Lelaki Tanpa Warna - Colorless (2015)

237 27 1
                                    

Semua orang menyebutku hantu.

Katanya aku begitu mengagetkan ketika tiba-tiba berdiri di belakang mereka, tanpa suara, tanpa pertanda. Padahal caraku mendekati mereka adalah dengan jalan biasa saja. Memang sedari muda aku terlatih untuk berjalan sesenyap mungkin agar tidak ketahuan musuh. Tapi kalau hidungku sudah berada tepat di belakang kepalanya dan orang itu masih saja tidak sadar, yang aneh siapa, coba?

Selain itu, katanya wajahku seringkali terpantul samar di sisi gelap jalan yang tidak terkena sorot lampu merkuri. Kalau sudah begitu, mereka biasanya langsung lari tunggang langgang. Beberapa di antaranya bahkan melempariku dengan apapun yang berada di jangkauan tangan mereka sebelum akhirnya kabur juga.

Aku semakin tidak mengerti, bukankah aku sama dengan mereka? Kakiku memijak tanah dengan sempurna, lihat! Kucoba berkali-kali menyampaikan hal ini pada mereka, tapi tidak ada yang mau mendengarkan. Satupun tidak ada bahkan sejak aku datang ke tempat aneh ini, beberapa bulan lalu.

***

Seingatku saat itu aku sedang merunduk di dalam bunker kecil yang digali rekan-rekan satu kompiku untuk berlindung dari bombardir senjata musuh. Bunker itu cukup baik untuk hasil kerjaan anak-anak baru. Dengan rumput-rumput kering yang menutupi jalan masuknya, menjadikan bunker itu sempurna, tidak kelihatan dari luar.

Seingatku terakhir kali aku sedang memerintahkan para anak baru itu untuk tiarap masuk ke bunker setelah kulihat sebuah granat yang cukup besar dilemparkan ke tempat kami berada.

Aku masih ingat suara bersiul dari granat—atau mungkin roket malah—yang meluncur mendekati kami. Suaranya 'syuuuu' lalu kukira akan datang suara 'duar!'. Tapi tidak. Tidak ada suara apapun hingga aku sempat berpikir bahwa aku sudah mati.

Saat kucoba membuka mata, aku tertegun. Aku belum mati karena masih kurasakan denyutan luka-luka di pelipisku. Seluruh anggota tubuhku juga masih utuh dan yang jelas badanku menempel pada tanah.

"Oh, syukurlah," kataku pada saat itu. Namun aku langsung merasakan keganjilan yang menyergap. Udara di sekitarku berada mendadak terasa berat. Seakan ada bulir-bulir pasir yang memasuki paru-paruku begitu saja. Rasanya tidak seperti udara yang tercampur serpihan serbuk mesiu. Jauh lebih ringan tapi tetap saja terasa aneh...

Kresek, kresek, tuuut, tuuut, bruuum, ngeeeng, lalalalululu...

"Suara apa itu?" pikirku saat kudengar banyak nada ganjil yang merasuki telingaku. Aku celingukan. Rupanya sudah malam. Jadi aku harus membiasakan mataku untuk melihat dalam gelap. Tapi alih-alih membiasakan diri dengan gelap, mataku justru tersentak karena tidak siap dengan sorotan cahaya sangat kuat yang datang tiba-tiba. Setelah meredakan rasa pusing, aku melongok-longok di sekitar—berusaha memahami situasi: apakah aku masih di bumi atau sudah di neraka?

"Oh, ya ampun..." pekikku tertahan saat menyadari keganjilan apa yang sedari tadi menggangguku.

Aku jelas berada di sebuah tanah lapang. Namun yang kupijak bukan tanah. Itu seperti... aspal yang cukup tebal. Ya, jalanan diselimuti oleh aspal namun sangat halus dan tebal. Seumur hidup baru kali ini kujumpai aspal setebal ini. Aku juga cukup kaget saat kusadari di depanku terhampar gedung-gedung berbentuk persegi panjang yang menjulang tinggi hingga menyentuh langit. Oh, aku semakin linglung, tidak tahu sedang berada di mana. Namun yang dapat kupastikan saat itu adalah, aku sudah tidak berada di tengah perang. Dan lagi yang membuatku sangat kagum adalah, aku terasa buram. Ya, tubuhku terasa lebih buram dari keadaan di sekitarku. Entah ya, karena apa, saat itu aku tidak menyadarinya. Namun beberapa hari kemudian aku tahu, alasanku nampak buram adalah bahwa lingkungan di sekitarku—kecuali aku—diselimuti oleh sesuatu yang orang-orang dunia ini sebut sebagai warna.

Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now