Hai, apa kabar?
Kalian sehat, kalo ya. Alhamdulillah.
Kalo sakit semoga cepat sembuh.Gimana hari ini, fine ajakan? Ga ada yang galau-galau? kalo ada, hentikan saja kegalauan mu nona. Kamu terlalu cantik untuk galau dan menangis buat seseorang yang hanya sebutir biji semangka.
Apalagi hubungannya masih hts, udah yah cantik ga usah galau-galau lagi dari pada kamu galau ga jelas mending kamu mengupgrade diri kamu dan buat dia menyesal karena telah membuat setetes air mata mu yang bahkan lebih berharga dari pada bau kentutnya.
udah capek, kalian langsung baca aja. Terlalu banyak basa basi juga tidak baik untuk kesehatan.
Seorang gadis bernama Enzi terbaring tengkurap di atas tempat tidurnya. Tangannya menopang pipinya yang terlihat murung, matanya menatap kesal pada layar ponselnya. Sudah lebih dari empat jam sejak ia mengirim pesan kepada kekasihnya, Bumi, namun pesan itu masih belum mendapat balasan. Hanya centang abu-abu yang terus menatapnya dingin, meski ia bisa melihat bahwa kekasihnya sedang online.
Enzi, nama gadis itu, menghela napas panjang. "Sakit?" pikirnya. "Tidak juga, aku sudah terbiasa." Ini bukan hal baru baginya. Sudah satu tahun tiga bulan mereka berpacaran, namun sifat kekasihnya, Bumi, tak pernah berubah. Dingin, pendiam, dan seolah tak pernah punya waktu untuk dirinya, meskipun mereka sedang berpacaran.
“Hari ini kok seperti ini lagi?” batin Enzi. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap Bumi yang acuh tak acuh. Satu tahun tiga bulan menjalin hubungan, namun Bumi tak pernah berubah. Selalu dingin, selalu sibuk, dan seperti tidak pernah punya waktu untuk Enzi, meskipun mereka sedang berpacaran.
Enzi menghela napas panjang. "Ya ampun, Bumi. Ini malam minggu kok malah sibuk sendiri? Padahal aku cuma mau sedikit perhatian," gumamnya lirih. Ia mengirim pesan lagi, kali ini dengan harapan lebih besar, namun hasilnya sama—centang abu-abu yang tak bergeming. Hatinya semakin kesal.
“Baiklah, Tuan Bumi. Kalau ini permainanmu, aku juga bisa bermain,” pikir Enzi. Ia pun menyusun rencana di kepalanya. “Besok, aku akan diam. Aku tak akan menghubungimu sama sekali. Biar kamu merasakan rasanya diabaikan.”
Tapi daripada terus larut dalam kegalauan, Enzi memutuskan untuk mencari hiburan lain. Ia tersenyum nakal saat berpikir untuk mengerjai abangnya, Ragil.
“Nyolong kolor Ragil? Hmm, bisa jadi ide bagus! Sekalian aku jual. Siapa tahu ada yang mau beli," Enzi tertawa kecil membayangkan kekonyolan itu.
Tanpa pikir panjang, ia beranjak menuju kamar Ragil yang masih tertutup rapat. Ragil pasti masih di sekolah, sibuk dengan latihan Paskibra untuk persiapan upacara Hari Guru. Kesempatan ini tidak akan dilewatkan Enzi.
Enzi membuka lemari kecil Ragil dan mulai mengobrak-abrik isinya. “Kolor legendaris Ragil biasanya di sini… Ah, ketemu juga!” serunya riang saat menemukan sebuah celana dalam warna pink dengan gambar Barbie.
"Ckck..."gadis itu menggeleng kepala heran
"Ganteng- ganteng ko pake sempak barbie, harusnya sekalian aja pake yang gambar Upin Ipin biar kece"Canda Enzi pada dirinya sendiri sambil tertawa.
Tanpa ragu, ia mengambil handphone dari saku celana tidurnya dan mulai mengambil foto celana dalam tersebut dari berbagai sudut. Setelah itu, ia mengedit fotonya dan mempostingnya di akun Instagram pribadinya, dengan caption yang mengundang gelak tawa, “Kolor seleb ganteng, siapa cepat dia dapat!”
....
Ceklek...
Terlalu asyik dengan postingan isengnya, Enzi tidak menyadari bahwa pemilik kolor tersebut—Ragil—sudah berdiri di belakangnya dengan wajah marah.
"Kamu apain lagi kolor abang, Zi?! Kemarin kamu jadikan masker, sekarang mau diapain lagi?" Ragil segera merebut celana dalam itu dari tangan Enzi.
"Jual, siapa tau laku. Kan buat cari duit tambahan," jawab Enzi santai sambil mencoba merebut kembali celana dalam tersebut. Namun, karena tubuhnya yang mungil, Enzi kesulitan meraihnya. Ragil dengan mudah menyimpan celana dalam itu di atas lemari, jauh dari jangkauan adiknya.
Enzi merengek, "Abang, balikin kolor itu!"
Udah, keluar dari kamar abang sekarang juga!" bentak Ragil, menyimpan celana dalam itu di tempat yang lebih tinggi, di atas lemari.
Tentu saja Enzi tidak menyerah begitu saja. Dengan gesit, ia menarik kursi, naik ke atasnya, dan berhasil merebut kembali 'barang berharga' itu. Ia segera berlari keluar kamar dengan tawa lepas, meninggalkan Ragil yang masih bingung dengan kecepatan geraknya.
"Enzi! Balikin kolor abang!" Ragil berteriak, mengejar adiknya yang sudah melesat ke arah tangga.
"Wlee... Gak kena!" Enzi mengejek, sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan pinggulnya.
“Enzi, jangan lari-lari! Nanti jatuh!” teriak Bunda dari arah dapur. Namun terlambat. Enzi terjatuh di anak tangga terakhir. Tubuhnya terguling, dan kepalanya terbentur keras hingga mengeluarkan darah.
Bunda berlari dengan panik ke arah putrinya, menahan tangis sambil memegangi kepala Enzi yang berdarah. "Sayang, jangan tutup mata, ya! Tetap sadar, tolong jangan sampai kamu mati!" Suara Bunda bergetar dengan kecemasan yang mendalam, sementara Ragil terlihat cemas dan ketakutan.
Di tengah rasa sakit dan penglihatannya yang mulai kabur, Enzi tersenyum tipis. "Lho… nggak jadi dapat uang dari jual kolor abang," bisiknya sebelum akhirnya pingsan.
And pingsan deh
Enzi jatuh pingsan yang membuat Bunda dan Ragil bertambah panik sekaligus khawatir.
Lanjut part 2 💃
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibawah Gerimis Rindu
Teen FictionDi sebuah ayunan terdapat seorang gadis terbaring indah disana dengan sebuah novel tangan nya, gadis itu adalah Enzi. Enzi memejamkan mata sambil membekap novel dalam pelukan nya, ia masih membayangkan setiap bab adegan romantis dalam novel. Tanpa i...