Lily mengemasi barang-barang nya, ia berniat untuk pergi berlibur sendiri. Baginya traveling menjadi pilihan yang tepat ketika pikirannya sedang sangat kalut. Ia menyukai tempat-tempat baru, bercengkrama dengan orang-orang asing dan menikmati kuliner serta suasana baru di luar kota.
"Sudah dicek semua? Jangan lupa menghubungi temanmu kalau kamu sudah sampai sana Ly, dan telfon ibu kapanpun kalau sudah sampai disana."
Ibu Lily tentu khawatir, anak perempuannya bepergian sendirian, ini bukan pertama kalinya memang Lily pergi sendiri ke luar kota sendiri, tapi tetap saja Ibu mana yang tidak khawatir.
"Kereta kamu berangkat jam berapa? Awas nanti tertingg-"
"Aku tau bu, jangan khawatir." Potong Lily, meski terkesan tidak sopan tapi Lily benar-benar sudah siap untuk pergi.
"Jaga diri baik-baik." Ucap Ibunya terhadap Lily sebelum Lily keluar dari rumahnya.
🌹🌹
Lily sudah berada di stasiun, ia duduk sendiri menunggu keretanya tiba. Sesekali ia akan membenarkan letak maskernya yang menutupi paras chubby nan cantik, itu yang dikatakan orang-orang terhadapnya. Lily bahkan tidak pernah merasa dirinya cantik, hanya sesekali ia akan menyadarinya sekedar untuk menghibur diri saja.
Perempuan itu penuh pilu sebenarnya, sejak dahulu hari-harinya terasa berat dan hampa. Sesaat ia akan senang, tapi kesedihannya akan terasa begitu panjang.
Jantungnya berdegup cepat ketika kereta yang akan ia tumpangi tiba, sejujurnya ia bahkan tidak cukup berani untuk pergi sendiri. Beberapa kali ia bahkan bertanya pada petugas untuk memastikan jika kereta yang ia tunggu benar.
Langkahnya bergerak cepat, menyusuri jalan kecil lalu masuk ke dalam kereta. Matanya mengamati nomor yang tertempel di dinding kereta tersebut.
Bingo! Ketemu. Ujarnya dalam hati.
Ia duduk disana, duduk di sebelah gadis yang sedang menikmati pemandangan di luar. Tak lama, kereta kembali melaju.
Lily menghela nafas berat, rasanya menyedihkan sekali ia harus bepergian sendirian seperti ini. Lily memejamkan mata sejenak, tidak terasa air mata jatuh menetes kembali, dadanya terasa sakit kembali. Ia masih berandai-andai, jika saja ia masih bersama pria itu pasti dia tidak akan sendirian seperti ini.
Hati Lily begitu pilu, ia hampir terisak jika tidak ingat disebelah nya ada orang lain. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia lepas, lalu menarik nafas agar tenang, lalu berdoa kepada Tuhan untuk selalu dikuatkan.
Sejenak hal itu bisa menenangkan Lily, ia merapal doa dengan tenang, hingga memasuki alam bawah sadarnya. Gadis itu tidur meski tak lelap sama sekali karena air mata yang keluar di sudut matanya tidak bisa dipaksa untuk berhenti.
Beberapa jam berlalu, jika orang mengira Lily benar-benar terlelap nyatanya tidak sama sekali. Dia bahkan sudah hampir tidak bisa tidur lelap selama dua minggu lamanya.
"Kak, kakak turun dimana?" Tanya gadis yang ada di samping nya tiba-tiba, Lily membuka matanya, mengamankan posisi duduknya untuk lebih tegak.
"Ini sudah stasiun terakhir kah?" Tanya Lily pada gadis itu.
"Belum kak, satu lagi baru stasiun terakhir."
"Ah baiklah, aku turun di stasiun terakhir nanti. Terima kasih yaa-" Lily mengukir senyum, senyuman tulus nan manisnya tidak pernah hilang meski sejujurnya ia begitu rapuh.
"Sama-sama kak".
Lily mengulas senyum, gadis itu terlihat jauh lebih muda darinya. Sepertinya belum memasuki usia dua puluh tahunan. Lily memberanikan diri untuk berinteraksi, setidaknya hatinya tidak akan sehampa sebelumnya jika ia berinteraksi dengan banyak orang.
Beberapa saat mereka berbincang, sekedar menceritakan asal daerah mereka dan tujuan bepergian mereka saja.
Tibalah di stasiun terakhir, Lily keluar dari kereta mengikuti orang-orang yang tidak ia kenal sama sekali. Sejujurnya ia takut, dan ia butuh pria itu sekarang.
Lily menangis lagi, meski tidak terlihat karena terhalang kacamata dan maskernya. Tapi ia jelas kebingungan sekarang, ia duduk di tempat tunggu sampai senja menghilang digantikan dengan angin nan dingin. Untung saja ia memakai jaketnya.
"Maaf kak, tidak boleh menunggu disini. Silakan pergi dari sini dan turun ke bawah saja."
Ada seorang penjaga yang menegur, Lily cepat-cepat meminta maaf dan mengangguk. Mengikuti arahan penjaga stasiun tersebut untuk turun ke bawah. Demi Tuhan, ketika pagar pintu itu ia dorong, jantungnya berdetak cepat. Ia benar-benar tidak punya modal apapun, dengan menguatkan hati ia menelfon seorang teman yang menawarkan tumpangan padanya. Kebetulan, ia seorang teman lama.
Lily mengikuti instruksi dari sang teman, menyuruhnya untuk tidak keluar stasiun karena berbahaya. Jadi, Lily duduk bersama banyak orang asing disana.
Sangat ramai, namun hatinya teriris. Ia menangis kembali, ia rindu, ia membutuhkan sosoknya untuk bisa mendampinginya saat ini.
"Kenapa kamu jahat sekali padaku, sampai aku tidak bisa meminta bantuan apa-apa. " lirih Lily, bahkan sangatlah lirih, rasanya hidupnya begitu hancur. Jika saja ia tak punya iman, dan tak percaya Tuhan ia mungkin akan meninggalkan dunia ini secepatnya.
Luka hati itu tidaklah main-main, ia kehilangan sosok yang dicintai dan mencintainya. Kini, pria yang selalu dia andalkan menjelma menjadi pria jahat yang kapan saja bisa membunuh jiwanya begitu tega.
"Aku mencintaimu- Oh Tuhan aku benar-benar mencintainya-"
Rapal Lily dengan pandangan sendu sembari menikmati live musik jazz yang disajikan di stasiun. Sepanjang perjalanan ia sudah menangis, kali ini pun ia sangat tertekan, sedih dan rindu.
Hikh-
Tubuhnya sedikit bergetar, Lily tentu pernah mengalami patah hati pula sebelumnya. Tapi kali ini rasanya begitu menyiksanya, ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi hari-harinya. Luka yang pria itu torehkan padanya sangatlah dalam, ia terlalu mencintai pria itu secara berlebihan, bahkan jika dipikir secara logika ia jelas yang paling hancur disini. Ditinggal disaat sedang sayang-sayangnya, dikhianati, dan segalanya membuat ia nyaris seperti kehilangan kehidupannya.
Lily, gadis ceria itu tidak berubah murung memang. Tapi, gadis cantik itu, seakan tersiksa secara batinnya.
Lily menekan dadanya kuat-kuat, memejamkan mata sejenak, rasanya sampai ngilu sekali. Beberapa orang memperhatikannya, tapi tidak ia pedulikan. Lily menekankan kepada dirinya, sakit hati benar-benar tidak main-main rasa sakitnya, tidak main-main.
🥀🥀
Perjalanan penuh dengan tangisan namun sangat bermakna untuk perubahan besar dalam hidup.
Kita menjadi tau, apa yang sebenernya kita butuhkan ketika bepergian sendiri, apa yang kita suka dan apa yang seharusnya dilakukan ketika berada di kota yang jauh dan tidak satupun mengenal kita.Aku masih mencintainya, tapi sikapnya sangat ingin untuk di lepaskan.
Kau tidak akan bisa memaksa apapun,
Karna kau mencintainya, maka lepaskanlah kesakitan itu--Lily Reina-
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey
RomancePatah hati? Proses menuju pendewasaan yang memuakkan. Lily Reine-