BOLA MATA HAZEL 2

255 11 5
                                    

***
Nama?"

"Aina Fidausiya Nuzula."

Pria itu menulis namaku, kemudian menandatangani kertas itu di bagian bawah pojok kanan. Aku menunduk rapat, demikian pun dia menunduk-menatap kertas seolah ia tidak sudi melihatku.

Sebenarnya, di dalam hati ada sedikit rasa penasaran yang membuatku terus ingin menatap pria itu. Warna hazel bola matanya, warna itu mengingatkanku akan sesuatu. Tapi aku lupa milik siapa bola mata itu? Adakah sosok di masa laluku yang memiliki bola mata yang serupa. Tapi, siapa?

"Baik, saya tidak perlu basa-basi." Dokter itu membuyarkan lamunanku.

"Saya rasa anda sehat. Jadi saya tidak perlu memeriksa. Saya cukup tanda tangan. Anda bisa tulis sendiri biodata anda di sini dan silahkan keluar!"

"Jika bukan karena ketatnya persyaratan, saya juga tidak sudi ada di sini, Pak Dokter Sombong."

"Baguslah, lalu kenapa masih di sini?"
Innalillah. Dokter itu seolah bisa membaca pikiranku. Dia melempar kalimat yang seolah-olah membalas suara batinku. Pria itu memutar-mutar pena, lalu menyodorkan berkasku begitu saja.

"Maaf, saya kesini karena terpaksa. Saya harus segera melengkapi berkas saya untuk saya ajukan ke kampus untuk penerimaan beasiswa mahasiswa profesi saya."

"Dan itu bukan urusan saya. Ada banyak dokter yang bisa anda temui di rumah sakit ini. Tidak harus saya, bukan?"

"Dan saya juga tidak pernah memilih anda untuk menandatangani berkas saya. Keadaanlah yang memaksa."

"Kenyataannya, masih harus saya jugakan yang melakukannya?"

"Tenang saja, saya janji setelah ini anda tidak akan melihat saya lagi di rumah sakit ini. Terimakasih."

Geram aku dibuatnya. Tanpa bicara panjang lebar, kuambil berkas yang bertengger di mejanya. Aku melaju tanpa salam. Segera kuraih kenop pintu keluar. Namun, belum aku membuka pintu, seseorang ternyata sudah membukanya terlebih dahulu.

"Lo, ketemu di sini. Mbak Aina Firdausiya Nuzula, kan?" Seorang wanita paruh baya berparas cantik menghalangi jalanku, sepertinya dia mengenalku.

"Benar, Bu."

"Kebetulan sekali. Saya sedang mencari-cari Mbak Aina dari tadi."

"Ada apa, njih, Bu?" tanyaku heran.

"Em, enaknya kita duduk dulu mungkin. Wanita cantik itu menarik lenganku agar duduk di sebuah kursi tak jauh dari pria tadi. Pria itu menatap kami keheranan.

"Gus, ngapunten, pamit nggeh numpang duduk sebentar. Khawatir cah ayu niki hilang lagi. Hehe."

Datar, pria itu tidak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya menutupi raut herannya dengan membuka laptop di depannya, seolah tidak peduli dengan kehadiran kami.

"Perkenalkan, saya Dokter Fardini Sabilillah, saya adalah dokter spesialis kanker yang merangkap sebagai WADIR pelayanan di rumah sakit ini. Jadi gini, Mbak Aina, saya melihat ketelatenan Mbak Aina waktu ngebantu ngayomin anak kecil yang sedang ngamuk di koridor rumah sakit tadi. Saya dan teman-teman tenaga medis lain jadi punya inisiasi untuk merekrut Mbak Aina untuk menjadi salah satu sukarelawan di rumah sakit ini. Bagaimana?"

"Sukarelawan? Maksudnya, bagaimana ya, Dok. Maaf saya kurang paham," tanyaku kebingungan.

"Maksudnya adalah kami ingin Mbak Aina menjadi anggota kami di rumah sakit ini sebagai salah satu staff yang akan membantu memberikan motivasi kepada adik-adik penderita kanker dan adik-adik di poli anak. Apa Mbak Aina setuju?"

"Maksudnya, saya bekerja di rumah sakit ini, Dok?"

"Part-time. Mbak Aina masih bisa kuliah profesi sambil lalu main-main ke rumah sakit ini untuk membantu adik-adik di poli anak dan poli spesialis kanker anak, bagaimana?"

"Ta.. tapi.. apa iya saya bisa, Dok?" jawabku ragu.

"Saya yakin bisa. Nanti, kita atur jadwalnya ya, Mbak Aina. Mbak Aina harus sering-sering ke sini selepas kuliah. Masalah fee serahkan pada kami. Hehe. Bukankah begitu, Gus Aufar?" Dokter cantik itu tertawa lepas sembari melirik dokter muda yang dipanggil dengan panggilan Gus itu.

Pria itu masih bertahan dengan wajah datarnya, membuatku semakin jengkel melihatnya.

Ah, aku dilema. Baru saja kukatakan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke rumah sakit ini. Tapi, tawaran wanita ini sangat menggiurkan. Aku bisa membantu para penderita kanker sekaligus memperluas pengalamanku. Apalagi, dia menjanjikanku sebuah fee. Aku yakin fee yang aku dapat nantinya bisa menunjang hidupku di kota Yogyakarta ini, mengingat beasiswa profesi hanya menanggung biaya pendidikan, tapi tidak menanggung biaya hidup.

Ah, apa yang harus aku katakan?
"Bagaimana, Mbak Aina? Bersedia?"

Dengan pertimbangan yang kurasa matang, aku mengangguk mengiyakan. Aku tidak peduli dengan apa yang sudah kuucapkan tadi, bahwa aku tidak akan kembali lagi ke rumah sakit ini. Yang paling penting sekarang adalah aku punya sebuah tugas mulia, yaitu memberi motivasi kehidupan bagi adik-adik penderita kanker. Aku yakin, kegiatan ini akan sangat mulia dan akan sangat menyenangkan nantinya.

Pengalamanku kuliah di Yogyakarta tidak hanya perihal di bangku kuliah, namun juga bisa praktek langsung di lapangan. Meskipun dunia kedokteran bukan sama sekali termasuk profesiku, tapi, semoga semua ini bisa menjadi jalan untukku beramal, membagi waktu antara pendidikan dan pengabdian.

BERSAMBUNG..

LIMA BIDADARI YANG tak TERUSIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang