Setahuku bulan Agustus tidak pernah sebegini dingin. Kalaupun dingin, mestinya tidak sampai membuat mataku sebegini basah.
Kuseka beberapa kali hidung yang berair pula, memandang pada dunia malam yang dengan angkuh menjelang. Meriahnya suara para manusia dalam menyambut malam—menggelar lapak dagangan pecel lele, berdesakan pulang tergesa-gesa dari tempat kerja, merepetkan sumpah-serapah karena kemacetan tiada kira di jalan raya—bahkan sama sekali tidak menggangguku. Justru semua itu tampak berwarna-warni, selaras dengan cuaca dingin.
Mungkin lagu yang cocok untuk suasana ini adalah “Angin Malam”-nya Chrisye. Sayang sekali aku lupa membawa headset untuk sekadar meredam keriuhan dengan lagu itu. Kesialan yang kesekian dalam beberapa hari terakhir. Namun, itu toh juga sama sekali tidak menggangguku.
Dari kejauhan, di sisi perempatan depan toko barang elektronik, kulihat seorang gadis melipat tangannya dengan pandangan kesal pada seorang petugas parkir yang sedang memaju-mundurkan motornya. Tampaknya motor itu akan susah dikeluarkan karena nyangkut di antara jajaran motor lain yang parkir tidak beraturan.
Pemandangan itulah yang justru menggangguku.
Gadis itu seketika mengingatkanku pada sikap Sari beberapa hari ini. Cara gadis itu melipat tangan dan memandang sinis pada juru parkir itu mirip sekali dengannya.
Kemarin Sari berkata bahwa aku tidak lebih dari “orang yang tidak ada”. Katanya, apa artinya aku punya segunung novel yang diusahakan dengan keringat dan air mata tapi tidak mendapat perhatian apa-apa dari dunia.
“Viral, kek. Terkenal, kek. Bombastis, kek,” katanya sembari mencungkili bagian dalam kukunya yang dikutek merah dengan kuku jempolnya, sama sekali tidak memandang padaku. Kurasa ada nada tertawaan di dalam suaranya.
Aah. Kalau saja aku tidak naksir dia, aku pasti tidak akan merasa sesedih ini dikatai demikian. Sayangnya, aku sudah menaruh hati padanya sejak pertama kali bertemu dengannya dalam seminar menulis nasional yang kuikuti tahun lalu.
Saat itu ia bahkan menepuk pundakku duluan untuk berkenalan, sebelum berkata bahwa ia kagum pada pertanyaanku untuk para pengisi seminar soal nasib buku-buku dari para penulis lama yang tak lagi dibicarakan karena dirasa sudah usang dan tidak relevan. Katanya, ia juga memiliki kekhawatiran yang sama denganku. Binar matanya itu tiada tanding membuatku jatuh cinta seketika. Sari yang hadir di depanku saat itu menjelma bagai sumbat di hatiku yang berlubang-lubang selama beberapa tahun belakangan.
Sebenarnya perkataannya padaku soal “viral, terkenal, dan bombastis” kemarin itu tidak salah. Sejauh ini aku memang tidak pernah betul-betul menerbitkan karya yang bisa diterima oleh orang banyak. Sebelumnya aku tidak pernah terganggu oleh hal-hal semacam apa-apa yang dituntutkan Sari itu, sebab aku hanya menulis untuk menyalurkan kegelisahan saja. Namun setelah aku jatuh cinta padanya, kata-kata semacam itu perlahan merongrong hidupku, menjadikannya laksana beban berat yang menggantungi pundak, apalagi setiap kali keluar dari ruang editorial penerbitan dengan cap besar “DITOLAK” di jidatku. Sepertinya benar kata orang kalau cinta memang membuat orang menjadi tumpul dan dungu.
Memang lebih baik tidak pernah mencoba sejak awal. Sebab jika berkali-kali gagal, rasanya seperti menjadi seorang yang “tidak pernah betul-betul ada”. Dan memang lebih baik tidak pernah ada daripada pernah ada tapi yang hadir hanya rasa sakit.
Sembari memikirkan apakah aku harus lompat ke jurang atau ke laut nanti subuh, kemeriahan malam telah lenyap tak bersisa, senada dengan lenyapnya pancaran lilin keinginanku untuk terus hidup.
Tepat pada saat itu, sebuah mobil berhenti di depanku duduk. Mobil yang biasa-biasa saja dan tampak tua. Seperti mobil yang biasa dipakai para pegawai pemerintah. Warnanya putih dengan aksen kusam di sekujur bodinya.
“Taksi, Nak? Pakai argo saja tapi, ya. Akun daring saya kena suspend,” sang sopir menyapaku dari dalam mobil setelah terlebih dahulu membuka kaca mobil di sisi penumpang. Aku tidak jelas melihat wajahnya, tapi dari suaranya sepertinya sopir itu sudah tua.
Dinginnya malam serta keputusanku untuk melompat ke laut saja alih-alih ke jurang membuatku beranjak dari tempatku duduk di sisi jalan, lalu membuka pintu belakang mobil untuk kemudian masuk ke dalam. Seketika aroma parfum mobil menyeruak hidung. Campuran… Apa, ya. Seperti wangi teh dengan bebungaan dan rerumputan yang menenangkan.
Lagu “Angin Malam” milik Chrisye terdengar, terputar dari radio si sopir. Kebetulan yang mengerikan.
“Mau ke mana, anak muda?” tanya si sopir dengan nada bicara yang terlampau ramah. Sopir taksi yang kurasa terlalu renta untuk menyopir itu memakai topi pet cokelat lusuh dan kemeja putih yang juga tampak tua, tapi sepertinya sering disetrika—karena aku bisa melihat lipitan bekas setrika yang amat kentara bahkan di suasana yang temaram. Alisnya yang putih menjuntai ke sisi matanya yang berbinar di bawah kerutnya yang sudah begitu banyak. Meski aku sama sekali tak mengenalnya, ada semacam aura familier dari sosoknya itu. Apakah aku memang pernah bertemu dengannya di masa lalu, atau memang karena sosoknya yang terlampau biasa itu yang membuatku merasa begitu, aku tidak tahu.
Sebenarnya ada rasa khawatir di dalam hatiku karena akan disopiri oleh orang setua ini. Namun mengingat keinginan hidupku yang memang sudah tidak tersisa banyak, rasanya disopiri oleh buyut begini juga tidak akan berarti banyak.
“Ke laut,” jawabku dingin atas pertanyaannya tadi. Ia menerima permintaanku itu, dan mulai melajukan mobilnya menyapu jalanan malam. Rupanya cara menyetirnya enak dan sangat berhati-hati. Sepertinya aku tidak akan mati karena kecelakaan malam ini.
Lagu “Angin Malam” masih mengalun, bersamaan dengan mataku yang menelusuri jalanan malam yang bakal menjadi pemandangan malam terakhirku di muka Bumi.
“Saya berharap kamu tidak pergi naik taksi ini untuk melompat ke laut.”
Suara Pak Tua membuatku agak terhenyak. Mungkin wajahku memang tampak kentara memprihatinkan.
“Maaf,” jawabku pendek. Ia tampak melirikku dari spion dasbor depan. Dari pantulan mata itu, aku bisa melihatnya tersenyum.
“Nak,” panggilnya lagi. Aku berharap ia tidak menceramahiku soal betapa berdosanya orang yang mau bunuh diri dan sejenisnya. Sebab aku sudah tidak tertarik lagi untuk mendengarkan hal semacam itu.
Dengan malas, aku beringsut menggeser duduk supaya bisa melihat sosoknya yang sedang menyopir di depan. Rambutnya rupanya sudah putih seluruhnya, agak panjang menyentuh kerah kemeja.
Ia melanjutkan kalimatnya yang tertunda, masih dengan suara lembut. “Tahukah kamu bahwa ‘waktu’ itu sebenarnya ada wujudnya?”
Syukurlah ia tidak menceramahiku soal dosa orang bunuh diri. Namun, pertanyaannya itu aneh sekali.
“Tidak tahu,” jawabku.
Ia tertawa kecil. Sebuah tawa yang tidak biasanya dimiliki seorang yang sudah tua. Seperti ada nada kemudaan di dalamnya. Lalu kulihat tangannya yang tak mencengkeram setir terulur ke belakang. Disodorkannya sesuatu tepat di depan wajahku: sebuah bola kristal sebesar bola pingpong dengan cahaya anekarupa yang memendar dari dalamnya. Merah, biru, ungu. Ketika kudekatkan wajahku pada benda itu, aku bisa melihat banyak pola heksagonal di seluruh permukaannya. Indah tiada tara.
“‘Waktu’ itu berwujud bola kristal ini,” katanya. “Ambil.”
Aku tak beranjak. Sebab tak memahami maksud perkataannya.
“Ambil,” pintanya lagi lembut. Aku mengambil bola kristal itu selembut aku bisa. Dan di tanganku, bola kristal itu semakin memendar indah. Sekeliling yang semula muram, tiba-tiba cerah. Cahayanya seperti membias ke penjuru mobil, lalu membungkusku dengan warna-warni serupa warna-warni jagat raya.
Bagai kena nujum, kesadaranku seakan bercampur dengan kemegahan aura bola kristal itu. Pandanganku seperti terserap pada suatu Ruang dan Waktu yang lain, yang tak seharusnya menjadi Ruang dan Waktuku. Sebab warna Ruang dan Waktu ini sefia, dengan lis warna hitam di sekelilingnya.
Itu seperti menonton sebuah film tua sendirian di bioskop yang sangat sepi. Tempat dudukku dalam mobil menjelma menjadi tempat duduk pada sebuah gedung bioskop. Dan bola kristal itu menjelma seperti pendaran proyektor yang diputar manual dengan tangan oleh sang petugas biskop yang tak tampak wujudnya di balik kegelapan.
Film sefia itu menampakkan tokoh utama seorang pria muda kurus dan tampak tak terurus yang terus-menerus menunduk di depan meja. Di atas meja itu terhampar bertumpuk kertas, baik yang masih kosong maupun sudah terisi coretan pena. Pemuda itu menulis dengan kecepatan tangan yang tak biasa. Seperti sedang diburu-buru oleh sesuatu tak tampak.
Tak lama, suara gedoran mengagetkanku dan juga dirinya. Ia terhenyak, lalu dengan tergesa ia mengambili kertas-kertas itu dengan tangannya yang gemetar hebat. Wajahnya pucat, berkeringat banyak-banyak. Sebuah dobrakan keras menghentikan geraknya itu. Ia terpaku. Matanya membulat oleh sebab sosok beberapa orang tinggi besar dan memakai bot yang menyeruak masuk ke dalam kamar dan mengobrak-abrik segala yang tampak, lalu menyeret si pemuda kurus pergi dengan paksa.
“Dilarang menulis di sini! Dilarang menulis di sini!” para orang bersepatu bot terus meneriakkan kata-kata yang sama di tengah debum sol sepatunya.
Lalu adegan itu seperti lompat ke adegan lain, pada si pemuda kurus yang tengah duduk dengan tangan terikat ke belakang, menyaksikan para orang bersepatu bot menyiramkan cairan kuning ke atas tumpukan kertas-kertas itu, lalu menyulutnya dengan korek. Pendaran merah merona yang melahap kertas-kertas itu melahap pula hati sang pemuda. Terbakar habis hingga tersisa abu semata. Hilang bersamaan dengan mimpi-mimpinya.
Adegan lain ketika si pemuda kurus meringkuk di sebuah ruangan sempit dan gelap yang tampak seperti sebuah sel. Aku tak bisa jelas melihat apa yang ia kerjakan, tapi ketika kamera menyorotnya secara close-up, aku bisa melihat tangannya sedang menggurat-guratkan pensil pendek di atas kertas tisu. Begitu perlahan ia menulis agar tak menyobek permukaan tisu yang rapuh. Ketika tisu sudah tak menyisakan lagi ruang untuk ditambah tulisan, ia melipat tisu itu perlahan, lalu memasukkannya pada plastik bekas membungkus sesuatu, lalu ia selipkan lipatan berharga itu ke dalam kaus kakinya.
Adegan melompat pada si pemuda kurus yang sepertinya sudah bebas dari penjara, tampak dari penampilannya yang sudah lebih rapi dibandingkan sebelumnya. Ia menatap bundelan kertas yang kurasa adalah tulisannya yang sudah ditulis ulang di atas kertas baru. Wajahnya tampak sumringah, apalagi pada adegan di mana ia menerima uang dari beberapa eksemplar bundelan buatannya itu yang berhasil terjual.
Sayang di adegan berikutnya, aku bisa melihat jika bundelan-bundelan itu tertumpuk di sudut kamar orang-orang, lalu di sudut gudang orang-orang, lalu di sudut tempat sampah orang-orang. Gambar perlahan memudar, seiring dengan hilangnya bundelan itu dari sudut kamar, sudut gudang, dan bahkan tempat sampah orang-orang. Bersamaan dengan itu, bioskop ajaib itu padam. Membawaku kembali pada kekelaman malam.
Mobil sudah terhenti. Terparkir rapi di sisi luar pantai. Aku juga sudah berdiri di sisi pantai berpasir, menghadap ke laut, sembari mencengkeram bola kristal yang pendarnya kini terlihat lamat-lamat karena suasana yang perlahan berubah terang menjelang pagi. Aroma garam tercium pekat, lalu dari belakangku, kudengar suara Pak Tua menelusup.
“Menulis dengan bebas adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah kurasakan. Kebebasan adalah barang mahal dan langka. Namun, berhenti menulis sama artinya dengan mendukung kungkungan akan kebebasan itu. Mendukung kebungkaman. Mendukung matinya kebebasan.”
Suara camar laut menelusup di antara suaranya. Ia kembali melanjutkan.
“Berhenti menulis hanya akan menghilangkan seluruh eksistensimu. Bukan cuma wujud dan rupa, tapi juga karya dan karsa. Hilang tak bersisa. Namun saya rasa saya tidak perlu khawatir. Sebab kau, Anakku, bukanlah orang yang akan semudah itu berhenti berkarya. Sama seperti saya.”
Seketika aku ingat, siapa sopir taksi itu. Sosoknya yang tua dengan topi pet dan kemeja itu seringkali menghadiri kolom-kolom sastra di majalah atau koran yang hampir tak ada peminatnya. Katanya, ia dan karyanya telah hilang ditelan zaman, berikut keberadaannya. Pun tak ada yang ingin berusaha mengingatnya lagi. Sosok yang dahulu menjadi salah satu asal muasal pertanyaanku pada para pengisi seminar kepenulisan nasional yang lalu mempertemukanku dengan Sari.
Ketika aku melongok ke belakang untuk menanyai Pak Tua itu macam-macam, sosoknya beserta taksi kusamnya sudah tak ada di tempatnya seharusnya berada.
Secepat itu taksi itu “hilang”. Secepat itu pula aku menyadari bahwa kini aku telah kembali sendirian, bahkan tanpa bola kristal yang semula kuyakin masih tergenggam erat di tangan.
Keberadaan taksi beserta sopirnya yang “hilang” di penghujung malam yang beranjak subuh itu sama sekali tidak menggangguku. Seakan “keajaiban” adalah hal yang biasa kualami sehari-hari.
Suara camar, aroma garam, dan gemuruh ombak menjadi sebuah soundtrack dari sebuah keputusan yang kubuat kemudian:
Aku tidak jadi menceburkan diri ke laut.
Aku justru menunduk, mendekatkan tangan pada pasir pantai yang berwarna keperakan diterjang cahaya pagi yang menjelang. Kutuliskan kisah ajaib yang kualami tadi di atas pasir pantai itu, secepat dan seakurat aku bisa, sebelum ombak menggulungnya. Selama aku menulis, udara segar subuh hari menerpa seluruh permukaan kulitku, menerbangkan helai-helai poniku, menggoyang-goyangkan kerah jaket kulitku, menelusup di sela celana jins biruku… Syahdu.
Sepanjang bibir pantai itu pun menjelma menjadi kertas maharaksasa untuk menampung kisahku. Huruf-huruf yang kutorehkan berderet memanjang sepanjang horizon. Camar-camar berterbangan di atas kepala, meneriakkan suara yang terdengar seperti, “selamat! Selamat!”
Aku memandang mahakaryaku itu dengan perasaan tak terlukiskan. Melegakan.
Belum lama aku memandanginya, tulisan di atas pasir itu telah tersapu oleh gulungan ombak. Terhapus sedikit demi sedikit.
Nama Sari juga turut terhapus.
Namun, aku tidak ingin perasaan tak terlukiskan itu hilang begitu saja. Maka, kulukiskan lagi kisah ajaib itu untuk kalian setibanya aku di rumah. Kali ini dengan mata yang tak lagi basah.
YOU ARE READING
Cerita dalam Secangkir Teh
Historia CortaKumpulan cerita pendek untuk menyeimbangkan rotasi bumi.