BOCAH SILUMAN PART 2

187 12 3
                                    

***

“Gus Dokter, suwer, Gus, kali ini saya kagak bercanda. Ini tuh beneran urgent.”

Cakra, seorang dokter muda yang baru saja diangkat menjadi salah satu asisten tenaga medis di rumah sakit As-Syifa itu terlihat gusar. Tubuhnya terlihat maju mundur seperti sebuah setrika berjalan.

“Apa lagi, sih, Cakra?”

“Tolongin ane, Gus. Toloong banget!”

“Minta tolong apa lagi, Cakra? Ini sebenarnya yang posisinya asisten ente apa ane?”

“Ssssht.. Gus Aufar pliiis, ini tuh bener-benar gawat, Gus, gawat!”

“Oke, antum tarik napas dulu, lepaskan! Baca istighfar, lalu bicara yang jelas!” Cakra segera mengikuti saran Aufar, lantas ia segera kembali membuka suara.

“Jadi gini, Gus. Di luar sana, pasien ODGJ sedang lepas, Gus. Semua orang kewalahan. Dia ngamuk-ngamuk, padahal tangan sama kakinya udah dirantai. Bahkan polisi pada dateng ke RS ini buat mengatasi si ODGJ itu, Gus. Kacau-kacau. Kalau ini sampai ketahuan pers bisa hancur reputasi kita, Gus.”

“ODGJ lepas? Kok bisa? Terus kenapa juga sampai ada polisi yang ikut campur mengatasinya? Apa masalahya seserius itu?”

“Sebenernya, ini pasien bukan cuma sekedar ODGJ, Gus. Tapi dia itu siluman, Gus. Silumaaan.”Cakra terlihat geregetan. Ia bicara sambil menggosok-gosok rambut dan kepalanya.

“Siluman? Ya Allah, ini bukan waktunya buat bercanda, Cakra.”

“Ane gak bercanda, Gus Aufar. Ane gak bercanda. Dia itu beneran siluman.”

“Jadi dia itu ODGJ apa siluman?”

“Siluman yang nyamar jadi ODGJ mungkin, Gus. Atau bisa jadi ODGJ yang dirasuki siluman.”

“Terus kenapa kamu justru mengundang saya, Cakra? Bukannya ada petugas khusus untuk ODGJ?”

“Gus, pasien ini berbeda. Dia anak kecil.”

“Anak kecil?”

“Lerres, Gus.”

“Sebentar, jadi sebenarnya dia ini anak kecil yang masuk kategori pasien kejiwaan dan bertingkah seperti siluman?”

“Iyuup betul sekali. Itu maksud saya dari tadi, Gus. Saya sebagai calon asisten wakil ketua direktur poli anak merasa sangat malu karena tidak bisa mengatasi hal ini, Gus. Tolong saya, Gus!” Cakra kembali memohon.

“Kali ini semua dokter kewalahan. Bayangkan, sepuluh pasien di poli anak digigit, Gus. Dua tenaga medis juga digigit sampai membutuhkan perawatan intensif di area wajahnya.”

Aufar terkesiap mendengar celotehan Cakra. Pria itu terdiam, seolah sedang menimbang-nimbang. Jika sudah masuk pada ranah perawatan intensif, jelas hal ini sudah bukan masalah sepele lagi.

“Gus Dokter, kan dokter cinta, dokter jiwa, dokter segalanyalah pokonya. Saya yakin Gus Dokter Aufar bisa mengatasi masalah ini dengan mudah, Gus,” rayunya.

“Gus Aufar sendiri kan yang bilang. Orang yang stress itu harus diobati jiwanya. Nah, makanya kami butuh sekali bantuan dokter cinta yang bisa mengobati segala penyakit jiwa. Ia kan Gus Dokter Aufa Rikza Sahab Alawi?” Cakra menatap Aufar dengan tatapan geli.

“Di mana anak itu sekarang?” tanya Aufar segera.

“Lagi dikepung polisi di koridor rumah sakit, Gus.”

“Dikepung polisi?”

“Iya, Gus. Dia susah benget buat dijinakkan. Sudah ada belasan korbannya. Lain kerugian material rumah sakit karena ulahnya ngamuk-ngamuk gak karuan selama dua harian ini. Makanya, direktur rumah sakit minta agar kepolisian juga ikut turun tangan. Supaya kalau ada apa-apa bukan kita yang disalahakan.”

Aufar terlihat sedikit geram. Tanpa bicara banyak, pria berhidung bangir dengan sedikit janggut tipis itu segera melepas jaket putihnya. Pria itu segera berlari keluar meninggalkan Cakra yang masih belum berhenti bicara.

***
“Maafkan kami, Gus. Kami hanya menjalani sesuai perintah kepala kepolisian untuk mengamankan rumah sakit ini.”

Seorang lelaki paruh baya meminta maaf pada Aufar. Lelaki itu tak lain adalah ketua tim kepolisian yang ditugaskan untuk menangkap gadis kecil siluman yang mengamuk di rumah sakit tadi.

“Tapi tidak dengan mengeroyok anak kecil juga kan, Pak?” Lelaki paruh baya itu menunduk. Seolah membenarkan sanggahan Aufar.

“Anak itu sudah tidur tanpa obat penenang. Sepertinya obat penenang yang diberikan rumah sakit justru memberikan efek buruk pada anak itu. Anak itu bukan pasien sakit jiwa. Dia tidak gila. Dia hanya salah asuh. Apa bapak komandan punya informasi khusus mengenai anak ini?”

“Dari keterangan yang saya dapatkan, anak ini berasal dari hutan, Gus. Dia tiba-tiba keluar dari hutan dan mengganggu warga kampung.”

“Mengganggu?”

“Benar, Gus. Dia mengamuk di setiap perkampungan. Dia mengambil apa yag dia suka, juga melempar dan merusak apa yang tidak dia suka.”

“Saya ragu dengan kata mengamuk, Komandan. Seekor hewan saja tidak akan mengamuk jika tidak diganggu. Kecuali jika ia hewan gila.”

“Bukankah anak itu...?”

“Gila?” sambung Aufar segera. Ketua tim kepolisian itu mengangguk-mengiyakan.

“Tidak, dia tidak gila. Dia normal. Hanya saja habit atau kebiasaan dia memang demikian. Maka yang harus kita lakukan adalah meluruskan perilakunya yang kita anggap menyimpang. Kita juga harus tahu dari mana anak itu berasal. Siapa yang mengasuhnya dan bagaimana habitnya selama di tempatnya yang semula. Dengan begitu, kita jadi tahu treatment apa yang bisa kita pilih untuk anak itu.”

“Baik, Gus. Kami akan menggali lebih dalam kasus ini agar kita semua bisa menangani anak itu dengan baik dan benar.”

“Sama-sama, Komandan. Kami juga sangat berterimakasih, karena pihak kepolisian sudah bersedia membantu kami. Sebab, saat urgent seperti tadi, kita semua memang panik dan bingung harus melakukan apa.”

”Lerres, Gus. Tadi, karena panik hampir saja salah satu anggota kami berbuat gegabah. Andai bukan karena gadis tadi, mungkin kami sudah melakukan hal yang fatal.”

“Gadis?”

“Benar, Gus. Gadis yang dengan sukarela membantu kami. Dia memohon-mohon serta menjaminkan dirinya agar anak tersebut tidak lagi dikepung. Dia juga bilang bahwa dia bisa menjinakkan anak itu. Jika tidak bisa dijinakkan, gadis itu juga bersedia ditagkap bersama bocah kecil itu. Andai gadis itu tidak ada, mungkin anak buah saya sudah melakukan hal-hal yang gegabah, termasuk menembak anak itu, Gus.”

Aufar menyipitkan kedua matanya. Pria itu seperti sedang mengingat-ingat wajah gadis yang membersamainya berjuang menjinakkan anak kecil di koridor rumah sakit tadi.

“Maksud Komandan, gadis yang ikut merangkak dan mengelus-elus anak itu?”

“Benar, Gus. Berkat dia, semua teratasi dengan sempurna.”

Aufar terdiam. Ia lantas merebahkan punggungnya di kursi. Pria itu menarik napas dalam-dalam. Ada suatu hal yang sedang pria itu pikirkan. Sebuah potongan ingatan seketika menyeruak di dalam benaknya.

Entah, pria itu seolah sedang berusaha mengingatnya secara utuh, namun tidak bisa.

BERSAMBUNG..

LIMA BIDADARI YANG tak TERUSIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang