Mul selalu merasa kalau pijakan batu itu semakin tinggi saja dari hari ke hari.
Terakhir ia ingat, jumlahnya ada tiga, terdiri dari dua batu ceper yang cukup stabil, dan satu yang ditumpuk paling atas yang berbentuk agak segitiga. Namun, sekarang jumlahnya lima. Dengan tambahan dua lagi batu ceper yang agak besar sebagai dasarnya.
Siapa yang menambahnya jadi lima? Apakah sejak awal memang ada lima atau benar hanya tiga? Entah. Mungkin dia yang lupa. Mungkin sejak awal memang lima. Namun, ia justru bersyukur dengan bertambahnya jumlah batu itu secara misterius, sebab dengan begitu ia tak perlu lagi takut terjerembab pagar kawat berduri setiap kali datang mengantarkan jipang dan oyong untuk Hamada-sang.
Pijakan batu itu tidak pernah gagal membantu tubuhnya yang kecil untuk melompati pagar kawat yang sengaja dilekatkan di sepanjang kamp oleh orang Nippong. Para Nippong itulah yang membuat tempat yang terdiri dari beberapa rumah kecil yang berjajar dan satu bangunan induk itu sebagai kamp—lengkapnya “kamp interniran”, tapi Mul terlalu bodoh dan cadel untuk mengucapkan kalimat itu secara sempurna maka ia menyebutnya “kamp” saja.
Para tentara Nippong—Mul sebenarnya bingung mengapa harus menambahkan unsur “ng” di belakang karena kalau ditulis, kata itu tidak ada “ng”-nya—itu tiba-tiba muncul dua tahun lalu di kotanya. Sejak kedatangan mereka, teman-teman Belanda Mul tiba-tiba tidak pernah kelihatan main di paradeplein lagi. Tak lama kemudian beberapa dari mereka dilihat Mul sedang mencuci pakaiannya sendiri di kamp Nippon ini. Dan mereka tampak kurus sekali.
Namun sejak hari itu, Mul jadi punya aktivitas tambahan yang membuatnya mendapat uang saku lumayan, yaitu mengantarkan sayur jipang dan oyong yang ditanam oleh ibunya di kebun kecil mereka.
Pertama kali Mul mendapat tugas mengantarkan sayur, ia ketakutan. Sebab para tentara Nippon yang berjaga di gerbang depan kamp itu meski bertubuh pendek dan berwajah bulat bersemu merah di pipinya—itu mengingatkan Mul pada kue apem yang biasa dibeli ibunya di pasar—ternyata begitu galak. Dasar Mul kalau bicara selalu gagap, ia diusir begitu saja bahkan sebelum sempat mengatakan maksud kedatangannya. Hari itu ia pulang dengan seribu tanda tanya. Di rumah, ibunya berkata bahwa ia tidak boleh takut dan justru harus berani bilang ke penjaga kalau ia disuruh mengantarkan sayur itu oleh “Hamada-sang”. Mul tidak tahu apa atau siapa itu Hamada-sang, tapi ia tetap menuruti permintaan ibunya itu keesokan harinya.
Begitu ia menyebut kata sakti itu, “Hamada-sang”, ia pun diperbolehkan masuk ke kamp sekaligus diantar ke ruang kecil di belakang bangunan induk oleh para tentara pendek bermuka kue apem itu. Ruangan tempat “Hamada-sang” berada memanglah mungil dan indah—dengan tanaman kaktus kecil-kecil di buk-nya, tapi ada nuansa menakutkan di situ.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu itu dibuka. Dan muncul lah seorang yang mungkin adalah “Hamada-sang” itu. Mul kira semua orang Nippon berkulit kuning dengan semu merah di pipinya—sama dengan para tentara kue apem di gerbang depan—serta pendek. Pria ini memang berkulit begitu, tetapi ia tinggi dan ramping. Namun, wajahnya sama saja: menakutkan. Matanya yang tertarik ke atas itu menatapnya nyalang seperti penuh kecurigaan.
Setelah para tentara kue apem berbincang sedikit dengan pria tinggi itu, Mul disuruh masuk olehnya, Hamada-sang—baru ia tahu beberapa hari kemudian kalau ternyata “sang” itu juga ditulis tanpa “ng” sama dengan “Nippon”—ke dalam ruangan kecilnya.
“Letakkan sayuran di keranjang itu,” Hamada-san berkata dengan aksen yang lucu bagi kuping Mul sembari menunjuk pada sebuah keranjang bambu yang tergeletak di atas meja yang juga terdapat benda-benda dapur seperti pisau dan talenan.
Namun, Mul tak juga bergerak. Kakinya seperti terkunci rapat di lantai. Bukan karena rasa takut atau semacamnya, Mul justru diliputi rasa heran. Ruangan itu meski gelap, tapi aromanya wangi. Di mana-mana Mul bisa melihat deretan buku-buku beraneka rupa yang disusun dengan sangat rapi. Ia bahkan hampir tak bisa melihat tembok ruangan itu saking banyaknya buku yang terpajang di sekitarnya.
“Oi, kamu bisa bahasa Melayu, tidak?” tanya Hamada-san dengan suara garang pada Mul yang membisu bagai patung. Bocah itu tersentak. Ia mengerjap-kerjap.
“Tuan juga bisa bahasa Melayu?” ia justru bertanya begitu. Jelas saja Hamada-san bisa bahasa Melayu! Pertanyaan aneh yang memang tanpa sadar dilontarkan Mul karena perhatiannya tersita oleh isi ruangan itu. Namun tingkah canggung Mul itu tak mengubah sedikit pun raut wajah Hamada-san. Pria itu justru menyahut keranjang yang terletak di atas meja di bagian belakang ruangannya, lalu mendekat pada Mul dan menyahut keranjang Mul yang berisi sayuran. Dengan tak sabar, ia mengambili sayur-sayuran itu lalu memindahkannya ke dalam keranjangnya sendiri. Mul semakin meringkuk di sudut ruang.
Dengan kasar, Hamada-san lalu menyerahkan kembali keranjang sayur Mul yang sudah kosong.
“Kalau kamu takut dengan penjaga di depan, mulai besok masuk saja lewat belakang. Ada pagar kawat yang agak longgar. Cukup buat kamu lompati,” kata Hamada-san dengan suara pelan.
Kemudian tak ada lagi percakapan antara mereka. Hamada-san sudah sibuk di mejanya lagi yang penuh dengan serakan buku-buku serta kertas-kertas. Mul beringsut keluar dengan menimbulkan sesedikit mungkin suara, takut mengganggu lalu dibentak lagi.
Pengalaman pertamanya bertemu Hamada-san itu cukup unik. Ada rasa takut pada pria itu karena sikapnya yang dingin dan kasar. Namun, berbeda dengan kesannya pada para tentara berwajah kue apem, Mul justru ingin sekali lagi kembali ke ruangan itu karena begitu penasaran soal mengapa ada begitu banyak buku di ruangan itu.
Keesokan harinya, ia mulai menumpuk batu-batu pijakan untuk masuk ke dalam kamp lewat pagar kawat berduri yang agak longgar untuk mengantar jipang dan oyong. Saat itu, ya, sekarang ia ingat betul, ia hanya menumpuk tiga batu.
***
“Kamu jangan dekat-dekat dengan kamp itu! Bisa diculik kau sama mereka!”
“Bilang ibumu untuk tidak mengirim sayur lagi ke sana! Pemimpinnya jahat dan kasar!”
Teman-temannya sering berkata begitu akhir-akhir ini. Mul sendiri sebenarnya tidak ambil pusing oleh berbagai cerita yang akhir-akhir ia dengar soal kamp itu. Katanya, semakin banyak wanita dari kamp itu yang dipisahkan dengan anaknya dan dipaksa bekerja di luar, tetapi tidak pernah tampak kembali. Katanya juga, banyak pria-pria di sekitar tempatnya tinggal yang juga disuruh membantu Nippon di medan perang atau membangun jembatan serta terowongan. Mul memang merasa sikap para Nippon itu semakin kasar saja dari hari ke hari. Dalam setiap kunjungannya mengantar sayur, ia memang sering melihat para tentara berwajah kue apem itu berteriak dan mengumpat, atau mendorong-dorong para wanita Belanda yang tinggal di kamp. Namun, Mul tak bisa berbuat apa-apa, sebab ia harus cepat mengantarkan sayurnya ke ruang Hamada-san.
Setiap jam yang dijadwalkan—pukul delapan persis—pintu ruangan Hamada-san selalu sudah terbuka separuh, menandakan bahwa ia ada di dalam. Dan itu artinya Mul pun diperbolehkan masuk. Karena sudah terbiasa, kadang ia hanya mengucap permisi—Hamada-san tidak pernah tidak terlihat sedang menduduk di atas meja kerjanya sembari mengerjakan sesuatu—lalu segera ke belakang dan memindahkan sayur-mayur yang ia bawa ke keranjang yang ada di ruang belakang. Ruang belakang itu rupanya berbentuk seperti dapur kecil semi terbuka tempat nantinya Hamada-san akan merebus sayur-mayur itu untuk sarapan.
“Kamu tidak penasaran mengapa saya selalu memesan sayur padamu?” tanya Hamada-san suatu hari pada Mul. Wajahnya tampak kuyu, seperti belum tidur seharian.
“Penasaran, Tuan,” jawab Mul. Itu memang pertanyaan yang selalu melekat di kepalanya selama ini. Hamada-san masih tidak mengangkat kepalanya dari meja—rupanya ia sedang membaca—lalu menjawab dengan suara kecil, “karena saya tidak bisa makan daging. Tapi kau makanlah daging. Supaya tubuhmu nanti tumbuh tinggi dan kuat.”
Begitulah persahabatan—kalau bisa dibilang begitu, tapi Mul menganggapnya demikian—yang cukup aneh antara mereka berdua. Karena kedekatan inilah, Mul semakin berani untuk melihat-lihat seisi ruangan Hamada-san setelah menyelesaikan tugasnya menyetok sayuran. Mul akhirnya menyadari bahwa buku-buku yang berada di situ adalah milik Hamada-san sendiri. Terdiri dari berbagai ukuran, bahasa dan entahlah. Pokoknya itu sangat keren dan menarik.
“Sebelum perang, saya adalah seorang jurnalis. Kamu tahu apa itu jurnalis?” cerita Hamada-san suatu hari.
Mul memiringkan kepalanya. “Tidak, Tuan.”
Hamada-san menjawab dengan masih tak mengangkat kepala, tetapi tangannya terus menggurat-guratkan tulisan di atas kertas-kertas yang terhampar di atas meja. “Itu sebuah profesi. Orang-orang ‘jurnalis’ seperti saya bekerja dengan mencatatkan apa yang ia lihat dan dengar lalu membuatnya menjadi sebuah laporan atau buku supaya semua orang bisa membacanya, dan supaya tahu juga apa yang saya lihat,” ia berhenti sejenak. “Saya sudah melihat hampir separuh dunia.”
“Wow! Luar biasa!” Mul menyambar. Betulan kagum dia. Separuh dunia? Mul bahkan sama sekali tidak pernah pergi keluar dari kotanya.
Hamada-san tampak menaikkan sudut bibirnya sedikit—setidaknya bagi Mul, itu artinya adalah senyum tipis. “Semua yang saya lihat itu kemudian saya tuliskan dalam jurnal-jurnal itu,” ia menunjuk buku-buku yang ia tata di rak di sebelah meja kerjanya. “Saya juga membeli paling tidak satu buku dari setiap negara yang saya kunjungi untuk dibawa pulang,” ia diam sejenak sebelum kembali melanjutkan.
“Bahkan ketika negeri saya kembali melibatkan diri dalam perang dan mengharuskan saya untuk datang ke negeri ini, saya tidak bisa meninggalkan semua koleksi ini. Sengaja saya kirim ke sini semuanya langsung dari Nippon sana. Agak merepotkan, tapi—” Hamada-san terus bercerita. Itu sisi yang mungkin tidak pernah dilihat orang lain selain Mul. Rupanya jika sudah bercerita, Hamada-san bisa begitu cerewet!
Mul membolak-balik sebuah buku bersampul biru sembari mendengarkan cerita Hamada-san. Ia terperangah melihat betapa rapi tulisan Hamada-san di dalam buku itu. Meski ia tak bisa membaca huruf-huruf kanji itu, ia tetap merasa kagum. Sebab banyak sekali ilustrasi indah di sisi tulisan-tulisan itu! Luar biasa, seperti hidup, pikir Mul.
“Hamada-sang sendiri yang membuat ini?” tanyanya menyela cerita Hamada-san sembari menunjuk pada ilustrasi-ilustrasi di dalam buku bersampul biru. Mata Mul berkaca-kaca penuh kekaguman. Hamada-san menghentikan celotehannya, tapi tidak menanggapi pertanyaan Mul yang sebenarnya jawabannya sudah jelas itu. Ia lalu kembali pada setelan awalnya—berwajah dingin dan terus menundukkan wajah ke atas meja kerja.
“Kalau pijakan batu itu merepotkan, akan saya carikan sesuatu yang lebih bagus lagi,” katanya dengan suara pelan sekali. Namun, Mul bisa mendengarnya.
“Tidak usah, Tuan. Lima pijakan itu sudah lebih dari cukup,” jawab Mul dengan suara pelan juga.
***
Tuan Hamada baginya tidak seperti apa yang orang-orang bilang. Tidak pernah sama sekali ia mengucapkan “bakero!” pada orang-orang lain—di lain hari Mul tahu bahwa kata itu sebenarnya bukan “bakero” melainkan “bakayaro” yang artinya “dasar bodoh”. Hamada-san memang pernah berteriak dan membentak, tapi ia tidak pernah menggunakan tangannya seperti para anggotanya yang berwajah kue apem itu. Ia juga tak pernah menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang menggertak dan menghentak seperti tentara Nippon lainnya.
Ia justru senang sekali memutar lagu-lagu indah dari negerinya dari pemutar piringan hitam—Mul tak tahu apa namanya—dan mendengarkannya berulang-ulang sembari memasak sayur atau bekerja di atas meja. Kesukaannya adalah lagu berjudul “Gondola no Uta” yang bernada manis dan Mul pun suka.
Inochi mijikashii, koiseyo otome.
Akaki kuchibiru, asenuma ni.
“Hidup ini pendek, Mul. Maka kalau kau sudah dewasa, jangan ragu untuk jatuh cinta. Bepergianlah yang jauh. Hirup sebanyak-banyaknya udara negeri asing. Karena tahu-tahu nanti kau akan tua juga seperti saya,” kata Hamada-san pada Mul ketika ia menanyakan arti lagu kesukaannya itu.
Mul tidak terlalu memahami maksud perkataan Hamada-san itu. Namun, ia bisa mendengar nada getir di dalam suaranya yang biasanya tegas.
Hamada-san melanjutkan perkataannya. “Kini aku terlanjur memakai seragam ini di tempat dan waktu yang salah. Harusnya tidak kupakai dari dulu. Yang kubutuhkan sebenarnya hanya buku-bukuku saja. Namun, zaman tidak memihak orang-orang yang hanya mau berdiam dengan bukunya.”
Hamada-san lalu mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya ia menatap Mul dengan terang-terangan. Seingat Mul, matanya yang runcing itu selalu naik ke atas, tetapi kini berbeda. Mata itu beserta alisnya tampak menurun dan tampak sedih.
"Kau… Di mana pun kau berada… Jika tempat itu memang bukan tempat untukmu… Maka kau hanya akan berakhir sebagai ‘orang lain’. Apa yang kau punyai tak akan berarti. Maka, carilah tempat di mana kau seharusnya berada. Jangan berhenti. Tempat itu pasti ada.”
Itulah kalimat terakhir yang didengar Mul dari mulut Hamada-san secara langsung. Sebab keesokan harinya, ibunya tak lagi memintanya untuk mengirim sayur ke kamp. Katanya, Indonesia sudah merdeka. Itu artinya, para tentara Nippon akan pergi dari kotanya. Mul justru protes, itu artinya ia tak akan mendapat sangu tambahan dari pekerjaannya mengantar sayuran, jadi mengapa ibunya justru senang akan hal itu? Namun, ibunya berkata bahwa itu sudah bukan lagi soal. Lebih baik berhemat sedikit, tetapi hidup di negeri merdeka. Mul masih kurang paham maksud ibunya.
Seketika ia teringat Hamada-san. Ia ingin tahu, apakah Hamada-san akan ikut pulang ke Nippon seperti orang-orang Nippon lainnya. Ia rasa tidak akan. Sebab akan merepotkan jika Hamada-san harus membawa serta semua buku-bukunya. Ia pasti akan memilih untuk tinggal di sini dan berteman dengannya saja. Toh, negeri sudah merdeka. Harusnya ia bisa lebih bebas berteman dengan siapa saja.
Namun, betapa terkejutnya Mul ketika ia sampai di kamp. Tempat itu sudah penuh orang. Bukan orang Belanda atau Nippon seperti yang biasanya ada, melainkan orang-orang bumiputera. Dan mereka sedang bersukacita di depan ruangan Hamada-san yang kini sudah berwarna merah merona ditelan api raksasa.
“Aaaah! Aaaah!” Mul hanya bisa berteriak tanpa makna memandangi ruangan itu yang mulai runtuh tak bernyawa. Mul seperti ikut merasakan kepedihan para buku yang terbakar dan menjadi abu perlahan. Meski bodoh, Mul bisa merasakan perih ketika membayangkan gambar-gambar indah serta tulisan-tulisan petualangan milik Hamada-san itu lenyap ditelan api.
“Kepala kamp yang galak itu sudah ditangkap! Biar dia diadili oleh pengadilan yang seadil-adilnya bagi penajajah. Merdeka! Merdeka!” seorang pemuda memekik dengan semangat berkobar, tak kalah garang dari api yang menyulut nyalang.
“Kenapa? Kenapa?” tanya Mul putus asa pada pemuda itu.
Pemuda itu terkekeh. “Kok kenapa? Kita ini sudah merdeka! Semua penjajah harus diberantas! Termasuk semua budaya, peninggalan, dan pikirannya!”
Mul tak tahu harus berkata apa. Hatinya sakit. Paling sakit dari tujuh tahun hidupnya.
Karena perang, satu orang yang di kepala dan hatinya telah melihat begitu banyak itu pun hilang.
YOU ARE READING
Cerita dalam Secangkir Teh
Storie breviKumpulan cerita pendek untuk menyeimbangkan rotasi bumi.