Desember, bulan yang dulu sangat dinanti-nanti oleh Lily. Bulan penuh dengan rencana yang ia susun jauh-jauh hari.
Lily memejamkan mata sejenak, menerima semilir angin yang sejujurnya dingin menusuk tulangnya. Malam ini ia duduk sendiri, di teras rumahnya. Segelas air putih hangat ia genggam, untuk sedikit menghalau rasa dingin yang menusuk meski itu tidaklah begitu berguna.
"Aku harusnya bersyukur. " Gumamnya pelan.
Rambut yang sudah mulai panjang, ia ikat tinggi. Masih dengan gaun merah kesukaannya.
"Aku harusnya bersyukur hidup seperti ini."
"Duduk termenung, sunyi dan sendiri." Gumamnya lagi.
Entah mengapa, gumamannya nyaris membuat siapa saja teriris melihatnya.
Gadis itu, penuh dengan luka.
"Aku sudah hidup sejauh ini, melewati banyak hal dan juga luka. Seharusnya aku bersyukur."
Kata demi kata ia ucapkan berulang kali, seakan itulah yang memang ia inginkan dalam hidup. Semua orang pasti memiliki luka yang sengaja mereka sembunyikan dalam lubuk hati mereka. Begitupula Lily, ia tidak ingin mengumbar luka di depan orang-orang terdekatnya, ia tau bagaimana terlukanya sang ibu ketika melihatnya sakit.
Lily membuka matanya, meletakan gelas di atas meja. Tangannya memeluk erat lengannya.
"Ini desember, aku pernah bermimpi untuk hidup bersamamu."
Lily masih saja terjebak dengan masa lalunya, ia tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.
"Kau tau, aku masih saja sakit. Aku masih saja merindu, apakah sedalam itu? Apakah ini yang namanya ketulusan?"
Lagi-lagi Lily menanyakan hal yang sama ke dalam dirinya sendiri.
"Tuhan, mengapa kau selalu memilih pundakku? Mengapa kau begitu mempercayaiku jika aku sanggup?" Lirihnya nyaris terisak, lily menekan dadanya kuat-kuat.
Nyeri itu kembali.
Lily hanyalah mencari penyakit sendiri ketika beberapa kali ia melihat Liam memposting kehidupan barunya yang begitu bahagia, bulan ini Liam akan melangsungkan pernikahan dengan wanita yang menjadi selingkuhannya itu.
Air mata Lily kini keluar, ia mengusap pipi sebentar.
"Aku-- sedih dan terluka-"
Jeda sejenak, Lily merasakan sesuatu di kepalanya. Pening melandanya. Pandangannya bahkan seringkali memburam, akhir-akhir ini ia selalu melewatkan untuk merawat dirinya.
"Aku tidak ingin menyalahkan takdir, tapi ini begitu sakit untukku. Aku bahkan begitu jahat karena harus menangis setiap malam jika mengingatmu."
Jika saja seseorang tau bagaimana perasaan Lily, jika saja mereka mencoba peduli. Lily gadis yang begitu manis dan penuh riang ini tidak akan memilih untuk duduk merenung sendirian.
"Karena ternyata janji-janji kita tidaklah ada yang terwujud sedikitpun, mimpi-mimpi kita justru kau wujudkan dengan orang lain."
Lily terisak, teramat menyakitkan jika diingat.
Hidupnya hancur berkeping-keping, ia kesulitan untuk bangkit meski ia coba berkali-kali, lagi-lagi ia akan jatuh kembali dan hampir enggan untuk bangkit kembali. Lily kelelahan, ia lelah menjalani segala hal yang tidak menguntungkan dirinya.
Bersedih berkepanjangan tidaklah baik, tapi Lily, gadis itu benar-benar hancur.
"Haruskah aku menyerah?"
🥀🥀
"Roda kehidupan itu berputar, jangan menyerah"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey
RomancePatah hati? Proses menuju pendewasaan yang memuakkan. Lily Reine-