Katakan saja tidak bawah kau tengah mengaguminya
Tak apa, bola-bola matamu sudah bicara banyak tentangnya***
Sore itu, dengan langkah tergesa-gesa, aku menaiki tangga rumah sakit As-Syifa. Salah satu suster bilang, saat ini adalah kesempatan terakhirku untuk mendapatkan tanda tangan medical check up. Karena kekacauan tadi pagi, aku jadi kehilangan kesempatan mendapatkan tanda tangan.Aku pingsan akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Lenganku luka, akibat cengkraman adik kecil yang cukup aneh itu. Tapi syukurah, aku tidak kenapa-napa. Dan adik kecil itu, sepertinya dia sudah tenang di bawah asuhan para tenaga medis di rumah sakit ini. Walaupun sebenarnya, aku masih penasaran, siapa dan dari mana gadis kecil itu berasal.
Namaku Aina, Aina Firdausiya Nuzula. Aku mahasiswi profesi di bidang pendidikan di Yogyakarta. Umurku tak seberapa, namun Alhamdulillah, tahun ini aku mendapatkan kesempatan untuk meraih gelar guru bersertifikasi yang diidam-idamkan banyak orang, bahkan oleh guru-guru senior di sekolahku.
Namun, tak semua orang bisa seberuntung aku. Guru-guru senior di sekolahku yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada dunia pendidikan pun tak serta merta bisa lulus untuk mendapatkan gelar ini. Padahal banyak dari mereka yang sudah berumur. Bahkan usia mereka sangat jauh di atasku. Tapi, kembali lagi, rezeki tidak pernah memandang tua atau muda, junior ataupun senior.
Kurasa aku bisa seberuntung ini karena tirakat orang tua dan keluarga besarku yang selama ini mendoakanku.
Aku sangat bersyukur bisa menjadi salah satu peserta guru profesional se-Indonesia, di saat usiaku masih kurasa cukup belia. Dua puluh empat tahun adalah usia yang cukup muda menurutku untuk sekedar mendapatkan gelar itu. Mengingat persaingan begitu ketat, juga uji kompetisi yang begitu menguras otak.
Aku menjadi mahasiswi termuda se-Indonesia yang terpilih saat ini. Rata-rata usia teman-temanku jauh di atas usiaku. Minimal jarak usia meraka denganku adalah empat tahun. Dan usia maksimal bisa belasan tahun.Ah, negara ini. Apa iya, guru-guru senior yang usianya sudah hampir mencapai usia orang tuaku, masih baru mendapat gelar profesi beserta tunjangannya. Sangat berbeda dengan beberapa negara di luaran sana, di mana para guru senantiasa ada di tingkat prioritas pertama. Sebab, kemampuan intelektual serta kesejahteraan guru bisa sangat berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak bangsa. Bagaimana mungkin negara ini meminta anak bangsanya cerdas padahal sang guru masih ada dalam keadaan tertindas.
Mereka mengajar full seharian dengan gaji yang pas-pasan. Di negara ini, guru benar-benar tanpa tanda jasa. Jika para guru meminta haknya, mereka akan dianggap tidak ikhlas mengabdi pada negara. Padahal mereka adalah manusia biasa. Mereka butuh seteguk air untuk minum, juga sebutir nasi untuk makan.
Mereka adalah para ayah yang harus menafkahi anak istri mereka. Mereka juga para ibu yang sebagaian dari mereka telah kehilangan suami mereka dan harus berjuang sendirian menjadi orang tua tuggal dalam merawat anak-anaknya.
Tapi, mereka luput dari perhatian pemerintah. Honor puluhan ribu bahkan belasan ribu masih saja menjadi cerita pahit pejuang kecerdasan bangsa.
Aku sangat bersyukur, di usiaku yang masih tergolong muda, aku bisa meraih kesempatan ini. Dua tahun pasca lulus kuliah strata satu, aku sudah diberikan kesempatan untuk berkiprah secara profesional di bidang pendidikan. Rasanya seperti mimpi. Dan memang, perjuangan tidak pernah menghianati hasil. Semua sudah Allah gariskan sesuai dengan perjuanganku selama ini.
Bismillahi masyaAllah, maa kaana min ni'matin faminallah, maha besar Allah yang segala rizki dan kenikmatan berasal dari kehendaknya."Masuk!" Sebuah suara dari dalam ruangan memecah keheningan.
Seorang suster menarik lenganku. Dia memintaku untuk ikut masuk ke dalam sebuah ruangan seorang dokter. Dengan wajah tertunduk, kuikuti suster itu dari belakang."Assalamualaikumu, Gus Dokter."
"Waalaikumussalam warahmatullah. Ada yang bisa saya bantu, Suster Nining?" jawab seorang pria yang sedang duduk di kursi membelakangi kami.
"Anu, Gus. Mohon maaf. Ini data peserta medical check up terakhir hari ini."
Pria itu memutar kursi. Bola mata hazelnya menangkap mataku. Aku menunduk sengaja menyembunyikan wajahku, karena ternyata aku tahu dokter itu. Aku sempat bertemu dokter itu pagi tadi. Dia membantuku menjinakkan adik kecil yang disebut-sebut sebagai siluman liar itu. Beruntung, dia tidak menatapku. Dia hanya memandang sekilas, lalu kemudian kembali menundukkan wajah.
"Pasien wanita?"
"Njih, Gus. Ini peserta yang terakhir, Gus. Sekedar formalitas gak papa, Gus. Sing penting berkas Mbak ini bisa ditandatangani."
"Maaf, Suster Nining. Saya sudah bilang kan, Sus, bahwa saya tidak menerima pasien perempuan. Apalagi mereka itu mahasiswi. Sebaiknya serahkan pada Dokter Fandi atau Dokter Rani. Mereka berdua bisa, kan?"
"Tapi, mereka berdua sedang dinas, Gus."
"Kenapa tidak sekalian diselesaikan tadi pagi, Sus?"
"Mbak yang ini terlambat datangnya, Gus. Jadi Dokter Fandi dan Dokter Rani keburu berangkat."
"Hmm, begitu? Ya itu konsekuensi dia berarti. Harusnya, dia tidak datang terlambat kalau ingin lulus."
"Tapi, Gus. Kasihan dia. Dia calon mahasiswi profesi yang sangat membutuhkan data medical check up-nya. Dan hari ini adalah hari terakhir. Kalau dia tidak lulus, berarti usaha dia selama ini sia-sia, Gus."
"Dan itu bukan urusan saya." Pria itu menyandarkan punggungnya dikursi, seraya menutup kelopak matanya. Warna hazel itu tak terlihat lagi.
"Tapi, Gus."
"Maaf," selaku segera.
"Tidak perlu dipaksa, Suster. Saya juga belum pernah melakukan medical check up pada dokter pria. Saya akan nunggu Dokter Rani untuk memeriksa saya."
"Tapi Dokter Rani baru bisa pulang besok lusa, Mbak. Itu artinya sudah tidak ada lagi kesempatan buat Mbaknya."
"Gus Dokter, ayolah, Gus, bantu Mbak ini! Kasian dia. Anak saya dulu juga ngalamin kejadian kaya gini. Gara-gara medical check up-nya gagal. Anak saya juga gagal ngejar cita-citanya, Gus. Gus Dokter gak mau kan jadi penghalang kesuksesan orang lain?"
"Tapi ini sudah menjadi komitmen saya, Suster Nining Setyowati. Dan semua orang sudah tahu, bukan? Saya hanya menerima pasien pria, pasien wanita tua dan lansia, bukan yang masih...."
"Addhoruurotu thubiihul mahdzurot. Saya pernah belajar dari ustadz yang biasa ngisi pengajian di sebelah rumah saya, Gus, kalau keadaan darurat itu bisa membuat sesuatu yang haram jadi halal. Yang dilarang jadi dibolehkan. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disyariatkan. Nah, ini keadaannya darurat kan, Gus?"
"Sudah, Suster, tidak apa-apa. Saya tinggal pindah rumah sakit. Karena rasanya juga kurang apik kalau saya harus diperiksa dokter muda yang tidak ikhlas memeriksa pasien wanita."
Aku menarik napas panjang. Kusiapkan tubuhku untuk balik kanan, lantas bubar jalan. Dokter itu masih menunduk. Ia sama sekali tidak melihatku juga suster Nining.
"Aduuh, Mbak, udah, gak usah pindah ke mana-mana! Tetep di sini aja. Rumah sakit yang lain juga belum tentu dokternya perempuan, Mbak. Dan Mbak ini bisa telat lo kalau masih harus antri lagi. Gus Dokter, Ayolah, Gus. Saya mohon!"
"Tapi, ini akan menjadi pengalaman pertama buat saya, Sus."
"Dan ini juga pengalaman pertama untuk saya, Suster. Jadi rasa-rasanya tidak ada salah satu yang dirugikan. Melainkan keduanya sama-sama rugi." Aku memutar badan menuju pintu. Kesabaranku sudah mulai runtuh.
"Aduuh kalian ini bicara apa sih? Saya ini memang gak terlalu paham agama. Tapi, saya ini sudah tua. Dan sepengalaman saya, seorang dokter itu diberikan keistimewaan mengobati pasiennya meskipun berlawanan jenis. Apa itu namanya kalau di dalam Islam? Rukhshoh ya, Rukhsoh artinya keistimewaan, keringanan, pengecualian, despensasi, kemakluman atau apalah-apalah. Ah, pusing saya kalau kalian punya gengsi tinggi kek gini. Mbak, tetap di sana, jangan ke mana-mana!"
Aku tersentak mendengar larangan suster Nining. Lantas kuhentikan langkah. Dokter muda itu terlihat memutar kursi. Ia menatapku sekilas kemudian kembali membuang muka.
"Baik, silahkan masuk ke ruangan periksa!"BERSAMBUNG..
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMA BIDADARI YANG tak TERUSIR
Teen FictionSINOPSIS Salaamun Qaulam-Mir-Rabbir-rahiim, salam cinta teruntuk para penghuni surga dari Sang Maha Cinta. Jika para Bidadari adalah lambang perhiasan surga, lantas mengapa mereka harus tinggal di liang neraka? Dosa apa yang telah mereka perbuat. Ke...