Semalam Sebelum Dunia Berakhir: Ver. 2 (2022)

32 5 0
                                    

Semalam sebelum dunia berakhir, aku sedang duduk sendirian menyesap secangkir teh rempah hangat kesukaanku.

Suara penyiar berita dari radio yang begitu berisik karena gelombang yang tersendat menjadi satu-satunya suara keras di sini. Pada sekelilingku, suasana begitu sunyi. Bahkan suara jangkrik atau kodok pun tak terdengar sama sekali. Mungkin mereka telah bersembunyi dalam bunker yang telah mereka gali jauh-jauh hari ketika mengetahui kabar mengenai asteroid sebesar dua ratus delapan kali ukuran Coloseum yang akan menabrak Bumi besok pagi.

Aku selalu percaya, bahwa hewan memiliki sistem pertahanan yang jauh lebih kuat dan masuk akal ketimbang manusia. Hanya saja manusia terlalu jumawa untuk sekadar belajar dari mereka. Dan ketika detik-detik akhir dari Bumi sudah dekat, tidak ada yang mampu mengantisipasi.

Aku menghembuskan asap rokokku ke udara malam yang semakin dingin sembari terus memandang titik-titik kemerahan dan kekuningan yang berkelip membentuk barisan panjang mengular di bawah sana. Semua titik itu tampak bergerak ke satu tujuan, tiada lain adalah pelabuhan. Dalam sudut pandang titik-titik itu, pasti suasana begitu ramai dan chaos penuh kepanikan. Pasti semua orang sedang terburu-buru, saling sikut dan saling menyalahkan ketika pintu perbatasan pelabuhan atau bandar udara tak kunjung dibuka. Namun dari atas bukit ini, titik-titik itu seakan bisa dengan mudah kusapu dengan kaki.

Suara radio semakin buruk, maka cepat-cepat kumatikan berikut juga rokokku yang memang sudah habis. Untuk mengenyahkan senyap, kuambil harmonika dari dalam saku celana jins lalu mulai memainkan sebuah lagu ciptaanku sendiri. Lagu ini kuciptakan ketika aku masih duduk di bangku SMP. Lagu yang kuciptakan sepenuh hati dari dalam kamar untuk gadis cinta pertamaku, Si Pertiwi. Sembari bersenandung, memori kehidupanku seakan diputar secara terbalik ke masa-masa itu.

Kulihat kuncir rambutmu berkibar di lorong sekolah.

Tiada yang memperhatikan tapi aku tahu.

Kalau hari ini kuncirmu lain dari biasanya.

Yang lalu ungu, tapi hari ini biru.

Ah, inginku menghentikan waktu.

Abadi memandang kuncir itu.

Hingga dunia berakhir bagiku.

Entah bagimu.

Dunia memang akan berakhir besok, ketika usiaku bahkan belum juga mencapai tiga puluh tahun. Berita itu datang pertama kali sebulan lalu, diiringi semakin derasnya arus informasi mengenai bukti-bukti saintifik penunjang fakta itu. Anehnya, aku sama sekali tidak terkejut bahkan tidak takut ketika pertama kali mendengar pernyataan itu. Bukannya tidak percaya--soalnya ada banyak juga orang-orang yang saat ini sedang beraktivitas seperti biasa karena mereka tidak percaya dengan ramalan dari para ilmuwan di seluruh dunia mengenai akhir dunia besok--tapi lebih ke, "kenapa baru sekarang?"

Corong-corong tinggi yang setiap hari mengepulkan asap hitam membuat burung buruanku mati sesak sebelum sempat kutembak. Kotoran yang pabrik-pabrik itu buang ke sungai di belakang rumah membuat ikan-ikan yang biasanya mudah kupancing kini mati sia-sia meninggalkan racun. Rerumputan yang biasanya ada melimpah untuk dimakan hewan-hewan ternakku kini tak lagi tumbuh banyak karena di sana sini tanah dikeruk untuk dijadikan bangunan baru. Lagi dan lagi tanpa henti. Karena dari waktu ke waktu aku menyadari perubahan masif-tapi-tersembunyi itu, berita kalau besok pagi Bumi akan hancur pun sudah tidak mengejutkan lagi. Itu sudah di dalam jangkauan prediksiku.

Sebuah suara halus menggelitik pendengaranku. Aku berhenti bersenandung lalu coba menambah fokus. Lima detik kemudian, suara itu muncul lagi. Gemerisik itu menggangguku. Sebab setahuku di area bukit tempat tinggalku ini, semua orang sudah pergi untuk mengungsi. Meski besok aku sudah pasti mati, setidaknya aku harus mati karena tertabrak asteroid, bukannya diterkam hewan liar atau orang gila. Maka senapan rakitan ini kurasa masih layak kusandang ke mana-mana seharian ini saja.

Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now