Manusia Tanpa Jiwa - Sebuah Cerita yang Sangat Pendek (2015)

296 35 3
                                    

"Kupikir lebih baik dunia berakhir saat ini juga," kata Jiwo dengan memandang nanar langit biru di atasnya. Bagi orang biasa, mungkin pemandangan itu terlihat wajar: seorang pemuda yang duduk di pinggir laut sambil memandang langit. Tapi bagi si pelaku, sebenarnya tidak demikian. Justru sebaliknya, Jiwo merasa bahwa dirinya sedang dipandang dengan saksama oleh langit biru itu.

Namun tidak seperti dirinya yang selalu memandang langit biru dengan mata berbinar, penuh kekaguman dan penuh-penuh lain (yang mengindikasikan hal-hal positif), langit justru memandang dirinya penuh ejekan, penuh ragu dan penuh-penuh lainnya yang bernadakan celaan.

Tapi ia tidak pernah menyadari hal itu sampai kemarin malam.

Jiwo melirik ponselnya yang tergeletak di sebelahnya duduk, nyaris tertutup pasir putih pantai. Kemarin malam, ponsel itu masih ia buka dengan hati girang, saat ringtone-nya yang menggunakan dentingan komposisi piano Nocturne No. 2 Op. 9 milik Chopin, berdering, menandakan pesan masuk dari seseorang yang selalu membuat dadanya kembang-kempis.

Tapi sekarang ia muak. Melihat warna putih chasing-nya yang dulu nampak seputih kapas, pendar layarnya yang dulu dilihatnya seperti pendar ajaib halo di angkasa sana, serta biru chat box yang selalu berisikan huruf-huruf lucu yang diketikkan oleh si dia. Tapi kini ia hanya melihat putih itu seperti putih kafan, pendar itu seburam lilin nyaris padam, dan biru itu... Biru itu... Persis seperti langit yang memandanginya sekarang.

Kemarin malam, Manu, kekasih hati Jiwo, pergi meninggalkannya dengan suatu kabar yang membuat hatinya meledak, hancur berkeping-keping, merontokkan urat-urat nadinya, membuat sel-sel tubuhnya yang panjangnya dapat mengelilingi bumi dua kali menjadi berhamburan keluar, hingga menyisakan tubuh seorang Jiwo yang kosong, bagai selongsong kepompong yang teronggok dilupakan kupu-kupu cantik di antara daun-daun pohon muda.

Manu berkata bahwa ia benci Jiwo. Manu berkata bahwa Jiwo tidak pantas menjadi kekasihnya. Manu berkata bahwa dirinya tanpa Jiwo adalah dirinya yang sejati. Manu lebih memilih pergi ke Kota Parodi bersama rombongan Parade milik Tan, seorang lelaki yang baru ditemuinya beberapa minggu yang lalu. Saat itu, pikir Jiwo, Dunia memang tidak pernah berpihak padanya.

"Manu tanpa Jiwo menjadikan hidupnya lebih bahagia," kata Jiwo lirih, menirukan koak burung-burung camar yang terbang rendah di atas kepalanya.

Bagaimana kalau dibalik: Jiwo tanpa Manu, apa yang akan terjadi padanya?

Jiwo belum tahu jawabnya.

Maka, dengan cepat, ia sambar ponsel putih yang tergeletak di sampingnya, lalu sekuat tenaga melemparkannya ke atas, melenyapkan perasaannya pada Manu. Dengan begitu ia harap langit akan terluka terkena lemparan ponsel itu. Namun Jiwo keliru. Ponselnya tidak sampai melukai langit. Benda itu justru meliuk tajam menghujam ke bawah, lalu hilang terbenam ke dasar lautan.

Jiwo kesal karena ia justru melukai lautan yang tidak mengerti apa-apa.

"Memang duniaku sudah berakhir untuk yang kesekian kalinya," bisiknya, sambil merebahkan diri di atas pasir putih. Raut wajahnya lelah. Teringatlah ia akan usaha-usaha yang dikerahkannya demi mendapatkan hati Manu. Betapa ia telah banyak berkorban untuk kebahagiaan gadis itu. Merelakan dirinya tidak pernah berlibur seperti orang-orang lain, tidak pernah beristirahat seperti orang-orang lain, tidak pernah tidur seperti orang-orang lain...

Sia-sia!

Dan matanya kembali bertumbukkan dengan langit biru yang sedang memandangnya. Ia terkekeh perlahan, melihat warna birunya yang kini bagai sisa sabun cuci bekas menggosok pantat wajan gosong.

"Ketahuan kalau kau sedang mengejekku. Tolol. Lain kali kutantang kau buat tahan ketawa saat adu melotot denganku. Siapa yang menang kira-kira? Hahaha."

Lalu ia tidur. Entah sampai kapan. Ia tidak peduli jika beberapa menit lagi Manu akan datang menjemputnya, atau ponselnya kembali terlontar dari dasar lautan lalu menghujam wajah langit, atau bahkan jika dunianya benar-benar berakhir sekalipun... Yang jelas tekad Jiwo hanya satu: saat membuka mata kelak, ia akan memandang langit dengan cara yang berbeda.

***


Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now