Episode 3 🍒

5 0 0
                                    


H A P P Y R E A D I N G
.....

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Hari ini adalah hari yang sangat dinanti oleh Enzi, di mana ia akhirnya bisa mengikuti kegiatan yang biasanya ia jalani. Setelah melewati berbagai rintangan, Enzi berhasil menjalani terapi dengan rutin, berkat dukungan penuh dari keluarganya yang selalu berada di sisinya.

Setelah menjalani terapi, Enzi merasakan campuran perasaan yang rumit. Di satu sisi, ada harapan yang menggelora di dalam hatinya. Dia membayangkan masa depan di mana ia bisa bergerak dengan bebas, tanpa rasa sakit atau ketidaknyamanan yang selama ini menghalanginya. Setiap sesi terapi memberikan sedikit cahaya di ujung terowongan gelap yang selama ini dia lewati.

Namun, di sisi lain, ada juga rasa cemas yang menggerogoti pikirannya. Apakah semua usaha dan kerja keras ini akan membuahkan hasil? Ketakutan akan kegagalan menghantuinya, membuatnya bertanya-tanya apakah dia cukup kuat untuk menjalani semua ini. Dia khawatir jika harapan-harapannya terlalu tinggi, sehingga jika tidak tercapai, rasa sakitnya akan semakin dalam.

Di sebuah kamar yang hangat dan nyaman, seorang gadis cantik tampak terlelap di atas kasur. Air mancur kecil yang  mengalir lembut di pipinya, menambah pemandangan yang menjijikkan siapapun melihatnya. Suara alarm dari handphone menggema, namun gadis itu tidak terbangun. Ia malah melanjutkan mimpinya yang indah, seolah dunia di sekitarnya tak ada artinya.

Tatapan wajahnya yang tenang dan damai mencerminkan harapan dan perjuangannya. Setiap detik yang berlalu adalah pelajaran berharga, dan setiap mimpi yang dia impikan adalah cermin dari semangatnya untuk bangkit. Dalam mimpinya, ia berlari bebas, tidak terhalang oleh apapun, seolah segala keterbatasan sirna.

Kamar gadis itu tak terlalu besar dan tak terlalu kecil dan hanya kamar sederhana dengan dinding berwarna putih dan dihiasi lampu Tumbler berwarna ungu sepanjang dua meter.

Tak lupa beberapa foto yang di jepit menggunakan jepitan polaroid, sepanjang lampu Tumbler. Terdapat pula jarum jam besar menggunakan huruf romawi terpajang di sana.


brak!!

Suara dobrakan pintu langsung membuat Enzi terbangun, linglung. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi.

"Ya Allah, anak ini sudah jam 6 masih tidur! Bangun, tidak? Kalau tidak, Bunda siram pakai air!" ancam Bunda, mendekati putri bungsunya dengan gayung berbentuk hati berisikan air.

"Ya elah, Bunda, ini baru jam berapa? Aku masih ngantuk," keluh Enzi, berusaha melanjutkan tidur. Namun, Bunda cepat menarik tubuhnya.

"Cewek itu harus cepat bangun! Kalau tidak, rezekinya dipatok ayam!" ujar Bunda, menatap tajam Enzi yang mendengus kesal. Di pagi hari seperti ini, ia sudah kena semprot Bunda.

"Siapa sih yang menciptakan hari Senin?" gerutu Enzi.

Setelah Bunda pergi, Enzi baru beranjak dari kasurnya dan mengambil handuk bermotif bunga.

🔥❄️

Setelah mandi, Enzi keluar dengan handuk tergantung di leher. Ia berjalan ke rooftop, tempat beberapa pakaian dijemur.

Setelah menjemur handuknya, Enzi menutup pintu rooftop dan berjalan ke cermin, di mana beberapa skincare tersusun rapi di atas meja. Ia mengoleskan sunscreen ke wajahnya dengan tiga ruas jari, lalu mengambil lip balm dan mengoleskannya ke bibir pink-nya. Merasa sudah siap, ia mengambil tas berwarna hitam dan handphone yang sudah diisi daya di atas nakas.

Hari ini, Enzi mengenakan baju putih kebanggaannya, baju yang sudah dijahit kembali, dan rok span yang robeknya sudah melewati batas normal.

Enzi menuruni anak tangga dengan sedikit berlari, sambil melihat arloji di tangan kanannya. Jam menunjukkan pukul 7.30. Ia seharusnya masuk pukul 07.10, tapi karena hari Senin, jadwal masuk dipercepat.

"Bunda, Enzi pergi dulu ya, Assalamualaikum!" seru Enzi sambil mencium tangan orang tuanya dan mengambil sepotong roti yang sudah disiapkan Bunda.

"Waalaikumsalam. Gak mau ikut Ayah, dek?" tanya Ayah.

"Gak usah, Ayah. Enzi berangkat sendiri aja, pakai si Rembo!" teriak Enzi dari luar rumah sambil mengeluarkan motor kesayangannya yang ia beri nama Rembo.

❄️🔥

Sesampainya di sekolah, Enzi disambut oleh kerumunan murid yang berdiri di depan gerbang. Sepertinya mereka juga terlambat. Dengan terburu-buru, Enzi memarkirkan motornya dan berlari ke arah gerbang.

"Lambat mulu, Enzi!" ejek seorang gadis berambut pendek bernama Raya Natasya, sahabat Enzi.

"Kaya lo ga aja!" balas Enzi sinis.

Upacara sudah berlangsung selama 35 menit dan akhirnya selesai. Para murid mulai meninggalkan lapangan, sementara pintu gerbang dibuka oleh seorang pria yang membawa sebatang kayu.

"Kalian harus memungut sampah di sekitar kalian sampai bersih. Kalau saya lihat ada yang tertinggal, meski hanya satu, kalian akan berdiri di lapangan sampai istirahat kedua," kata Bumi dengan tatapan dingin yang membuat semua orang terdiam.

Murid-murid yang terlambat segera mengikuti perintah Bumi, kecuali Enzi, yang hanya diam menatap mereka.

Enzi memang dikenal malas, terutama saat harus berurusan dengan sampah. Sebenarnya, ia rajin, tapi hanya jika tidak disuruh. Saat Enzi bersiap meninggalkan lapangan, ia terhenti oleh lirikan tajam seseorang.

Ternyata, orang itu sudah berdiri tepat di depannya, menatapnya lekat.

"Selangkah kamu meninggalkan lapangan, kayu ini akan melayang ke pantatmu," ancam Bumi dengan tatapan tajam.

"Jancok, serius? Kalau mau ngasih hukuman, kasih hukuman yang elit. Misalnya, hukuman nyium kamu," balas Enzi sambil tersenyum lebar, tampak tak tertarik dengan ancaman Bumi.

Tawa riuh pun menggema di antara murid-murid yang ada di sana mendengar ucapan konyol Enzi.

Bumi menilai penampilan Enzi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapannya terhenti di betis mulus Enzi yang terpampang jelas. Itu membuat Bumi meradang, Enzi berani sekali memamerkan hak patennya di depan mata empat laki-laki disini.

"Besok, kalau aku masih lihat rok itu, rok itu akan aku bakar," bisik Bumi penuh penekanan di telinga Enzi, membuat Enzi meneguk ludah.

"Udah kan ceramahnya? Minggir, aku mau ke kelas," kata Enzi, mencoba untuk pergi.

Bumi menahan tubuh Enzi dan menariknya ke toilet. "Karena kalian tidak menjalankan perintah, kalian harus membersihkan toilet ini sampai bersih," tegas Bumi, menatap kedua gadis di depannya dengan serius.

"Kok kita disuruh membersihkan toilet sih? Padahal yang lain cuma mungut sampah. Ini ga adil!" keluh Raya, namun hanya diabaikan.

"Gak usah banyak komentar! Cepat bersihkan toilet ini. Kalau sampai saya datang lagi dan toilet-nya masih kotor, kalian dapat hukuman lebih berat," ancam Bumi sebelum pergi, meninggalkan mereka yang menggerutu kesal.

Dengan perasaan tidak ikhlas, Enzi dan Raya mulai membersihkan toilet walaupun sambil menahan napas akibat bau menyengat yang menusuk hidung.

"Ahh... apa ini, cok?" teriak Raya, menenteng kantong hitam dengan jijik.

"Ini pembalut siapa? Jorok banget! beraninya dia buang di sini, padahal tempat sampah banyak!" Enzi melempar kantong hitam itu ke tempat sampah.

"Yang buang ini ga malu apa? Bisa-bisanya dia buang pembalut di sini, mana belum bersih lagi!" keluh Enzi, merasa muak.

"Udah, kita pergi aja. Bodo amat kalau si Bumi marah," Raya melempar sikat hingga nyasar ke kloset.

Enzi dan Raya meninggalkan toilet dengan perasaan jijik dan dongkol.

---

Dibawah Gerimis RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang