Di tengah langit malam yang redup, cahaya remang-remang dari lentera-lentera kafe mulai menerangi seisi ruangan. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar dentingan cangkir dan deru mesin kopi yang perlahan memudar. Namun, di tengah suasana yang tenang itu, seorang lelaki bernama Mark telah berdiri agak cukup lama diluar kafe menunggu seseorang yang masih berada didalam cafe.
Tak lama berselang, seorang wanita dengan langkah lembut keluar melalui pintu kafe. Sorot matanya yang tajam membelah kegelapan malam, mencari sosok yang telah menanti di luar. Tatapannya bertemu dengan Mark, dan dalam kedamaian malam, senyuman ringan terukir di wajah keduanya.
"Mengapa kamu menunggu di luar begitu lama?" tanya wanita itu dengan lembut, suaranya mengalun seperti melodi malam.
Mark menjawab dengan tulus, "Aku ingin mengantarkanmu pulang. Maksudku, menemanimu. Kamu tau sendiri daerah sini sangat berbahaya jika seorang wanita berjalan sendirian,"
Wanita itu tidak lain adalah Nicha menunjukkan wajah tersenyum lebih lebar, seolah cahaya bulan purnama ikut menyinari senyumnya. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di bawah langit malam yang mempesona. Di setiap langkah, mereka saling bertukar cerita, mengisi hening malam dengan tawa dan kehangatan.
"Alasan kamu pindah rumah sangat jauh kenapa?" Tanya Mark.
"Orang tuaku telah bercerai dan aku sekarang tinggal dirumah nenek ku. Jadi ya begitulah, aku tidak bisa memilih untuk tinggal bersama ayah ataupun ibuku," jawab Nicha dengan sedih.
"Maafkan aku, aku turut prihatin kepada dirimu," ucap Mark merasa sedikit bersalah dengan pertanyaannya.
"Ah, tidak apa-apa. Maafkan aku juga, karena menghilang begitu saja tanpa kabar. Karena aku merasa..."
"Seharusnya kamu tidak boleh begitu. Aku dan yang lain adalah temanmu. Kamu boleh bersandar kepada kami jika ada masalah, jangan pernah kamu memendamnya sendiri," penjelasan Mark yang membuat Nicha tersentuh.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, hujan pun mulai turun perlahan. Tapi hujan malam itu tak menyurutkan langkah mereka. Mereka terus berjalan, menikmati setiap tetes hujan yang menari di atas kepala.
Akhirnya sampailah mereka didepan rumah Yuna. Nicha berencana malam ini untuk menginap dirumah Yuna, dikarenakan jarak antar kafe ke rumahnya memakan waktu cukup lama.
"Aku pulang dulu, karena tugasku sudah selesai untuk mengantarkan mu pulang dengan selamat," ucap Mark berdiri menghadapi Nicha.
"Kamu tidak mampir dulu?" Tanya Nicha.
"Terimakasih, tapi ini sudah larut malam. Sebaiknya aku lekas kembali juga. Selamat malam," jawab Mark, lalu melambaikan tangannya seraya melangkahkan kakinya menjahui Nicha.
Nicha mengangguk dengan pengertian dan membalas lambaian tersebut, menyadari bahwa Mark pasti ingin beristirahat setelah malam yang panjang. Dia melihat Mark pergi dengan langkah mantap, meninggalkan jejak kehangatan di hati Nicha.
Setelah Mark pergi, Nicha berjalan masuk ke dalam rumah temannya itu. Yuna menyambut kedatangan Nicha dengan hangat, membuka pintu rumahnya yang terbuat dari kayu berwarna klasik. Lampu di dalam rumah menyala lembut, menciptakan suasana yang nyaman. Ruangan itu dipenuhi dengan rasa hangat dan kesahajaan, seperti pelukan dari seorang sahabat. Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan berbagai obrolan dan tertawa hingga larut malam.
"Terima kasih sudah memperbolehkan aku menginap di sini," ucap Nicha sambil tersenyum.
"Senang sekali sekarang kamu bisa menginap ditempat ku seperti dulu lagi. Kamu selalu welcome di sini," jawab Yuna dengan penuh ramah.
"Ngomong-ngomong, jadi gimana sama Mark tadi? Aku penasaran deh," ucap Yuna mencoba mengorek-ngorek informasi dari Nicha.
Wajah Nicha berubah menjadi kemerahan, akibat merasa malu, "Apaan sih, dia cuma mengantarkan aku kesini sambil bercerita tentang masa kita sekolah aja. Gak ada lebih dari itu kok," jawabannya cepat.
"Berterimakasih kepadaku, karena aku sudah memberikan waktu luang untuk kalian berdua," ucap Yuna sambil tersenyum nakal.
"Kamu berharap apa, Yun? Kami berdua kan cuma teman gak lebih dari itu. Dia cuma menolong ku sebagai sahabat aja," ucap Nicha yang membuat terheran-heran Yuna.
"Teman? Cuma menolong doang? Nicha, kamu goblok atau pura-pura goblok sih?" Yuna menatap sahabatnya dengan nada meyakinkan.
Tak terasa, matanya mulai terasa berat dan tanda-tanda kantuk pun muncul. "Ah, sudahlah. Tidak usah mengatakan hal yang tidak-tidak. Mungkin saatnya aku istirahat," ucap Nicha dengan senyuman lembut.
"Dasar, wanita tidak peka," Yuna tersenyum sambil menyodorkan baju tidur dan mengantar Nicha ke kamar tamu yang telah disiapkan. "Selamat tidur, semoga kamu punya mimpi indah. Siapa tau ketemu Mark," ucap Yuna dengan lembut seraya menjahili temannya.
Nicha berterima kasih dan segera meraih selimut. Dia merenung sejenak, teringat pada Mark dan bagaimana ia telah dengan tulus mengantarkannya pulang. Perasaannya terhadap Mark semakin dalam, namun ia merasa perlu memberi waktu untuk hal-hal berkembang dengan alami dan ia tahu waktunya belum tepat untuk mengungkapkannya.
Dia merenung tentang obrolan mereka tadi, dan senyum Mark yang terus terngiang di benaknya. Dalam hati kecil, Nicha berharap ada lebih dari sekedar persahabatan di antara mereka. Namun, ia masih berpikir untuk mempertahankan hubungan hanya sebatas persahabatan saja. Karena tidak ingin merusak persahabatan mereka dengan masalah percintaan.
.
.
.Ditempat lain, John yang masih asik dengan stik game ditangannya dan matanya berfokus ke layar TV, Mark yang sejak kepulangannya langsung merebahkan tubuhnya itu masih sibuk memandangi foto bersama yang diambil di Kafe.
"Apakah kamu senang hari ini?" Tanya John sambil terus bermain game.
Mark menjawab, "Aku sepertinya sudah kelewatan memiliki perasaan dengan Nicha, hal itu bisa saja akan merusak persahabatan kita yang sudah bertahan lama," ucap Mark.
John mencoba menenangkan Mark, "Jangan dipedulikan. Lihat saja contohnya Jane, dia memiliki 2 mantan di persahabatan kita. Bahkan dia yang baru saja putus dari Jay, langsung berpacaran dengan Ethan. Namun, semuanya biasa saja. Begitu juga Ethan, yang juga baru saja putus dengan.."
Namun, kata-katanya terpotong ketika Mark melempar bantal padanya.
"Tidak boleh membicarakan keburukan orang, ingat John. Hilangkan kebiasaan burukmu itu," tegur Mark.
Setelah itu, Mark memutuskan untuk menjadikan foto bersama yang di kafe tadi sebagai wallpaper handphone milik nya.
.
.Seorang lelaki berpakaian olahraga kembali ke tempat kafe dan mengambil tempat duduk di sudut, ia membuka laptopnya. Niatnya adalah mencari tahu keberadaan sebuah bongkahan emas yang diyakini sangat berharga. Ia membuka situs ilegal untuk mencari tau tentang keberadaan sesuatu hal yang ia cari. Setelah menjelajahi situs-situs, ia menemukan gambar bongkahan emas itu, dengan informasi bahwa emas tersebut berada di daerah Garcia, tepatnya di jantung Blackwood.
Kemudian ia merogoh kantung celananya terdapat sebuah tiket liburan musim panas akhir pekan ke pulau pribadi bernama pulau Sychelles.
Ia memandangi tiket tersebut ditambah dengan layar laptopnya yang menunjukkan bongkahan emas yang dicari-cari dengan harga yang fantastis. lelaki tersebut terdorong untuk mencari cara mendapatkan emas tersebut dan meraih keuntungan besar. Ia berinisiatif menghubungi seseorang melalui handphone-nya, menawarkan bisnis yang potensial, namun dengan keharusan menjaga kerahasiaan bisnis tersebut.
~~~°°~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes of Desolation
Roman pour AdolescentsSekelompok delapan teman berkumpul di penginapan terpencil di kota Garcia tepatnya di jantung Hutan Blackwood. Dipersatukan oleh tiket liburan misterius dari acara stasiun TV, mereka berencana menghabiskan liburan musim panas akhir pekan dan juga me...