KAPAS RAKSASA

98 8 4
                                    

Mendung memayungi kota Yogyakarta. Kapas raksasa berwarna hitam terlihat naik mengangkasa, seolah sedang memparodikan keangkuhannya.

Angin kencang berkesiur, dedaunan jatuh berhambur. Rintik hujan mulai terlihat, bulir beningnya menetes menghapus jejak. Seolah tak menyurutkan suasana, taman rumah kaca di belakang rumah sakit As-Syifa tetap ramai dipenuhi gelak tawa para malaikat kecil yang sedang bersungguh-sungguh menyimak sebuah cerita.

Taman itu dibuat khusus untuk para penderita kanker. Lahannya cukup luas, di setiap sisi taman terlihat banyak sekali
tanaman hias.

Aina Firdausiya Nuzula, gadis bermata berlian, berkulit kuning
langsat sedang asyik bercerita. Dua buah pipinya yang ranum
semakin jelas terlihat saat lengkung senyumnya mulai terangkat.

Suaranya yang lembut penuh kasih sayang seolah
menghipnotis siapa pun yang mendengar.

“Nabi Ayyub itu adalah salah satu Nabi yang memiliki tingkat kesabaran yang luuuuar biasa. Ia diuji berkali-kali oleh Allah. Mulai dari ditinggalkan teman-temannya, meninggal anak-anaknya, hilang harta bendanya, hingga penyakit berat yang dideritanya. Nabi Ayyub pernah terkena penyakit yang
saat itu tidak ada obatnya. Tapi, Nabi Ayyub tetap kuat, Nabi Ayyub tetap hebat. Nabi Ayyub tetap beribadah kepada Allah, walaupun setan berkali-kali menggodanya agar tidak lagi beribadah. Meskipun beliau sedang sakit parah, tapi Nabi Ayyub tetap sholat lima waktu, tetap sholat sunnah, tetap berdzikir kepada Allah, tetap membaca kitab suci dan ibadah-ibadah lainnya. Hayoo, siapa di sini yang meskipun sakit tetap sholat?”

“Aku, aku, akuuu,” teriak anak-anak kecil berwajah pucat nan pasi
itu sambil tertawa geli karena sadar akan kebohongan diri mereka.

“Kak Aina, Kinara nakal, Kak. Dia gak pernah sholat. Dia juga gak pernah ngaji,” teriak seorang anak lelaki kecil berkepala botak. Segera, teriakan itu mencuri perhatian yang lain.

“Kinara gak pernah sholat bukan karena nakal, Yosi, tapi karena Kinara itu non muslim. Hahahaha,” Sontak ucapan anak berikutnya mengundang tawa. Semua anak pun ikut tertawa. Tak terkecuali Aina yang juga ikut tersenyum melihat tingkah pola lucu anak-anak penderita kanker itu.
Aina menatap wajah anak-anak itu sendu. Sekelebat ia berpikir
bahwa betapa beruntungnya dia yang kini masih diberikan kesehatan dan kehidupan. Walau mungkin masa lalunya begitu pahit, sulit, dan penuh badai ujian, namun semua itu tak seberapa.

Melihat anak-anak dengan bundaran mata menghitam, rambut yang gundul habis, tubuh kurus kering tinggal tulang, dan napas yang mungkin hanya tersisa sejengkal.

Dia mulai berpikir betapa tersiksanya mereka, betapa menderitanya mereka. Di usia yang seharusnya bahagia. Di usia yang seharusnya penuh canda tawa, mereka justru dihantui rasa takut yang berkepanjangan, tersebab napas yang mungkin tidak akan lagi terselamatkan.

“Usiaku tinggal menghitung hari,” ucap Kinara suatu waktu. Kinara adalah anak penderita kanker stadium akhir. Dokter menvonis usianya tinggal menghitung jari.

“Siapa yang bilang, Sayang?” tanya Aina lembut seraya
membelai pucuk kepalanya.

“Kinara dengar dari Pak Dokter. Waktu itu Kinara pura-pura tidur. Mama sama pak dokter lagi ngobrol. Mama nangis karena tau Kinara gak akan hidup lama lagi.”
Mendengar perkataan Kinara membuat hati Aina seolah teremas tuntas. Tenggorokannya tercekat kuat. Napasnya seolah berhenti sejenak.

“Kinara, Sayang. Gak ada yang tahu hidup seseorang. Yang tahu kematian dan kehidupan seseorang itu hanya Tuhan, Allah pencipta semesta alam.”

“Allah? Siapa itu Allah, Kak? Apa dia bidadari, atau sejenis malaikat?” tanyanya polos.

“Allah itu Tuhan, pencipta kita. Dia yang menciptakan
semuanya; alam semesta, surga-neraka, mama-papa, Kinara,
teman-teman semua, juga Kak Aina.”

“Berarti dia hebat dong?”

“Hu’um. Allah itu hebat, hebat sekali. Dia Maha hebat dari yang paling hebat.”

“Kalo gitu boleh gak Kinara ketemu Allah? Kinara pengen
minta supaya Allah gak ngambil nyawa Kinara dulu. Kinara
masih ingin hidup. Kinara masih pengen main sama mama, papa, sama temen-teman, juga sama Kak Aina. Boleh gak, Kak?
Allah itu di mana? Di mana aku bisa ketemu Allah?”

Aina menelan saliva. Ditahannya air matanya yang sekali
saja ia berkedip maka ia akan tumpah.

“Kinara ingin bertemu Allah?” Gadis kecil bermata sipit itu mengangguk polos. Wajahnya terlihat pucat pasi. Kedua bundaran matanya menghitam. Gadis itu memakai tudung kepala, agar rambutnya yang botak tidak terlihat. Sebuah selang melintang di hidungnya. Tapi, tak terlihat sama sekali anak itu merasa kesakitan.

“Tapi, kalau Allah mau. Kalau Allah gak mau gak papa deh. Biar Yosi, Joshua, Ali sama Gabriella seneng.”

“Seneng? Maksud Kinara?”

“Mereka kan tiap hari ganggu aku. Katanya aku nyebelin. Papa juga. Aku pernah denger papa bilang ke mama kalau Kinara itu anak yang nyusahin, dari lahir udah ngerepotin. Kalau
aku gak ada, pasti papa sama mama bahagia. Yosi, Gabriella, Ali dan lainnya juga pasti seneng. Aku gak bakal nyusahin banyak orang lagi.”

“Kinara!” Tumpah. Aina sudah tidak mampu lagi
membendung air matanya. Dipeluknya anak itu erat-erat.
Dicium keningnya hangat.

“Sayang, semua orang sayang sama Kinara. Kita semua sayang, termasuk Yosi, Gabriella, Ali, Mama dan Papa. Tahu gak kenapa mereka minta Kinara tinggal di sini? Hal itu karena kita semua ingin Kinara sembuh. Dan kakak yakin, Kinara pasti sembuh.”

“Kaka udah tanya gak sama Allah Kinara bakal sembuh atau enggak?”

“Kaka akan tanya sama Allah. Kaka akan memohon sama Allah, supaya Kinara bisa sembuh.”

Apa Kinara bisa lebih lama hidup, Kak?” Kinara menatap
Aina sendu.

“Kinara harus tetap hidup. Kinara akan terus hidup. Percayalah, Kinara!”

“Kalau kaka ketemu sama Allah bilang ya sama dia, jangan ambil nyawa Kinara dulu. Kinara janji, mulai sekarang Kinara gak bakal nakal lagi. Kinara janji, Kinara gak bakal nyoret-nyoret mobil papa lagi. Kinara bakal dengerin semua nasehat mama. Kinara gak akan berantakin rumah. Kinara juga janji bakal
minjemin semua mainan Kinara buat Yosi dan yang lainnya.”

“Ya Allah, Kinara!”
Aina kembali memeluk gadis kecil itu erat-erat. Air mata Aina terlihat bercucuran. Demikian pun Kinara. Gadis itu sudah bisa merasakan bahwa kesempatan hidupnya di dunia sudah
tidak akan lama lagi.

“Kak!”

“Ya?” Aina merenggangkan pelukan. Sembari mengusap-usap kedua pipinya yang basah.

“Kalau nanti Kinara pergi, kaka mau gak bantu Kinara ngelakuin sesuatu?”

“Sesuatu apa, Sayang?”

Gadis kecil itu berbisik seraya tersenyum, seolah merasa lega karena telah mengutarakan perasaan dan keinginannya. Mereka kembali berpelukan. Senyuman dan air mata
mereka bercampur menjadi satu.

Keduanya tidak sadar bahwa
sejak tadi seseorang sedang mengawasi mereka dari balik kaca
di belakang mereka.

❤️
Bersambung..
{Next kalau komentar dan likenya banyak saya update besok sore} 🙏☺️

LIMA BIDADARI YANG tak TERUSIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang