seperti ini?

Bak Antoinette, berbagai pujian yang ia terima sejak dulu dan membuatnya senang itu kini berubah menjadi derita berkepanjangan yang bahkan mengancam kehidupannya. Sungguh, Laina sebelumnya tak pernah percaya dengan kisah klasik yang menceritakan ibu tiri kejam. Apakah benar ada orang seperti itu? Sekejam itu? Rasanya terlalu mustahil.

Namun pagi ini, ia terbangun dengan luka sayat di pelipisnya. Luka yang jelas tak mungkin muncul kalau bukan karena seseorang yang sengaja mengoreskannya. Seseorang yang benar-benar membencinya. Namun, ia terlalu takut untuk menghentikannnya. Sebab, Laina tahu kalau dirinya bisa melakukan hal yang tak pernah orang-orang duga sebelumnya.

Si putih salju yang jatuh dengan suci itu tak sesuci itu. Dendam yang terpenjara dalam hati dan berulang kali Laina singkirkan itu bisa menjadi bom waktu sendiri baginya. Ia tak ingin itu terjadi. Ia masih ingin mempertahankan kebaikan yang selama ini bisa ia tebarkan. Ia tak ingin merusaknya. Sebersih Cinderella, secerdas Antoinette, dan lebih kuat dalam menjalani kehidupan dibandingkan dengan kedua orang itu. Namun di akhir, kenapa ia harus sejahat orang-orang yang membuatnya terluka demi menyelamatkan nyawanya sendiri?

"Aku hanya tak ingin melukai orang lain sama seperti mereka melukaiku, Aubert," ucap Laina yang akhirnya membuka suaranya. Sementara itu Aubert menarik Laina dalam dekapannya.

"Kau tahu, tak ada seorangpun di kota ini yang bisa menghentikan Nyonya Runette karena ia memiliki kaki tangan yang bisa menghancurkan satu keluarga bangsawan dalam sekejap. Namun, kau yang selama ini terluka paling dalam atas kehidupannya di tempat ini," jelas Aubert membuat Laina tergeming.

Benar, itu memang benar adanya. Bahkan pernikahan ayahnya dengan Nyonya Runette terjadi karena ancaman Nyonya Runette pada keluarga besarnya. Keluarga besar yang perlahan saat Laina beranjak dewasa telah hilang—termasuk ayahnya.

"Aku tau kau bisa menghentikannya," bisik Aubert tepat di telinga Laina. "Kau tak perlu membunuhnya, kau hanya harus membuat mereka takut, Laina."

Deg

Jantung Laina tak bisa berhenti berdegup saat Aubert mengatakan itu.

"Kau bukan Antoinette yang lemah seperti yang dianalogikan orang-orang. Kau jauh lebih cerdas dari orang itu," jelas laki-laki itu. "Kauharus mengakhiri mereka kalau kau tak ingin diakhiri oleh mereka."

Dan ... semuanya terjadi begitu cepat. Berbekal dengan pengetahuan dan rahasia yang terbongkar lewat Aubert dan orang-orang kenalannya. Suatu pagi, Runette Alexa dan putrinya ditemukan tak bernyawa—menggantungkan dirinya di kastel milik Ayah Laina. Desas-desus mengatakan bahwa pada akhirnya mereka merasa bersalah atas hilangnya Laina di tengah badai salju—hari ketika mereka mengejar Laina dan hendak membunuhnya.

Namun pada kenyataannya, Laina yang kini berada di kastel rahasia milik keluarga Aubert memandang ke arah tumpukan salju lewat jendela kamarnya. Untuk sementara waktu, ia akan berada di tempat ini. Itu yang Aubert sarankan. Setidaknya, sampai darah yang bersimbah di atas salju itu mencair.

Sebab nyatanya, beberapa malam ketika Laina memutuskan langkah yang amat besar itu, mereka menemukan Laina di tempat ini. Lantas mengancam Laina atas dasar pembunuhan berencana Laina pada Runette dan Brielle.

Namun, seperti harapan mereka, seperti tuduhan mereka, semua itu menjadi nyata. Laina yang didekap dengan ketakutan tak berujung itu ... menghabisi mereka.

Kisah klasik lama yang terlalu bersih itu ... usai. Tragedi yang pedih selalu diperlihatkan di hadapannya usai. Tenggelam dan larut berasa dosa yang membekas dalam ingatan dan genggamannya. Tak berujung dan ... tak akan pernah usai.

Namun, dengan demikian, kehidupannya akan terus berjalan. Seperti butiran salju putih yang kini kembali berjatuhan dari atas langit.

***

GenFest 2023: Classic x ThrillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang