Lily masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai, semenjak dua hari yang lalu ia mendapat kabar jika Liam telah melamar kekasihnya membuatnya kehilangan semangat kembali. Bukan karena Lily ingin kembali, hanya saja mengapa harus wanita itu. Mengapa harus dengan wanita itu, batin Lily seakan bergejolak.
Wanita itu selingkuhan Liam ketika mereka masih menjalin kasih, bukankah sangatlah menyakitkan bagi Lily harus menerima hal menyakitkan ini secara bertubu-tubi, Lily bahkan tau jika mereka sedang merencanakan pernikahan dekat-dekat ini, sedangkan Lily sendiri masih harus menata ulang hatinya kembali.
"Sudah pulang?" Tanya sang ibu pada Lily, ia hanya bergumam memasuki kamar dan menutup pintu kembali.
Ibu Lily merasa sangat bersalah, karena ia yang memberikan berita itu kepada Lily, ia yang kembali mengingatkan Lily luka lama. Tak disangka putrinya yang sudah terlihat kuat, kini kembali menangisi takdirnya.
"Maafkan ibu Ly." Lirihnya bergetar.
Lily merebahkan badannya di atas kasur, akhir-akhir ini moodnya kacau, pola makan, pola tidur sangat berantakan. Sudah dua hari Lily menghindar dari nasi, ia memakan semua yang ia ingin tapi ia tidak bisa memakan nasi lagi. Bahkan sehari entah berapa kafein yang masuk ke dalam tubuhnya.
Perasaan ini membuatnya sangatlah tersiksa, apa Tuhan sengaja membuatku terluka lagi. Batin Lily seringkali menanyakan ini.
"Aku seperti ini lagi." Ucap Lily yang sedang memejamkan mata, seragamnya masih lengkap ia kenakan. Kini, hidupnya semakin terasa hambar dan hampa.
"Mengapa menjadi diri sendiri saja rasanya begitu sulit setelah mengalami penolakan-, mengapa mereka begitu jahat kepadaku?"
Lagi-lagi, Lily tidak bisa menghalau pikiran itu. Ia kembali tenggelam dalam kesedihan yang entah kapan akan selesai.
Tanpa ia sadar, ia kembali memasuki di fase denial kembali. Begitu banyak pikiran yang menyalahkannya dan mengapa hal seperti ini bisa terjadi kepadanya, ia berandai-andai sehingga semakin tenggelam kesedihannya.
Entahlah siapa yang bisa menyembuhkan Lily, seakan Lily yang penuh dengan positif hilang entah kemana. Baginya dunia semakin tidak adil, dan ia seperti tidak berhak menjadi orang baik atas semua hal yang terjadi di hidupnya.
🥀🥀
"Ly, tidak makan dulu?" Tanya Agnes yang melihat Lily sedang menyiapkan barang-barangnya.
"Tidak, aku ada janji."
"Eyy, dengan siapa?" Goda Agnes yang hanya dibalas senyum usil dari Lily.
Agnes tau jika sahabatnya ini sedang sedih lagi, tapi sebisa mungkin ia tidak ingin membuka luka itu lagi. Lily memang terlihat ceria seperti biasa, tapi tetap saja rasanya berbeda. Gadis itu memendam terlalu banyak rasa yang tidak bisa disampaikan dengan sembarang orang.
"Mau mempercantik diri ya?" Ujar Agnes.
"Emm bisa dikatakan begitu."
"Aigoo, gadis ini banyak uang ternyata."
"Hahaha, sudah yaa aku duluan." Lily pergi dari hadapan Agnes, ia mengendarai motornya untuk segera sampai ke tujuan.
Hari ini entah mengapa Lily ingin mewarnai kukunya, rasanya ia ingin merubah penampilannya dengan lebih berani. Baginya, ini adalah suatu usaha untuk mencintai dirinya sendiri.
"Selamat siang." Sapa pelayan disana disambut senyum manis Lily yang sayangnya tertutup oleh masker.
"Silakan duduk kak, tadi sudah menghubungi kami dulu kan ya?"
"Yaa, saya sudah booking lebih dahulu."
"Baiklah, kita mulai sekarang ya kak."
Lily mengangguk, ia duduk di depan pelayan tersebut sembari menunggu kuku-kukunya dibersihkan, ia memilih warna untuk menghiasi kuku cantiknya.
Hampir satu jam lebih Lily melakukan treatment tersebut, hasilnya cukup membuat Lily puas. Tidak ada penyesalan meskipun ia menghabiskan uangnya untuk hal itu, baginya itu salah satu menyenangkan dirinya sendiri.
Selesai dengan hal itu Lily pergi pulang ke rumah, setidaknya ini yang bisa ia lakukan untuk menghalau kegundahan di hatinya.
Sesampainya di rumah Lily membuka ponsel, merebahkan diri setelah selesai membersihkan tubuhnya. Sejujurnya ia penasaran dengan Liam, tapi ia tidak ingin hatinya kembali merasakan sakit.
Namun, tidak lama. Lily melihat pada layar ponselnya, Liam benar-benar telah bertunangan.
Cincin melingkar manis dijarinya, postingan tentang Liam dan kekasihnya.
Tidak tau akan merespon apa, Lily meletakan kembali ponselnya. Ia membuka laptop dan memilih untuk menonton film action.
Kegiatan Lily saat ini memang cukup padat, tapi ia juga mulai menikmati kesendiriannya dan menikmati metimenya.
Namun, bagi Lily ia tidak pernah memilih hidupnya akan menjadi seperti saat ini.
Nampak luar ia baik-baik saja, tapi nampak dalam hatinya selalu berdenyut ngilu, menahan lara dan nestapa yang kian menjadi.
Dalam kurun waktu lima bulan, Liam meninggalkannya dan memilih jalan hidupnya bersama selingkuhannya.
Sedih, pasti.
Gadis itu bahkan sudah tak berdaya dan tak ingin lagi peduli dengan hal-hal yang akan Liam lakukan kedepannya.
Kali ini, Lily benar-benar hanya mengikuti alur hidupnya yang akan membawanya kemana. Tidak ada lagi ekspektasi yang menggebu seperti dahulu.
Lily berubah.
Tidak lagi menjadi Lily yang dahulu.
Malam itu, ia menangis sesak ditemani film action yang ia tonton.
Hati siapa yang tak menangis, Lily hanya bisa tersenyum disela tangisnya sembari memperhatikan jari manisnya.
"Mimpi kita, segala hal yang kita impikan, kita bicarakan dan kita usahakan, justru kau memilih berjalan bersamanya. Hebat sekali perempuan itu, bisa mengambil segalanya dan mengalahkan diriku." Liriknya getir namun jelas, Lily sangat tersakiti.
"Tidak apa Tuhan, aku tidak apa."
🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey
RomancePatah hati? Proses menuju pendewasaan yang memuakkan. Lily Reine-